Pages

Thursday, October 15, 2009

Bias Keberuntungan


Tita



Sungguh mengherankan, ada orang yang seberuntung itu di dunia ini. Wajah cantik, tubuh tinggi semampai, luar biasa pintar terbukti berulang kali juara paralel, memiliki suara yang amat merdu bahkan konon pernah mendapat tawaran untuk rekaman, sering menjuarai lomba pidato baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris, bahkan sedang mempersiapkan diri untuk ikut casting penyiar berbahasa mandarin, aktif di osis, dan merupakan anak satu-satunya dari pasangan orang tua yang kaya raya. Bapaknya seorang pengusaha otomotif sedangkan ibunya pengusaha kosmetik. Dan di atas semuanya itu, dia adalah sosok yang ramah dan santun, dengan segala kelebihan yang dimilikinya yang membuat iri seluruh siswa wanita di sekolah, sama sekali tidak ada cacat cela dalam bertingkah laku, bahkan jauh lebih baik dibanding semua siswa lainnya. Saat guru menyuruh siswa-siswa bekerja bakti membersihkan lapangan yang becek karena berbagai lomba tujuh belasan, dia dengan semangat menyikat lapangan tersebut. Saat teman-temannya kelelahan, dia sendirian membereskan perlengkapan yang telah dipakai untuk bersih-bersih tanpa menggerutu. Dialah Camila, bintang paling cemerlang di sekolah ini.

Dan pagi ini, hari pertamaku masuk di kelas 3 SMP ini, aku sungguh tercengang karena dia memilih untuk duduk semeja denganku. Aku bahkan tak mengira kalau dia tahu namaku. Aku tahu dia tentu saja, siapa yang tak mengenal orang paling bersinar di sekolah ini. Tapi aku? Sejak kelas satu, aku tak pernah sekelas dengannya. Setiap kenaikan kelas sekolah akan mengacak siswa dan membuatku berpisah dengan teman-teman akrab di kelas satu, pada saat naik ke kelas dua. Itu sebabnya aku berangkat pagi-pagi sekali hari ini, karena penasaran dengan siapa aku sekelas pada tahun ini. Di pintu-pintu kelas, ditempelkan nama-nama siswa yang menjadi penghuni kelas tersebut. Di pintu yang ke tiga baru kutemukan namaku, berarti aku menjadi siswa kelas 3C, saat menelusuri daftar nama tersebut, sekilas kulihat namanya. Ah ternyata aku sekelas dengan sang bintang, maka akan tampak makin reduplah sinarku, itupun kalau memang aku punya sinar. Saat kulangkahkan kakiku ke kelas, kulihat dia sudah duduk di meja paling depan barisan kedua dari pintu. Aku tersenym padanya, dan melangkahkan kakiku ke meja paling depan barisan ke tiga dari pintu. Aku memang selalu memilih bangku paling depan. Tak disangka, dia menyapaku dengan memanggil namaku.

“Tita, kamu sebangku sama siapa?” tanyanya sambil tersenyum.

“Belum tahu, teman-temanku pisah kelas semua,” jawabku agak malu. Ketahuan kalau aku cuma bisa berteman dengan yang sekelas, sementara dia berteman tidak hanya lintas kelas, bahkan dengan adik dan kakak kelas.

“Aku duduk sama kamu yah,” katanya sambil memindahkan tasnya ke sebelahku. Aku Cuma bisa mengangguk.



***



“Maaf ya Mil, aku ngga bisa ke rumahmu sore ini, mamaku ada harus ke Sunter, nengokin tanteku yang dirawat di rumah sakit. Aku harus jaga adekku”. Aku merasa ngga enak, tugas yang seharusnya kami selesaikan berdua sebetulnya lebih banyak Mila yang mengumpulkan bahannya. Aku cuma mengiakan dan memberi usulan disana-sini. Dan dia selalu menerima apapun usulku meskipun itu berarti bertentangan dengan idenya dia. Dan sekarang, saat tinggal sedikit lagi tugas ini selesai, aku tidak bisa ikut mengerjakannya karena harus jaga adek di rumah.

“Ya sudah, aku saja yang ke rumahmu, jam berapa mamamu berangkat?”

Hah? Mila ke rumahku? Oh, tidak, malu aku, bila dibandingkan, ukuran rumahku mungkin hanya separuh dari dapur rumahnya. Jangan.............jangan sampai terjadi......

“Jam berapa mamamu berangkat?” ulangnya

“Jam empat”.

“Aku datang jam setengah empat, biar bisa ketemu mamamu”.

Aku mengangguk bego.



Mila benar-benar datang jam setengah empat. Begitu datang dia langsung mencium tangan mamaku tanpa canggung. Begitu mama berangkat, sedikit malu aku mengajak dia ke kamarku. Sebuah kamar yang dulu, menurutku sangat menyenangkan, selalu rapi karena aku tak mau membiarkannya berantakkan. Namun sejak mengenal kamarnya, sungguh tak bisa dibandingkan, bahkan barang-barang di kamar pembantunya jauh lebih bagus daripada barang-barang di kamarku. Tanpa canggung dia duduk di pinggir tempat tidur, mengeluarkan tugas kami, yang ternyata sudah diselesaikannya, lalu rebahan disamping adikku yang tertidur lelap. Kami pun mengobrol.




Mila


Pertama kali aku melihatnya di hari pertama masuk SMP ini. Kami sama-sama siswa baru berpakaian dan berdandan aneh mengikuti kehendak panitia. Dia diantar naik motor oleh ibunya. Begitu turun dari motor dia mencium tangan ibunya, dan kulihat ibunya memeluknya mencium kedua pipinya, sepertinya ibunya memberikan bebrapa nasihat sebelum berlalu dengan motornya. Aku yang masih berada di dalam mobil diantar sopir, memandangnya. Entah mengapa, dadaku berdesir melihatnya. Kemudian pemandangan itu menjadi sesuatu yang rutin, nyaris terjadi setiap pagi. Kadang-kadang hanya ibunya yang mengantar, kadang-kadang ditemani seorang gadis cilik yang nampak menggemaskan, berusia kira-kira tiga tahun. Adiknya kukira. Bila ada adiknya, setelah ritual sun pipi kiri kanan oleh ibunya, maka dia akan beralih ke adiknya. Si adik mencium tangannya dengan takzim, dan dia akan mencium pipi adiknya kiri kanan. Selalu begitu.

Kemudian aku tahu namanya Tabitha, teman-temannya memanggilnya Tita. Sayang aku tidak sekelas dengannya. Kami juga tidak mengambil ekstra kurikuler yang sama, dan dia tidak aktif di osis, sehingga nyaris kami tidak pernah terlibat di kegiatan yang sama. Pernah kulihat, saat dia harus pulang sore karena kegiatan ekskul, seorang laki-laki menunggunya. Aku tahu laki-laki itu menunggunya karena dia menggunakan motor yang biasa dipakai oleh ibunya. Kakaknya kukira. Kulihat wajahnya sedikit cemberut saat menanti bubaran ekskul, lalu saat Tita menghampiri, nampak si kakak mengatakan sesuatu tetap dengan memasang wajah cemberut, Tita sepertinya membalasnya dengan sama cemberutnya, lalu duduk di boncengan, dan motor itupun berlalu. Ah, pertengkaran kakak adik yang tidak pernah kurasakan. Dan setiap kali pulang sore, bisa dipastikan si kakak akan dengan setia menjemputnya, entah dengan wajah ceria ataupun wajah cemberut.

Kukira, aku merasa iri dengan kehangatan yang dipertunjukkan ibunya padanya. Dulu, semasa kecil, aku pernah merasakan pelukkan itu. Saat rumah kami belum sebesar dan sebagus ini. Saat mama hanyalah seorang ibu rumah tangga. Aku ingat, mungkin saat itu usiaku 4 tahun, aku punya sebuah sepeda baru. Sepeda dengan dua roda besar, dan dua roda kecil disamping roda besar yang dibelakang. Lalu mama memutuskan untuk mencopot kedua roda kecil itu. Dan mama bertepuk tangan saat aku bisa maju beberapa kayuhan. Lalu aku terjatuh dan mama memelukku dengan wajah cemas. Aku juga ingat, semasa TK, aku selalu diantar oleh mama, begitu pulang sekolah mama akan membuka buku-bukuku dan memuji-muji gambar yang aku buat. Lalu mama akan memintaku menyanyikan lagu yang diajarkan di sekolah. Dan mama akan ikut bernyanyi bersamaku. Mamaku sungguh hebat, tahu semua lagu yang diajarkan bu guru di TK. Lalu pada saat aku masuk SD, mama memutuskan untuk membuka salon. Mama tidak pernah lagi mengantarku sekolah karena aku ikut mobil jemputan. Pada saat akan berangkat, mama biasanya menyiapkan sarapan untukku, dan melepasku di halaman saat mobil jemputan tiba. Saat aku kelas tiga SD, mama mendirikan sebuah pabrik kosmetik di luar kota. Sejak saat itu, aku hanya melihat mama dimalam hari, itupun tidak setiap malam. Seringkali aku sudah tidur saat mama pulang, dan mama sudah berangkat lebih dulu saat aku masih bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Lalu pembantu pun bertambah banyak, dari satu jadi dua lalu tiga, dan sekarang empat. Rumahpun semakin besar, mobilpun bertambah banyak. Tapi aku tak pernah lagi merasakan pelukan mama.

Lalu pada suatu hari, saat aku kelas 5 S
D, aku melihat bik Nah membereskan tempat tidurku, esoknya aku mencoba membereskan tempat tidurku sendiri. Pada hari Minggu bik Nah memberikan laporan pada mama bahwa aku sudah bisa membereskan ranjangku sendiri. Mama memujiku,”Anak mama hebat, mama suka anak mama mandiri dan tidak manja”. Sejak itu aku melakukan apapun yang bisa kulakukan, mencuci kaus kaki, mengepel kamar, menyikat kamar mandi, apapun kulakukan untuk mendapatkan tiga patah kata dari mama, “anak mama hebat”. Lalu pekerjaan rumah menjadi tidak cukup ampuh, akupun beralih ke berbagai les. Les vokal, les bahasa, les renang, dan nyaris selalu mengikuti berbagai perlombaan demi sebuah pengakuan,”anak mama hebat”.

Pernah suatu ketika aku merasa marah, marah tanpa sebab. Banar-benar tanpa sebab karena sesungguhnya mama selalu mengabulkan apapun yang aku minta. Tidak ada alasan untuk marah. Blackberry-ku sudah berganti tiga kali, laptopku keluaran terbaru yang paling canggih, bahkan, saat aku minta sebuah mobil, tanpa banyak bicara mama mengabulkannya, meskipun aku tidak boleh mengendarainya sendirian karena belum punya SIM. Tapi entahlah, kemarahan itu timbul begitu saja. Ada perasaan ingin memberontak. Maka, akupun mendekati teman-temanku yang aku tahu sedikit ‘liar’. Mereka terkejut waktu aku bilang pengen ikutan. Sepertinya tak percaya juga. Lalu mereka memberikan sebuah alamat dan sebuah tanggal supaya aku bisa ikutan ‘pesta’. Pesta narkoba aku kira, karena aku harus setor uang dalam jumlah yang amat banyak. Tak masalah. Sialnya (atau untungnya kalau ku pikir kemudian) pada hari yang ditentukan, ditengah perjalanan ban mobil yang kupakai bocor. Pak Ari, supir yang mengantarku diam saja saat aku marahin saat menggantinya dengan ban serep. Aku tiba di tempat pesta terlambat satu jam dari waktu yang seharusnya. Tepat pada saat dua mobil polisi bak terbuka keluar dari tempat tersebut. Nampak beberapa temanku di bagian belakang mobil tersebut dengan ekspresi setengah sadar. Rupanya aku sedikit pengecut juga, kalau itu berarti harus berurusan dengan polisi, maka lebih baik tidak jadi berontak. Aku tak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, rupanya begitu juga dengan sopirku, karena mama tidak pernah menegurku. Dua hari kemudian, aku lihat teman-temanku itu sudah kembali masuk sekolah. Dan mereka tidak pernah mau menegurku lagi, seolah-olah karena kesalahankulah mereka harus berurusan dengan polisi.

Dan aku nyaris tak percaya, di kelas tiga ini aku sekelas dengan Tita. Sungguh beruntung pula kami berdua datang paling pagi sehingga dengan mudah aku memintanya mengijinkan aku duduk semeja dengannya. Aku bisa merasakan dia anak baik. Meskipun tidak menyembunyikan ketakjubannya melihat rumahku, dia tidak pernah bersikap sebagai parasit. Dia tidak mau aku membayari jajannya. Dia mengizinkan aku mentraktirnya dengan catatan gantian dilain waktu dia yang harus mentraktirku. Aku suka itu, meskipun itu berarti aku harus menahan diri kalau ingin tambah, karena tahu uang jajannya tidak banyak. Sayangnya kalau harus belajar bersama, Tita tidak pernah mau di rumahnya. Dia selalu meminta agar kami belajar di rumahku saja, nanti digerecokin adekku, begitu selalu alasannya. Tapi akhirnya terlaksana juga keinginanku untuk mengunjungi rumahnya.

Disinilah aku sekarang, rebahan di ranjang, disebuah rumah yang dipenuhi oleh kehangatan keluarga.



_______________


Ups, bangkit setelah terpuruk :)

terima kasih para pendorong semangat yang amat bersemangat.

Kiriman semangatnya mempan, apalagi pukulannya Uchi :D

Siap menerima kritikan dengan lapang dada

52 comments:

  1. Kereen!!!..ini di-inspirasi dari cerita masa kecil ya ? kemasannya cantik Met!

    ReplyDelete
  2. pakees said: kereeennn...like thisjadi inget persahabatan masa kecil.
    terima kasihayo dibikin cerit kisah masa kecilnya^___^

    ReplyDelete
  3. pesanbunda said: Ceritanya bagus sekali...
    Terima kasih mbak^___^

    ReplyDelete
  4. puntowati said: Bagus, Metty menekankan sikap baik Tabitha yg tidak suka menggunakan kesempatan. Krn seringkali terjadi kalau ada acara ngumpul2 dan makan2 maka dinganggap hal yg wajar kalau yg tampak lebih berada membayar semua makanan. Padahal yg tampak kaya raya belum tentu selalu punya uang........
    kebetulan lagi punya ide tentang orang baik nih mbak^___^

    ReplyDelete
  5. puntowati said: Cerita Mila mirip dg sebagian jalan hidup saya lho....beberapa hari yg lalu pada waktu pembukaan pameran ttg "Sumatera' dimuseum Volkenkunde banyak pejabat dari Indonesia terutama dr Jakarta, yg datang. Ternyata sebagian besar dr mereka adalah adik kuliah. Mereka rupanya masih ingat saya, mahasiswa dari Gama yg terpilih dpt bea siswa ke UI dan kemudian dikirim ke Belanda. Namun bintang yg dulu bersinar sinarnya tidak selalu lebih kemilau. Karena mereka yg dulu mahasiswa biasa ternyata sekarang menduduki jabatan penting, bahkan lebih penting dari yg dulu pernah memenangkan biasa siswa ke luar negeri. Begitulah jalan keidupan, setiap manusia bisa meraih kesuksesan asal mau tetap berusaha, meskipun dg jalannya yg berbeda dg yg lain.
    wah, pasti sewaktu kuliah prestasi mbak pun amat luar biasa. Betul sekali mengenai jalan kehidupan itu, semuanya bukan hanya tergantung pada kepintaran, tapi lebih kepada seberapa keras usahanya, ditambah juga faktor keberuntungan^___^

    ReplyDelete
  6. nitafebri said: bersambung yaa..tuh udah banyak yg ngusulin bersam bung..sambung dong yaa..
    tadinya sih sebetulnya pengen cerpen aja, tapi karena banyak permintaan saya pertimbangkan ya^___^

    ReplyDelete
  7. manusiakayu said: Ibu Guru, aku udah siap baca lanjutannya ni..
    kasih idenya dong jamal^___^

    ReplyDelete
  8. meandmydream said: Wew...ampuh ya sumbangan semangatnya. Nanyanya sama kek om suga? Msh bersambungkah?
    iya, terima kasih semangat rebus bumbu kecapnya ya Vit, sambungannya masih menanti ide^___^

    ReplyDelete
  9. ratnapratiwi said: subhanalloh..mantap bu guru..cerita yg indah dr sudut pandang yg berbeda..kalo bs ada lanjutannya ya bu..^^
    terima kasih, mudah-mudahan ada ide untuk melanjutkannya^___^

    ReplyDelete
  10. saturindu said: masih bersambungkah>?selayaknya demikian...belum ada konflik berarti
    ide tentang konfliknya itu yang belum nongol^___^

    ReplyDelete
  11. shafahk said: keren teh....maaf fha telat bacanya :)
    terima kasih shafa^___^

    ReplyDelete
  12. whienarnisa said: bagus mbak..
    terima kasih whien, terima kasih juga sudah mau mampir^___^

    ReplyDelete
  13. arifsibijak said: tita.mila.Parjo.
    parjo lagi jualan burjo^___^

    ReplyDelete
  14. menatapmatahari said: Hemm...bagian ngeliatin tieta dianter ibu ato dijemput kknya...suka...Lingga jg prnh gitu soalnya...merhatiin anak kelas laen dr jauh...tapi ga pernah sekelas...ahahaha...Likes this too
    hayyyooo, kalau sekarang suka ngeliatin siapa lingling?^___^

    ReplyDelete
  15. duniauchi said: hahaha. tidak sia-sia aq berguru jurus semangat terbang di perguruan siolin . hahaha.likes this lah! pas bag. mila bikin berkaca-kaca. likes this lah!^^
    terima kasih uchi, teruskan bergurunya sampai tamat^___^

    ReplyDelete
  16. greenhomeadmin said: tarnyata kalau kita mau bersyukur,,, keberentungan akan tetap terasa pada setiap kurang dan lebihnya hidup kita :-)
    tepat sekali, itu memang point dari cerita ini^___^

    ReplyDelete
  17. raniuswah said: bagus bu..
    terima kasih umi uswah^___^

    ReplyDelete
  18. asasayang said: Sama kayak aq donk pas SMP di kelas C
    Sekelas dong sama tita dan mila?^___^

    ReplyDelete
  19. m3z0e said: sama kayak deddy komennya.. keren..empat jempol... ^__^
    terima kasih jempolnya^___^

    ReplyDelete
  20. bakhsayanda2 said: wah keren bu :)
    kadih kritikan dong^___^

    ReplyDelete
  21. axhu said: mengerjapkan mata bu Guru ^^ingat jaman SMP suka baca cerpen-cerpen di majalah, meski tidak lg ingat nama para penulisnyacerita yg mengalirsemangat Bu Guru! tetap menulis, saya antri membaca.siang berkabut jadi terang benderang ^^
    terima kasih dorongan semangatnya^___^

    ReplyDelete
  22. m3z0e said: mampir dulu bentar, ntar baru baca.. agak panjang juga soalnyamakan siang dulu yuk :)
    bentar lagi saya juga mau sarapan :)

    ReplyDelete
  23. miftamifta said: Sudah tak baca neng^^ Adakah lanjutan nya??Sukanya yang bersambung toh saya iniHehe
    Lanjutannya masih dipikirkan ^___^

    ReplyDelete
  24. miftamifta said: Pertamaxx
    Juara, dapet ucapan terima kasih :)

    ReplyDelete
  25. Bagus, Metty menekankan sikap baik Tabitha yg tidak suka menggunakan kesempatan. Krn seringkali terjadi kalau ada acara ngumpul2 dan makan2 maka dinganggap hal yg wajar kalau yg tampak lebih berada membayar semua makanan. Padahal yg tampak kaya raya belum tentu selalu punya uang........

    ReplyDelete
  26. Cerita Mila mirip dg sebagian jalan hidup saya lho....beberapa hari yg lalu pada waktu pembukaan pameran ttg "Sumatera' dimuseum Volkenkunde banyak pejabat dari Indonesia terutama dr Jakarta, yg datang. Ternyata sebagian besar dr mereka adalah adik kuliah. Mereka rupanya masih ingat saya, mahasiswa dari Gama yg terpilih dpt bea siswa ke UI dan kemudian dikirim ke Belanda. Namun bintang yg dulu bersinar sinarnya tidak selalu lebih kemilau. Karena mereka yg dulu mahasiswa biasa ternyata sekarang menduduki jabatan penting, bahkan lebih penting dari yg dulu pernah memenangkan biasa siswa ke luar negeri. Begitulah jalan keidupan, setiap manusia bisa meraih kesuksesan asal mau tetap berusaha, meskipun dg jalannya yg berbeda dg yg lain.

    ReplyDelete
  27. bersambung yaa..tuh udah banyak yg ngusulin bersam bung..sambung dong yaa..

    ReplyDelete
  28. Ibu Guru, aku udah siap baca lanjutannya ni..

    ReplyDelete
  29. Wew...ampuh ya sumbangan semangatnya. Nanyanya sama kek om suga? Msh bersambungkah?

    ReplyDelete
  30. subhanalloh..mantap bu guru..cerita yg indah dr sudut pandang yg berbeda..kalo bs ada lanjutannya ya bu..^^

    ReplyDelete
  31. masih bersambungkah>?selayaknya demikian...belum ada konflik berarti

    ReplyDelete
  32. keren teh....maaf fha telat bacanya :)

    ReplyDelete
  33. Hemm...bagian ngeliatin tieta dianter ibu ato dijemput kknya...suka...Lingga jg prnh gitu soalnya...merhatiin anak kelas laen dr jauh...tapi ga pernah sekelas...ahahaha...Likes this too

    ReplyDelete
  34. kereeennn...like thisjadi inget persahabatan masa kecil.

    ReplyDelete
  35. hahaha. tidak sia-sia aq berguru jurus semangat terbang di perguruan siolin . hahaha.likes this lah! pas bag. mila bikin berkaca-kaca. likes this lah!^^

    ReplyDelete
  36. tarnyata kalau kita mau bersyukur,,, keberentungan akan tetap terasa pada setiap kurang dan lebihnya hidup kita :-)

    ReplyDelete
  37. Sama kayak aq donk pas SMP di kelas C

    ReplyDelete
  38. sama kayak deddy komennya.. keren..empat jempol... ^__^

    ReplyDelete
  39. mengerjapkan mata bu Guru ^^ingat jaman SMP suka baca cerpen-cerpen di majalah, meski tidak lg ingat nama para penulisnyacerita yg mengalirsemangat Bu Guru! tetap menulis, saya antri membaca.siang berkabut jadi terang benderang ^^

    ReplyDelete
  40. mampir dulu bentar, ntar baru baca.. agak panjang juga soalnyamakan siang dulu yuk :)

    ReplyDelete
  41. Sudah tak baca neng^^ Adakah lanjutan nya??Sukanya yang bersambung toh saya iniHehe

    ReplyDelete
  42. Neng Metty,kutunggu kelanjutan ceritanya.Nanti daku balas di rumahku.Jangan lupa, masukkin tokoh Deba Pirez-nya ya (mau numpang tenar neh hehe...)

    ReplyDelete
  43. Kisah yang asik, dikemas dari dua sudut pandang.Hmm...hidup memang penuh romantika ya Teh. Tapi kita harus bersyukur dengan apa yang kita dapat, dan selalu husnuzon dengan ortu dan orang sekitar.

    ReplyDelete
  44. kereen bu guru di kemas dari dua sisi yah seperti novelnya NH Dini yang paling saya suka "Pada sebuah Kapal"baru ngerti dari mana "mila" itu pada tulisannya bung dedy... hehehe

    ReplyDelete
  45. Bagus cerpennya.Tambah satu tokoh lagi dong.Mari kita namankan Deba Pirez.Deskripsinya saya yang bikin.Tenang aja, dia tidak akan sesempurna Mila meskipun lbh ganteng dari om Brad Pritt hehe...

    ReplyDelete
  46. neng, ini ceritanya sy ketinggalan kereta, ini ada hubungannya dg bermain yg neng bilang di GB saya, bukan?yg dg si yipp....?btw, ide ceritanya sederhana tp menyentuh....

    ReplyDelete