Pages

Tuesday, December 29, 2009

Andai

sebentar biarkan aku mengunyah pagi yang menyodorkan sepiring rasa asing
langit mengabarkan pagi telah beralih melewati punggung-punggungnya bahkan bayang-bayang telah hilang
rasa asing itu berkeras tinggal,

ah
andai saja kisah bahagia selalu dapat kuputar kembali seperti sekeping cd yang kuputar ulang tanpa henti

Sunday, December 27, 2009

Selamat pagiiiiiiiiiii. Saatnya berseluncur di dunia nyata. Mudah-mudahan bisa nyuri-nyuri waktu ngintipin inbox. Salaaaaaaam. Semangat!

Selamat pagiiiiiiiiiii. Saatnya berseluncur di dunia nyata. Mudah-mudahan bisa nyuri-nyuri waktu ngintipin inbox. Salaaaaaaam. Semangat!

Saturday, December 26, 2009

Tahukah anda bahwa bahasa Indonesia untuk kata online adalah daring, yang merupakan singkatan dari: dalam jaringan. Lucunya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (KBBI daring), tidak ditemukan kata daring itu sendiri

Tahukah anda bahwa bahasa Indonesia untuk kata online adalah daring, yang merupakan singkatan dari: dalam jaringan. Lucunya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (KBBI daring), tidak ditemukan kata daring itu sendiri

Thursday, December 24, 2009

Sin Cera

Istilah sin cera ini saya dapatkan dari novel karya Dan Brown yang berjudul (kalau tidak salah) Deception Point. Konon para pematung Yunani (?) tidak pernah ada yang benar-benar sempurna pahatannya. Saat memahat, ada saja bagian yang gompal. Untuk menutupi gompal tersebut, digunakan lah cera. Sejenis lilin yang berasal dari sarang lebah. Mereka yang kuliah di jurusan Farmasi pasti akrab dengan cera ini. Patung yang benar-benar mulus tanpa tambalan menjadi barang langka yang benar-benar mahal. Istilah untuk patung tersebut adalah sin cera. Tanpa lilin. Istilah sin cera tersebut pula yang menjadi asal kata sincere dalam bahasa inggris
_______

Suatu ketika saya pernah memaksa seorang murid saya, katakan saja namanya Ayu, untuk memaafkan temannya. Sebetulnya yang bersalah bukan murid saya tersebut. Tetapi temannya berselisih adalah seorang yang benar-benar introvert, dan hanya punya sedikit teman. Ibunya si introvert mengirim sms yang isinya kemungkinan si anak tidak akan ikut acara refleksi akhir tahun, karena perselisihannya tersebut.

Saya menelepon Ayu, menjelaskan bahwa saya tahu bahwa Ayu tidak bersalah, tapi saya ingin mereka berbaikan. Tidak lama setelah saya menutup telepon, mamanya Ayu menlepon saya, menceritakan kalau Ayu menangis setelah menerima telepon dari saya. Saya minta maaf sama mamanya Ayu dan menjelaskan duduk persoalannya, saya juga sempat meminta maaf pada Ayu, dan tidak pernah mengungkit masalah tersebut lagi meskipun ibunya si introvert terus menerus sms meminta saya menyelesaikan masalah mereka.

Tiba saat acara refleksi akhir tahun, sebagaimana dugaan saya si introvert tidak hadir. Saya cuma mengecek hal tersebut dan tidak mengatakan sepatah katapun. Ayu, yang rupanya menyadari hal tersebut, berinisiatif untuk menelpon temannya yang introvert tersebut, membujuknya agar hadir. Ketika akhirnya si introvert hadir Ayu mengajaknya masuk kamar, dan mereka membicarakan masalah mereka. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi sejak itu mereka berteman lagi seolah tidak pernah punya masalah.

Sempat saya bertanya pada Ayu, apa yang dia bicarakan dengan temannya tersebut. Dengan diplomatis Ayu menjawab, "Saya ceritakan dari A sampai Z, meskipun mungkin saya menghilangkan D, M dan S."

Seringkali saya merasa malu kalau harus bercermin pada murid-murid saya sendiri. Mereka lebih jujur dan lebih bening hatinya. Tidak menyimpan rasa sakit hati. Sin Cera

Wednesday, December 23, 2009

Jenuh

beri aku badai
karena angin sepoi melubangi hatiku
meletakan sebongkah gulita lantas berlalu
dan gulita itu menggurita
melahap semua cahaya

beri aku prahara
agar aku bisa meronta
karena pada tak ada apa-apa
aku lunglai tak berdaya

Tuhan
beri aku apa saja, selain diam dan menjadi karatan



gambar diambil di sini

Monday, December 21, 2009

[Cerpen] Buzzz!!

Sejak usai shalat isya sampai saat jarum jam sebentar lagi akan menunjukkan angka sembilan, isteriku tidak bangkit dari duduknya. Aku tidak tahu, apakah isteriku begitu larut dalam dzikirnya, atau dia sedang merasakan kesedihan yang mendalam.

Aku tidak ingin menyakitinya, sama sekali tidak ingin. Dia adalah seorang isteri yang baik. Berada bersamanya bagaikan berdiri di tepian danau yang teduh, mengalirkan ketenangan dan kedamaian. Isteriku selalu menerimaku dengan senyuman, baik saat aku memenangkan proyek bernilai milyaran, maupun saat berbulan-bulan aku tidak menghasilkan satu rupiahpun. Dia adalah isteri pilihanku sendiri, dan akupun mengira bahwa kebersamaan kami akan langgeng tanpa gangguan yang berarti.

Semuanya berawal saat aku menerima notification di ym, dari seseorang yang tidak kukenal. Berpikir kalau-kalau itu berasal dari relasi bisnis, aku menerimanya. Lalu suatu ketika, saat aku sedang online, “Buzz!” dia memaksa masuk. Awalnya aku tidak suka dengan caranya. Hanya sebagai basa-basi aku tanya siapa dia. Dia memperkenalkan diri sebagai Nina, seorang karyawan sebuah perusahaan swasta. Aku tanya sampai mendetil tentang perusahaan tempatnya bekerja. Bukan apa-apa, aku tidak ingin ada mata-mata dari perusahaan sainganku. Ternyata aman, tempatnya bekerja sebuah perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan jenis usahaku.

Mulanya hanya obrolan ringan yang sebentar. Lama-lama merembet pada pekerjaan, harapan-harapan, sampai beberapa perdebatan politik yang seru tapi lucu. Chatting bersama Nina menjadi sebuah candu. Dia selalu bisa mengimbangi apapun yang aku bicarakan, baik dengan serius maupun dengan celetukan-celetukan lucunya. Mengobrol dengannya selalu terasa segar, tidak pernah membosankan. Setiap hari aku selalu menantikan ‘Buzz’ darinya. Kemudian chatting di dunia maya saja menjadi tidak cukup, kami pun merancang pertemuan.

Ada sedikit rasa tidak enak dalam hatiku dengan pertemuan ini. Seolah-olah aku sedang mengkhianati isteriku. Tapi perasaan itu kutekan, toh aku cuma bertemu untuk makan dan ngobrol. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah, begitu aku membantah kata hatiku sendiri. Dan pertemuan inipun menjadi sesuatu yang rutin.

Nina tahu persis bahwa aku adalah seorang pria yang beristeri. Dari awal dia sudah tahu. Tapi dia tidak keberatan berteman denganku. Memangnya kenapa, begitu katanya. Bersama Nina hari-hariku menjadi begitu menggairahkan, bagaikan berdiri di tepian laut dengan gelombang yang kadang kecil, kadang bergulung besar. Membuat kita tertantang untuk menaklukannya. Segala hal pada dirinya terasa indah. Bahkan marahnya saja membuat kangen. Tak tahan aku melewatkan satu haripun tanpa berkomunikasi dengannya.

Keterikatan diantara kami sudah begitu kuatnya, sampai kami memutuskan untuk masuk ke langkah selanjutnya. Mengukuhkan kebersamaan kami dalam ikatan yang sah, ikatan yang suci. Sebuah pernikahan.

Agak gentar juga aku waktu harus menyampaikan ini pada isteriku. Tapi tekadku sudah bulat. Aku sudah tidak mungkin mundur lagi. Bahkan seandainya isteriku menyuruhku untuk memilih, aku akan memilih Nina, walaupun aku terpaksa harus menceraikannya. Isteriku nampak terkejut mendengar apa yang kukatakan. Dia memandangku tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya. Dia hanya memandangku sambil menggigit bibirnya. Bahkan saat kukatakan, kalau dia tidak mengizinkan aku akan memilih Nina, dia tidak bereaksi. Diam saja sambil memandangku. Aku bingung. Tapi sebetulnya tidak masalah, bagaimanapun reaksinya, rencanaku dengan Nina akan jalan terus. Meskipun jujur, aku juga menyimpan rasa kasihan yang mendalam terhadapnya. Tapi hal itu tidak akan menghalangiku.
Sampai kami berbaring bersisian, isteriku belum mengucapkan sepatah katapun. Sedikit membuatku heran, sama sekali tidak ada bekas tangis di wajahnya. Dia hanya menjadi begitu diam. Dia memang bukan orang yang emosional. Tidak mudah menangis. Dia adalah orang yang benar-benar praktis. Tetapi menghadapi beberapa persoalan berat, terkadang dia menangis juga. Aku mengira, seharusnya, masalah ini akan menjadi satu hal yang membuatnya menangis. Tapi ternyata tidak. Dan aku menjadi heran akan proses mentalku sendiri, aku sangat tidak ingin melihat isteriku merasa sakit hati, tapi aku kecewa karena dia tidak menangis saat aku mengatakan bahwa hatiku bukan miliknya lagi. Bahwa ada perempuan lain yang telah bertahta di hatiku.
Pagi hari semuanya seolah berjalan normal. Kebetulan hari itu hari minggu. Seperti hari minggu yang sudah-sudah, isteriku menyediakan segelas kopi dan sepiring penganan di teras belakang. Roti tawar berlapis selai yang dia hidangkan kali ini. Lalu dia duduk di kursi yang berada di hadapanku. Saat pengadilan telah tiba, pikirku.
“Mas,” nah, benarkan? “Sebetulnya, sudah agak lama juga saya mengamati perubahaan pada diri mas. Tapi aku tidak mengira.....eeee.........mas akan menyampaikan apa yang mas katakan semalam. Tapi mungkin itu adalah jalan keluar terbaik bagi kita berdua.”
“Jalan keluar?” aku tak mengerti maksudnya.
“Ya, mungkin memang perpisahan adalah hal terbaik bagi kita berdua.”
Terbaik? Bagi kita berdua?
“Maksudmu, kamu tidak bisa bersamaku lagi, karena kamu tidak terima kalau ada perempuan lain?” tanyaku ingin penegasan.
“Eeeee........... barangkali sebetulnya, saya ingin mempertahankan pernikahan kita, barangkali ................”
“Tidak masalah, Lia, dia tidak berkeberatan menjadi isteri kedua. Dan akupun masih sangat mencintaimu. Kehadiran Nina tidak merubah rasa cintaku untukmu,” aku merasa lega mendapat kesempatan untuk menyampaikan bahwa aku masih mencintainya.
“Bukan begitu, .........eeee.......... barangkali ..........eeee...........”
Aku diam menunggu lanjutan dari eee dan barangkali yang berulangkali diucapkannya.
“Barangkali sebetulnya, eeee...... aku ........aku juga menginginkan perpisahan itu. Sebetulnya tidak, aku tidak menginginkan perpisahan kita, tapi........ aku bingung bagaimana harus mengatakannya.........”
Apa maksudnya? Mengapa berputar-putar seperti itu?
“Begini mas,”lanjut isteriku setelah menghela nafas panjang, “Sebetulnya, sudah beberapa bulan ini, ada seseorang yang lain hadir di hatiku. Tidak sengaja, sungguh.”
Apa?! Bagaimana mungkin? Aku begitu terkejut sehingga tidak tahu harus mengatakan apa.
“Aku mengenalnya saat ada pertemuan wali murid di sekolah Bilqis. Dia adalah seorang duda beranak satu. Kami sering chatting di facebook.”
“Kamu mengkhianatiku?” tanyaku sakit hati.
“Tidak, tidak pernah! Dia memang sering mengungkapkan perasaan-perasaannya. tetapi aku selalu bilang bahwa aku akan setia pada perkawinanku, bahwa aku cuma menganggapnya teman. Sekuat tenaga aku melawan perasaanku sendiri, karena awalnya, aku ingin mempertahankan perkawinan ini.”
“Kamu chatting sama laki-laki lain? Kamu jatuh cinta pada laki-laki lain? Bagaimana bisa kamu berbuat seperti itu?” tanyaku tidak terima.
Isteriku diam saja. Dia memandangku dengan tatapan sorot mata tajam. Seolah ingin menggugat,‘kamu juga chatting dan jatuh cinta dengan perempuan lain! Membuatku kehilangan kata-kata.
“Aku tidak suka kamu berbuat begitu,” kataku.
“Mas, aku minta maaf. Tapi bukankah hal itu malah memudahkan untuk mas? Malah sesuai dengan rencana mas? Mas bisa melanjutkan rencana mas dengan ......perempuan itu..........tanpa ada halangan apapun. Mas bahagia, aku juga bahagia.” sisi praktis isteriku muncul.
Bahagia? Mana bisa bahagia bila di hati isteri yang kita cintai ternyata ada laki-laki lain? Mana bisa? Aku memang ingin mengawini Nina, tapi bukan begini rencanaku. Kalaupun harus berpisah dengan Lia, aku pikir dia akan melepasku dengan air mata. Menanti beberapa bulan, atau tahun bahkan, sebelum memulai sebua
h hubungan dengan laki-laki lain. Aku tidak menyangka kalau dia juga menginginkan perpisahan ini. Aku tak pernah menyangka ada laki-laki lain di hatinya. Aku merasa dikhianati. Egoku terluka.
Hari senin dikantor aku membatalkan rapat, mengkansel beberapa pertemuan. Aku hanya ingin duduk diam diruang kerjaku. Memikirkan isteriku akan berbahagia dengan laki-laki lain sungguh tak tertahankan. Tiba-tiba, Buzz!! Monitor laptopku memperlihatkan seseorang yang menyapaku di ym. Nina. Aku signout.

SEKIAN

Sebuah catatan:
Cerpen ini hadir dari rasa ingin tahu, seberapa besar sebetulnya seseorang akan berusaha mempertahankan ikatan perkawinannya, ketika godaan yang begitu menggiurkan menerpa biduk rumah tangga.

Wednesday, December 16, 2009

Tuesday, December 15, 2009

Cerpen Lanjutan

Setelah bekerja, segalanya berubah. Sikapnya menjadi lebih dewasa dan Reyhan merasa orang-orangpun semakin menghargainya. Tapi tidak dalam hubungannya dengan Ima. Melihat Ima membangkitkan naluri terjail yang dipunyainya. Dengan Ima dia lupa apa yang namanya gentle ataupun tatakrama. Prestasi terbaiknya adalah membuat Ima tercebur got saat mengenakan kebaya ketika ada tetangga hajatan. Dan prestasi terbesar Ima adalah menempelkan tulisan:
Bujangan Terakreditasi
Standar ISO 2008
pada punggungnya, pada saat dia tampil pidato sebagai ketua panitia 17an di RWnya.

Dan sekarang Reyhan masih belum menemukan cara yang pas untuk membalas lemparan sendal jepit tadi.

“Re, duduk! Mama mau bicara,” tumben-tumbenan mamanya serius begitu.
“Nita, hari sabtu besok mau ada yang melamar,” Oh, Nita adiknya Ima, apa urusannya, pikir Reyhan, tapi dia diam saja.
“Mamanya Ima tidak mau Ima dilangkahi oleh adiknya.” Beep beeep, alarm di kepala Reyhan berdering.
“Mama mau ngejodohin Re sama Ima?”
“Ngga juga. Mama nanya aja, kira-kira kamu mau ngga nikah sama Ima. Mama lihat kalian berdua.........eeeeeee........” ibunya tidak berhasil menemukan kata yang pas.
“Kagak! Kagak! Kagak!”
“Ya sudah ngga usah sewot. Kalau kamu ngga mau. Ima mau dijodohkan dengan sepupu jauhnya dari jawa.”
“Situ!”
“Bener ngga nyesel?”
“Eh, Ma, kalau ada laki-laki yang mau mengawini si sinting itu, Re sumbang deh buat biaya resepsinya, beneran.”
“Ho ya sudah. Mama sih terserah kamu saja,”

Reyhan berjalan kembali ke kamar. Si sinting mau dijodohin? Huh, sepertinya genderang kemerdekaan baginya. Akhirnya......................Lalu tiba-tiba dilihatnya sandal jepit Ima di kolong ranjang. Diraihnya sandal itu. Kalau Ima sudah menikah, siapa nanti yang akan melemparnya pakai sandal jepit? Siapa yang akan mengejarnya pakai gagang sapu? Reyhan berlari keluar.

“Ima!” Reyhan berteriak dari gang samping rumah Ima. Jendela kamar Ima yang memang menghadap ke gang tersebut. Letaknya di lantai dua, jadi Reyhan memandang jendela tersebut sambil menengadahkan wajahnya. Tak lama jendela tersebut terbuka.
“Apa?”
“Lu mau kawin sama gua?”
“Kagak, itu ibu gua”
“Lu, kagak mau kawin sama gua?” Reyhan mengubah pertanyaannya.
“Lu mau ngawinin gua?”
“Kalau Lu mau, gua juga mau,” mulutnya sudah bicara sebelum dapat direm.
“Eh, lu ngajak gua kawin pake tereak-tereak dari jalan gitu?”
“Lu mau gua gimana? Mau gua ke situ terus berlutut sambil nyodorin cincin, apa mau gua umumin pakai toa mesjid?”
Ima tersenyum. Reyhan ikut tersenyum
“Jadi kita kawin?”
“Boleh”
Tidak tahu lagi harus mengatakan apa, Reyhan berbalik menuju rumahnya tanpa pamit. Ima menutup jendelanya kembali. Baru beberapa langkah Reyhan menyadari dia masih memegang sendal jepit Ima. Dia tertegun. Kawin sih kawin tapi.................... Dia berbalik lagi kembali ke tempatnya berdiri tadi.
“Ima!”
Jendela itu kembali terbuka. Nampak Ima di ambang jendela. Sebelum Ima menyadari apa yang akan terjadi, Reyhan melempar sendal jepit itu kencang-kencang. Tap! Tepat kena jidat Ima. Reyhan berbalik dan lari terbirit-birit.

SEKIAN

Catatan: cerpen ini dibuat berdasarkan request dari mbak Rika yang bolak-balik lihat cerpen 1 ga komen-komen ^___^
Heran juga tidak ada yang protes soal judulnya ^___^

Setelah mengerahkan segala usaha, melakukan semua pukulan: backhand, forehand, lob, short smash, jumping smash, akhirnya menang telak; bu metty melawan nyamuk ^___^

Setelah mengerahkan segala usaha, melakukan semua pukulan: backhand, forehand, lob, short smash, jumping smash, akhirnya menang telak; bu metty melawan nyamuk ^___^

Monday, December 14, 2009

cerpen

"Puk"
Sebuah sandal jepit mendarat di kepala Reyhan. Asem, kenapa harus sekarang, saat dia berhadapan dengan Sandra. Gadis yang baru pindah ke komplek mereka. Gadis yang seminggu ini menjadi pembicaraan dia dan teman-temannya.
"Apa itu?" tanya Sandra
"Ini, biasa si sinting" Reyhan salah tingkah.
"Sandal jepit, siapa yang melempar? Mengapa?"
"Si sinting, dasar! Biasa begitu dia"
"Ditegur aja."

Ditegur? Si sinting Ima? Wah nyerah deh. Pernah dia marah gara-gara Ima memasukkan kecoa ke dalam kopinya. Eh, diomelin dia nyengir aja, bikin tambah gondok, akhirnya dia mencengkram bahu Ima dan mengguncangnya, Ima menggeliat dan mengambil sapu, lalu mulai memukulinya. Bukannya tidak bisa melawan, tapi masa harus memukul perempuan? Dan dia berlari mencari perlindungan dikejar-kejar Ima dan gagang sapunya ditertawakan seluruh teman-temannya.

Merasa salah tingkah sendiri akhirnya Reyhan pamit pada Sandra. Sampai di rumah dia baru menyadari kalau masih memegang sandal jepit yang menimpuknya tadi. Hah, biarin! Dibawanya sandal itu ke kamarnya, lalu ditaruhnya di kolong tempat tidur.

Pembalasan apa yang pantas buat perempuan sialan itu? Perempuan yang mengacaukan skenario yang sudah dirancangnya. Dia tahu, pada jam segitu Sandra akan keluar dari rumahnya untuk menjemput adiknya pulang TPA. Setelah dipertimbangkan, di gang itulah tempat yang paling pas untuk 'berpapasan' dengannya.

Rencananya, setelah berbasa-basi dia akan menawarkan diri untuk menemani Sandra menjemput adiknya. Dia lupa satu hal, gang romantis itu tepat berada di samping rumah si sinting.

Aneh juga sebetulnya dia dan Ima bisa jadi seteru abadi seperti itu. Dari SD sampai SMP mereka akur-akur saja. Sering berangkat sekolah bareng bahkan. Lalu di SMA, Ima punya pacar. Ada sedikit rasa tak rela di hati Reyhan. Suatu ketika, Ima dan pacarnya makan bakso dikantin sekolah berdua. Reyhan menghampiri, "gabung ya" katanya, dia ikut memesan semangkuk bakso. Keduanya nampak terganggu tapi tidak ada yang mengucapkan penolakan. Sengaja dia tidak menghabiskan baksonya. "Duh, kenyang nih, habisin ya," lalu memindahkan sisa bulatan bakso dari mangkuknya ke mangkuk Ima. "Duluan ya," katanya meninggalkan mereka berdua. Dan dia sangat puas sewaktu melihat Ima dan pacarnya pulang sekolah sendiri-sendiri.

Sejak itu Ima tidak pernah terlihat jalan bareng pacarnya lagi. Anehnya, sikapnya terhadap Reyhan juga biasa saja. Tidak kelihatan marah ataupun menyalahkan. Tapi rupanya Ima menyimpan semuanya sampai saatnya tiba.

Kelas dua giliran Reyhan yang punya pacar. Ada-ada saja ulah Ima untuk mengganggunya. Saat dia mau pulang bersama pacarnya, kebetulan gerimis. Hmm romantis nih bergerimis berdua. Ima menghampiri, "Pinjem jaketnya dong, takut flu nih kena ujan," katanya. Bagaimana mungkin menolak permintaan Ima? Tapi pacarnya tidak mau mengerti. Ternyata jalan berdua dengan pacar yang cemberut itu tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Lain waktu, Reyhan dan pacarnya makan bakso berdua di kantin. Ima menghampiri mereka. Teringat kejadian di kelas satu, Reyhan mengantisipasi. Rencananya, jika Ima memesan bakso juga, dia akan makan baksonya sambil memegang mangkuknya, tidak diatas meja. Tapi ternyata Ima tidak memesan bakso. "Nyicip dong," katanya sambil langsung merebut sendok dari tangan Reyhan. Dia mengambil satu bakso, memasukkannya ke dalam mulutnya,"duwuan wa" katanya dengan mulut penuh bakso, lalu berlalu. Dengan ujung matanya Reyhan masih sempat melihat Ima memuntahkan bakso tersebut ke got. Berakhirlah kisah asmaranya.

_______
BERSAMBUNG

Nanti lagi ya...............
Sengaja pakai nama Ima hehehe..................nungguin yang protes

Telah Kutandai

aku telah menandainya
menjadikan lingkaran bulat dalam peta
mengasah hari-hari semakin tajam
melontarkan tanya berubah ia jadi batu
melontarkan kata berubah jadi api
sampai tangis menyiram benih menjadikannya bunga

aku telah menandainya
menjadikan lingkaran bulat dalam almanak
dan waktu menjadi elastis
tak beda sebentar ataupun lama
berpusing antara masa lalu dan masa depan
terjebak di labirin masa
sampai doa menyiram asa menjadikannya takdir

aku telah menandainya
menjadikan lingkaran bulat dalam kepingan hati
menutupnya rapat
menjadikannya rahasia tak terbaca
menimbunnya dengan diam dan sunyi
dalam riuh kata-kata
sampai tirai masa menyibak menjadikannya cinta

Sunday, December 13, 2009

Putri

berlari meniti pelangi
senyummu cerahkan hari
bidadari bening hati


Saya memanggilnya putri. Seorang siswa kelas 2 SMP di wilayah Cijantung. Dia seorang murid privat saya yang luar biasa istimewa. Istimewa karena otaknya yang amat brilian, sopan santunnya yang tanpa cela, dan satu-satunya yang tidak mau memanggil saya bu guru. Dia memanggil saya tante.

Dengan otak cemerlangnya sebetulnya dia tidak memerlukan les privat. Nilai UAS BN sewaktu SD untuk pelajaran matematika 9,75 yang artinya hanya salah satu dari 40 soal. Sewaktu kelas 7, sering mendapat nilai terbaik untuk matematika. Tapi di kelas 8, kebetulan dia mendapat guru yang style mengajarnya membuatnya ciut. Dia merasa, kalau tidak paham dan bertanya, bukannya jadi mengerti malah serasa dimarahi. Akhirnya dia minta pada orang tuanya untuk mendapat tambahan pelajaran matematika.

Baru beberapa pertemuan saya langsung tahu, bukan kemampuannya yang menurun, tapi rasa percaya dirinya yang terkikis akibat sikap gurunya. Dia tetaplah cemerlang. Menghabiskan waktu bersamanya adalah rekreasi otak yang asyik. Saya senang mengamati cara berfikirnya yang efisien dan seringkali membuat saya takjub. Seringkali saat mengerjakan soal-soal prnya, dia menemukan jawaban secara cepat, tanpa harus mengikuti langkah-langkah baku yang diajarkan sang guru. Salah satunya pernah saya tulis di postingan untuk penggemar matematika. Saat dia sudah paham sebuah bab, tidak banyak lagi yang harus saya jelaskan saat dia mengerjakan soal. Percakapan yang sering terjadi adalah; "begini ya tante?" "hm mh"........."begini ya?" "hm mh" begitu berulang-ulang. Sampai suatu ketika dia nyeletuk; "tante enak yah, kerjanya hm mh hm mh doang" Hahahaha, terima kasih guru matematikanya putri yang membuat hm mh saya mendapat imbalan.

Suatu ketika, saat saya ke rumahnya. Di meja tempat kami biasa belajar ada beberapa tangkai rambutan dalam piring. Rambutan yang berasal dari pohon yang berada di halaman rumahnya. Sebelum belajar, putri mempersilakan saya untuk makan rambutan itu. Saat putri mengerjakan soal, iseng saya memakan sebuah. Ternyata benar-benar manis. Tanpa terasa, sampai selesai sesi pelajaran kami, cukup banyak juga rambutan yang saya habiskan.
Hari kamis kemarin tidak seperti biasa, saya ke rumahnya jam 8 pagi karena selama ulangan Putri sekolah siang. Ternyata di meja telah ada beberapa tangkai rambutan yang nampaknya baru dipetik. Putri berkata: "Tante itu rambutan. Tadi saya sengaja minta papa memetik rambutan untuk tante. Tante kan doyan" Mengapa mata saya jadi berkaca-kaca?

Saturday, December 12, 2009

Sisi Lain

Selama ini saya selalu menganggap diri saya ini orang baik. Ada yang mau protes? Tapi kalau diingat-ingat kembali, kadang ada sisi lain yang muncul

Hari itu saya sampai di rumah jam 9 lebih, hampir setengah sepuluh malah. Tetangga rupanya ada yang memiliki biola baru, terdengar suara gesekannya: doremifasolasido dosilasolfamiredo. Oh, baru belajar solmisasi rupanya. Sepuluh menit masih terdengar suara yang sama. Lima belas menit. Setengah jam. Sungguh saya merasa kagum akan kegigihannya. Rupanya pantang berhenti baginya sebelum benar-benar terdengar sempurna. Menjelang jam sebelas, saat saya sudah merebahkan diri ingin segera terlelap, masih juga terdengar doremifasolasido dosilasolfamiredo. Tak juga bisa lelap karena terganggu oleh suara biola itu.Tiba-tiba muncul tanduk di kepala saya: duuuh, kapan ya itu senar biolanya putus


Di waktu lain saya dalam perjalanan dari Pasar Rebo menuju depok. Menghindari jalanan yang ramai, saya mengarahkan motor saya melewati jalan alternatif menembus kopasus. Sebetulnya saya tidak sedang terburu-buru, juga tidak suka ngebut. Tapi di depan saya sebuah mobil bak terbuka yang terlalu lamban untuk diikuti. Saya tarik gas sedikit mencoba mendahului mobil tersebut. Tapi sopir mobil tersebut rupanya tiba-tiba ingin menambah kecepatannya. Laju mobil tersebut semakin kencang. Kadung punya niat menyalip, saya tambah tarikan gas motor saya untuk menambah kecepatan, tapi si mobil juga melakukan hal yang sama. Oh, dia tidak ingin disalip rupanya. Ya sudah, toh kecapatannya sudah cukup. Saya mengalah. Menempatkan kembali motor saya di belakang mobil tersebut. Saat saya sudah mengalah, laju mobil tersebut kembali pelan, benar-benar pelan.

Wah, ni mobil lagi cari gara-gara rupanya. Kembali saya tancap gas untuk menyalip mobil tersebut. Seperti sudah saya duga, mobil itupun kembali menambah kecepatan. Saya tidak mau mengalah saya tambah lagi tarikan gas, mobil itupun melakukan hal yang sama. Kali ini benar-benar saya tidak mau mengalah, saya tambah terus kecepatan saya, sampai tiba-tiba saya melihat sebuah polisi tidur yang amat 'gemuk' hanya dalam jarak beberapa meter saja. Saya kurangi tarikan gas, lalu menginjak dan menarik rem tangan, tepat sebelum polisi tidur tersebut. Si sopir mobil kurang beruntung. Rupanya dia terlalu konsentrasi memperhatikan posisi saya, jadi tidak sempat melihat polisi tidur tersebut. Dia baru menginjak rem dengan mendadak, saat mobilnya mendarat setelah 'melompat' akibat melewati polisi tidur dengan dengan kecepatan tinggi. Sepertinya hentakan yang dirasakan si supir lumayan juga, karena bunyi gubraknya saja terdengar kencang sekali. Bukannya bersimpati, saya malah tertawa melihat nasib yang dialami si supir, dan menyalib mobil tersebut serasa jadi pemenang

Rupanya, saya masih harus belajar untuk menjadi orang yang benar-benar baik...................

Kukuh

tak meluruh tanpa waktu paruh
tak juga mengaduh
tak mengalir seperti air melainkan riuh
tak rebah tak juga menyerah

tanpa prasasti dia ada
tak harus sampai
tak juga harus kembali
biarkan saja

Tuesday, December 8, 2009

Bolehkah?

bolehkah kutitipkan sejenak resahku
agar dengan tenang kupandang bintang
sebelum lelapku malam ini

bolehkah kusandarkan sejenak duka
agar kubisa tengadah memandang dunia
pada hari-hari letihku

bolehkah kau dan aku duduk berhadapan
agar bisa kuceritakan
bening air sungai yang mengalir

tanya yang kusampaikan lewat angin
telah sampaikah?

Friday, December 4, 2009

Di Langit Ada Matahari

Apa judul di atas mengingatkan anda pada sebuah lagu berirama gambus? Ya, niat untuk membuat tulisan ini muncul saat saya (tidak bisa tidak) mendengar lagu tersebut.

Dua hari ini saya mudik karena adik laki-laki semata wayang saya menikah. Unik juga kisahnya. Pertemuan pertama adik saya dengan (calon) isterinya terjadi beberapa hari sebelum lebaran kemarin. Pertemuan kedua saat mamah saya meminta dia datang ke rumah untuk memperkenalkan diri. Pertemuan ketiga saat adik saya (ditemani mamah saya, heee) mengunjungi rumahnya untuk memperkenalkan diri pada keluarganya. Pertemuan ke empat lamaran, dan pertemuan ke lima nikah. Subhanallah.

Beruntungnya tinggal di kampung adalah rasa kekeluargaan dan gotong royong yang masih sangat kental. Dengan rencana pernikahan yang terhitung lumayan mendadak, terus terang keluarga kami sangat tidak siap secara materi. Saat membicarakan pelaksanaan upacara pernikahan, kedua keluarga sepakat untuk melakukannya secara sederhana. Yang mana hal tersebut berupa kejujuran dari keluarga kami dan kerendah-hatian dari pihak mereka.

Jujur karena memang kondisi keuangan sedang pas-pasan. Kami bahkan bingung, bagaimana mau mengangkut saudara-saudara yang sebegitu banyak ke tempat pernikahan. Beruntung punya tetangga pada baik hati. Mereka dengan sukarela menyediakan mobilnya, plus supir dan bensin. Sebelas buah mobil disediakan oleh tetangga, ditambah beberapa mobil saudara siap mengantar rombongan pengantin. Para tetangga tentu saja terlibat aktif di kepanitiaan dan ikut juga dalam rombongan.

Upacara penyambutan calon pengantin laki-laki ternyata versi 'modifikasi'. Selama ini saya hanya mengenal upacara yang 'murni' sunda. Ada kawih dari sinden, ada lengser yang menjemput, ada berbalas pantun menggunakan bahasa sunda sastra yang nyaris punah. Kemarin lain. Ada tarian penyambutan (yang kalau hal ini diberitahukan lebih dulu pasti ditolak adik saya), kemudian calon pengantin dipayungi diiringi lagu lir-ilir. Nah lho, orang jawa tengah, ayo patenkan lagu lir-ilir sebelum diklaim oleh jawa barat. Heheheh.

Setelah selesai akad, para tamu dipersilahkan untuk menikmati hidangan. Tempat untuk makan keluarga terpisah dari para tamu undangan. Sebetulnya tempatnya nyaman, hanya saja lokasinya disebelah panggung, tepat kearah mana sound system menghadap. Bila berkumpul, saat makan bersama biasanya kami jadikan ajang untuk saling banting, saling mencela, sekedar bercanda menambah keakraban agar kami bisa tertawa bersama. Tapi kemarin, acara makan kami lakukan dalam diam. Bukan apa-apa, sudah bicara berteriakpun percuma, yang tepat disamping kita saja tidak mendengar apa yang kita teriakan. Di panggung sedang tampil sebuah group qasidah (?). Dentuman basnya terasa menggetarkan dada.

Di langit ada matahari
bersinar menerangi bumi
...................................


Foto menyusul kalau dapet :)

Wednesday, December 2, 2009

Ironi

Saya bertetangga dengan seorang tukang ketoprak. Ini ketoprak betawi yang bisa dimakan ya, bukan ketoprak yang ditonton. Tinggal di sebuah kontrakan kecil satu ruangan plus kamar mandi. Beliau memiliki seorang isteri dan seorang anak berusia kira-kira 3 tahun. Pagi-pagi sebelum berangkat, si anak kadang minta ketoprak sebagai sarapannya dan berlagak seperti pembeli. Si bapak akan melayani permintaan si anak seolah-olah melayani pembeli dewasa.
“Pedes tidak pak?”
“Pedes dikit aja ya” si anak menjawab sambil tersenyum senang diperlakukan seperti itu.
Kalau sudah selesai dibuat, si bapak akan menyerahkannya dengan sopan pada anaknya. Saat si bapak mulai mendorong gerobaknya untuk jualan, si anak akan berteriak dari dalam rumahnya,”bapak hati-hati ya......!”
Si bapak tanpa menoleh akan menjawab, “Ya!”



Saya mengenal sebuah keluarga lain. Bapaknya seorang staf ahli menteri anu. Ibunya seorang PNS, dengan posisi nyaris jadi orang nomor satu di kantor dinas pendidikan tingkat kotamadya. Pendidikan si ibu S2, baik sarjana maupun pascasarjananya dari jurusan kependidikan.
Suatu ketika si ibu baru sampai di rumah menjelang magrib. Karena kelelahan, setelah berganti baju, si ibu rebahan di kamar. Anak perempuannya yang waktu itu baru berusia tiga tahun menghampirinya. Baru beberapa langkah dari pintu si ibu sudah berkata, “Kakaknya maen di luar sana, mama cape,”
Si anak melangkah lagi keluar mengurungkan niatnya mendekati ibunya.
Di saat yang lain, anaknya yang laki-laki yang baru kelas satu SD membentak-bentak pembantunya minta dicarikan mainan. Beberapa saat mencari belum ketemu, teriakan si anak semakin keras, kata-katanyapun semakin tidak sopan. Si ibu yang berada di dalam kamar tidak memberikan respon apapun. Belum ketemu juga, si anak benar-benar murka dan mulai memukuli pembantunya dengan tangan kecilnya. Meskipun kecil, rupanya dalam keadaan marah tenaganya lumayan juga. Si pembantu berusah menangkis pukulan-pukulannya tanpa hasil berkata, “udah.........udah........sakit tahu,” dan mulai menangis terisak-isak. Mendengar pembantunya menangis, baru si ibu keluar kamar, dan ternyata bukan untuk memarahi si anak karena sikapnya, melainkan untuk membantu mencarikan mainan si anak. “Sudah, mamah bantuin cari,” katanya dan mulai sibuk mencari. Si anak sama sekali tidak mendapat teguran, dan si pembantu yang menangis terisak-isak dibiarkan saja.
Saya mampir ke situ sebetulnya cuma untuk numpang sholat maghrib. Begitu akan keluar, si pembantu menghalangi saya di pintu dan memeluk saya erat sekali, meminta saya jangan pergi dulu. Saya cuma bisa mengusap-usap punggungnya tanpa tahu harus berkata apa.



Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menjadi kuning kemudian hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keredhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu. (QS Al Hadiid 20)

Monday, November 30, 2009

Sunday, November 29, 2009

Kisah Kita

penggal pertama
runut kembali jejak sang waktu
kala mula, tika malam tak juga mimpi
bayu bisikan kata, canda dan salah duga
tiada lelah ia walau harus lintas benua
tak mengapa
sedikit malu kuatkan aroma rasa
pasang surut itu biasa bagi samudra
pantai tetap digarisnya kala damai pun kala badai



penggal kedua
aku tak memilih rindu ini menjadi raja dalam dada
hanya aku tak bisa tumbangkannya



penggal ketiga
inilah masa kini kataku
inilah kenangan katamu
aku tergugu


___________

Kawan, baru kutahu, betapa perkasanya luka

Monday, November 23, 2009

Akulah kontradiksi

akulah kelam di cerlang gemintangmu
agar terpancar jelas kilaumu
aku hitam

akulah sunyi di gemuruh tepuk tanganmu
pada puja puji di akhir resitamu
aku bisu

akulah hambat pada lajumu
tahan gerakmu pada setimbang
aku rintang

akulah cemeti pada lelahmu
di ujung hari tak kunjung sandar
aku batu

akulah kontradiksi
namun aku pulalah
cinta

Bagaimana sih cara buka postingan dari inbox, atau dari blog list menggunakan operamini. Tapi tampilannya seperti tampilan mp biasa?

Bagaimana sih cara buka postingan dari inbox, atau dari blog list menggunakan operamini. Tapi tampilannya seperti tampilan mp biasa?

Sunday, November 22, 2009

[Cerpen] Lobi 3 - Tamat

Klik kisah sebelumnya

Aku sungguh tak mengerti. Tapi aku juga segan untuk mengejarnya untuk mempertanyakan mengapa begitu. Apa aku harus tak bisa apa-apa agar bisa diterima dimana-mana? Mengapa tidak mengambil Lili atau karyawan lain yang aku juga tahu sangat trampil menyayat ayam dan tahu pasti kalau blanquette de veau itu harus dibaca blangke du vu? Ah, masa bodoh, mengapa pusing memikirkan alasan sebuah keberuntungan? Tuhan memberiku keberuntungan dan aku tidak perlu alasan.

Mendekati akhir minggu kedua aku menjadi ketar-ketir. Aku tahu sejak semula bahwa aku tidak akan bisa melakukan semuanya. Tapi untuk kehilangan pekerjaan ini pun rasanya aku tidak siap. Jeleknya, kekhawatiranku berimbas pada konsentrasi kerjaku. Benar-benar dodol, saat Heru memintaku membuat hiasan dari tomat, aku malah merajang tomat itu. Heru tidak marah, dia cuma memintaku menggunakan tomat yang lain. Tapi dia tahu aku tak konsentrasi.

Keterampilankupun tidak bertambah, bahkan sampai tinggal dua hari lagi masa percobaanku, aku belum sekalipun memasak. Semuanya Heru yang melakukan. Sepertinya sebuah isyarat kalau aku harus siap-siap angkat kaki. Ah, kembali harus mendatangi pabrik-pabrik untuk mencari lowongan. Atau..................... apa mungkin aku melamar sebagai juru masak di restoran lain? Setidaknya kalau ditanya masakan apa yang aku bisa, aku bisa menjawab dengan gagah, ciken kordong bla, dan saya bahkan bisa mengeja tulisannya c-h-i-c-k-e-n c-o-r-d-o-n b-l-e-u.

Mendapat pikiran seperti itu semangatku naik pesat. Aku sangat bergairah dan benar-benar merekam dalam ingatan semua yang dilakukan Heru. Bahkan di rumah aku berlatih memasak berbagai masakan aneh itu. Tentu saja aku harus mengganti daging dengan tempe. Bagaimanapun, aku harus berhemat bukan? Tapi rasanya sungguh tidak kalah enak, eh, sepertinya sih begitu, karena masakan-masakan Heru itu aku tidak pernah mencicipinya. Lihat saja, restoran tempatku jadi juru masak kelak, akan menyaingi restoran ini.

Dan akupun mulai menjadi cerewet. Mengapa harus pakai ini? Itu gunanya buat apa? Mengapa ini harus dimasukan lebih dulu? Mengapa ini, mengapa itu. Sejauh ini Heru selalu menjawab pertanyaanku. Tapi dia nampaknya tidak suka. Mungkin dia pikir aku sedang mencari muka. Terserah, mau dia sebel, mau dia punya anggapan apa, aku harus menyerap sebanyak mungkin apa yang bisa aku pelajari. Toh salah dia juga, kenapa calon penggantinya tidak diajarinya memasak? Maka biarkan aku mencuri ilmunya untuk modalku mencari kerja di tempat lain.

Dan inilah saat keputusan itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Di depan sepertinya masih banyak tamu yang makan, atau entah sedang ngapain. Heran juga aku akan tamu-tamu itu. Makan saja bisa menghabiskan waktu sampai tiga jam lebih. Sepertinya lebih banyak ngobrolnya daripada makannya. Heru pernah bilang, kalau mereka datang ke sini tidak hanya untuk makan, tapi untuk membicarakan keperluan bisnis. Untuk bertemu relasi. Dan untuk itu mereka bersedia membayar makanan yang perporsinya setara dengan gajiku sewaktu kerja di pabrik. Bagaimana ya rasanya menelan makanan yang harganya cukup untuk membayar kontrakanku selama empat buan?

Tapi untungnya restoran membuat kebijakan, tidak menerima pesanan makanan lewat dari jam 9 malam kecuali makanan penutup, makanan ringan ataupun minuman. Dan itu bukan tanggung awab Heru. Jadi biasanya jam sepuluh malam memang tugas dapur kami selesai. Beberapa kegiatan masih dilakukan didapur, terutama bersih-bersih, tapi itu bukan tugas Heru, yang berarti juga bukan tugas aku.

Heru bilang padaku kalau aku jangan pulang dengan mobil pengantar bersama karyawan yang lain. Aku akan pulang dengan mobil yang biasa dipakai mengantar jemput Heru. Yah, dapat fasilitas lebih saat vonis tiba, pikirku setengah geli, setengah sedih.

Heru mengajakku ke ruang tempat makan para karyawan. Cukup aneh juga sebetulnya, sebuah rumah makan yang besar dengan persediaan makanan berlemari-lemari, untuk makan karyawannya menggunakan catering dari tempat lain. Dan karyawan mempunyai tempat sendiri untuk makan, bahkan karyawan dapur sama sekali tidak boleh masuk ke area yang diperuntukkan bagi tamu. Juga karyawan yang bekerja dibagian depan, sama sekali tidak boleh masuk ke dapur.

Heru membuat teh untuk dirinya sendiri dan menyuruhku membuat minumanku sendiri. Aku menolak, sepertinya tenggorokanku tidak akan mengijinkan apapun masuk melewatinya pada saat seperti ini. Kami duduk berhadap-hadapan. Melihat wajah Heru yang nampak rileks aku agak geram juga. Kenapa tidak memperlihatkan sedikit rasa sedih? Huh.

“Kamu tahu,” katanya, “aku sudah pernah mengatakan padamu, bahwa aku menerimamu karena kamu tidak bisa memasak. Dulu, di awal-awal aku mengundurkan diri, restoran ini mencari juru masak yang punya ijazah memasak, lulusan sekolah kuliner. Tapi ternyata susah untuk mencari orang yang benar-benar paham soal rasa. Aku tidak menyalahkan improvisasi dalam memasak, tetapi harus tetap memegang teguh pakem-pakemnya. Beberapa orang yang aku uji, sangat terampil memasak, tetapi karena sudah pintar, mereka cenderung melanggar pakem-pakemnya. Kamu lihat, aku selalu konsisten, kapan menambahkan garam yang tepat pada sebuah masakkan.” Oh, itu pakemnya pikirku, yang dari tadi tidak mengerti apa yang dia bicarakan.

“Karena tidak ada satupun yang sesuai dengan keinginanku, aku menjanjikan pada pemilik restoran ini untuk mendidik sendiri calon koki di restoran ini. Kebetulan restoranku sendiri sepertinya tidak akan selesai pembangunannya dalam waktu dekat, itu sebabnya aku bersedia melakukannya.” Aku manggut-manggut, tidak tahu harus bicara apa.

“Jadi mulai besok, kamu yang akan memasak dan aku yang akan mengawasimu. Aku baru akan benar-benar meninggalkan restoran ini setelah yakin kamu melakukannya dengan benar.”

Apa?

“Ayo, mobil jemputanku sudah menunggu.”

(TAMAT)

______________

Sebuah catatan:

Ide awal membuat cerpen ini sebetulnya ingin berkisah tentang sebuah restoran high class, tempat dimana lobi-lobi bisnis bernilai ratusan milyar dilakukan. Lalu suatu hari, seorang yang tidak becus memasak diterima bekerja bekerja sebagai koki, padahal posisi itu diincar banyak karyawan dapur yang sudah lama bekerja. Karyawan lain menganggap karyawan baru itu diterima karena melakukan ‘lobi’ terhadap manager. Lalu terjadi persaingan, dan berbagai lobipun dilakukan.

Tetapi begitu ditulis, saya teringat sebuah serial korea yang menampilkan sebuah seni memasak yang luar biasa. Saya lupa judulnya, yang jelas peran utamanya seorang dayang bernama janggem. Lalu akhirnya suasana dapurnya sendiri mendapat porsi yang amat besar, sampai saya mendapat protes dari Lina, “Teteh, ini cerpen atau cerbung?”

Hehehe, karena kalau saya lanjut dengan ide awal saya maka bukan lagi cerpen namanya melainkan novelet, maka saya cukupkan sampai di sini. Maafkan untuk judul yang tidak nyambung akibat pergeseran ide. ^___^

Friday, November 20, 2009

[Cerpen] Lobi 2

Klik Kisah sebelumnya

Kulihat Heru mendengarkan sebentar, lalu meletakkan telepon itu dan keluar setelah sempat mengucapkan “tunggu di sini”. Aku bingung mau ngapain, dan bermaksud membersihkan bekas masakku tadi. Tapi rupanya Lili telah melakukannya dengan cepat, benar-benar sudah bersih kembali alat-alat yang kupakai tadi. Akhirnya aku berdiri bengong melihat segala kesibukan mereka. Kulayangkan pandanganku ke segala arah, nampak olehku dua buah kamera di pojok atas ruangan. Itu rupanya yang menyebabkan mereka begitu sibuk dan tidak saling mengobrol kecuali bertukar beberapa kalimat seperti; kuahnya sudah siap atau kecilkan apinya.

Heru masuk lagi, dan bilang kalau aku disuruh menghadap bagian personalia, ruangannya disebelah ruangan manager, lalu dia langsung meninggalkanku. Karena Heru berbicara seolah-olah aku sudah tahu ruangan manager, aku mengambil kesimpulan bahwa ruangan manager pastilah ruangan pertama kali aku diinterogasi, ruangan si pria tanpa senyum. Akupun segera mencari ruangan tersebut.

Pastilah ini ruangannya. Ruangan ini berisi dua orang. Seorang wanita dan seorang pria. Si wanita memandang saya sedemikian, sehingga saya tersadar kalau saya masih menggunakan celemek dan tutup kepala. Wanita itu tersenyum dan mempersilahkan saya duduk.

“Begini mbak...........siapa namanya?” katanya. Ah, akhirnya ada juga yang menanyakan namaku.

“Nama saya Rara bu,” sahut saya sesopan mungkin.

“Begini Rara, Restoran ini memang butuh seorang koki, karena Heru, koki utama kami sudah enam bulan yang lalu mangajukan pengunduran diri. Dia sedang membangun restorannya sendiri di Bali. Tetapi kami minta dia mencari pengganti, dan tidak meninggalkan restoran ini sebelum mendapatkan pengganti yang pas.”

Saya membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulut saya. Sebetulnya saya ingin mengatakan bahwa saya tidak mungkin menjadi pengganti yang pas karena saya tidak becus memasak, tapi mengatakan hal itu sama dengan melepaskan kesempatan emas yang sudah nyaris ditangan. Jadi saya mengatupkan kembali mulut saya tanpa mengatakan apapun.

“Bagi saya, sangat tidak masuk akal alasan yang disampaikan Heru untuk memberimu kesempatan, Tapi itu bukan urusan saya. Heru memang punya wewenang mutlak untuk menentukan penggantinya karena kami tahu kualitas dan loyalitas dia. Dia tidak akan mengecewakan kami.”

Kembali saya membuka mulut, tapi seketika itu juga saya mengatupkannya kembali. Saya ingin menanyakan, alasan tidak masuk akal apa yang disampaikan Heru untuk menerima saya? Karena nasi goreng saya tidak karuan? Kalau itu yang disampaikan Heru pastilah wanita ini menentang habis-habisan. Tapi saya tidak tahu apakah sopan untuk menanyakannya saat ini.

“Untuk itu, kami berniat memberimu masa percobaan selama dua minggu. Dalam dua minggu itu, kamu akan mendapat bimbingan dari Heru, sekaligus juga penilaian. Diakhir waktu dua minggu itu, Heru akan menentukan apakah kamu akan diterima menjadi karyawan di sini, atau terpaksa kami mencari orang lain lagi. Dalam masa dua minggu itu, kamu belum terhitung sebagai karyawan kami, jadi jika pada waktunya kami memutuskan untuk memintamu pergi, kami tidak akan memberimu pesangon atau apapun yang semacam itu. Tetapi kamipun tidak ingin merugikan waktumu. Dalam dua minggu itu kamu akan mendapat transport dan uang makan,” wanita itu menyebutkan sebuah nominal yang nyaris membuatku meloncat-loncat. Bisakah masa percobaannya diperpanjang sampai sebulan? Atau selama-lamanya? Tapi aku tidak mengatakan apapun. Hanya diam menyimak apa yang ia katakan.

“Asal kamu tahu, sudah lima orang yang kami coba, dan kelimanya gagal di mata Heru”

Waduh! Aku harus hati-hati.

Kemudian aku mengisi beberapa lembar formulir dan menandatangani surat perjanjian, entah apa maksudnya, terserah, yang jelas untuk dua minggu ini aku dapat bernafas lega. Hidupku terselamatkan, setidaknya untuk sementara.

Begitulah keesokan harinya aku mulai bekerja di restoran ini. Belajar tepatnya. Karena aku tidak diberi tanggung jawab apapun. Tugasku adalah melihat semua yang dikerjakan Heru. Mengagumkan memang melihat bagaimana trampilnya dia mengiris daging, menyayat ayam dengan sayatan yang sempurna dan kecepatan luar biasa. Agak ngeri juga melihatnya, ngeri karena tahu aku diharapkan untuk seterampil itu, dan aku yakin seyakin-yakinnya bahwa aku tidak mungkin melakukannya. Tapi aku tidak mau mundur. Ditempat mana orang digaji sebesar itu cuma untuk menonton orang lain bekerja. Sungguh beruntung diriku, meskipun cuma untuk dua minggu. Maka aku nikmati saja peranku sebagai pemantau ini. Sejauh ini kata-kata yang dilontarkan Heru padaku berkisar antara ambilkan pisau potong, pisau kupas, pisau sayat, pisau cincang, bukan yang itu, sebelahnya, paling kanan. Dan aku tidak mengeluh. Rupanya pelajaran hari pertama adalah pengenalan berbagai macam pisau.

Hari kedua Heru mulai banyak bicara. Kalau untuk memasak anu, entah apa telinga saya tidak menangkapnya, memotong tomatnya begini, kalau untuk anu memotongnya begitu. Busyet, memotong tomat saja ada aturannya. Kalau untuk anu bumbunya ditumis sampai wangi, kalau untuk anu cukup sampai bawangnya layu. Dan saya cukup memasang wajah ‘saya mengerti’ meskipun tidak yakin saya akan hapal wejangannya. Dan saya mulai tahu kalau tulisan di layar yang diatas jendela itu adalah nama masakan yang harus dibuat Heru. Dan lucunya, menu tersebut biasanya dipesan beberapa hari sebelumnya. Bagi saya aneh rasanya bila orang merencanakan akan diisi apa perut mereka beberapa hari yang akan datang.

Pada hari ketiga Heru memberikan daftar nama masakan yang harus saya hafal, untungnya dia juga menuliskan cara membacanya. Nama-nama yang hebat, yang untuk mengucapkannya perlu mengatur posisi kemonyongan mulut. Yah, kalau ujian kelulusanku dua minggu mendatang adalah menyangkut hapal tidaknya daftar ini, tentu saja aku akan menghapal daftar ini sebaik-baiknya. Dan ternyata hari-hari berikutnya, Heru tidak mau lagi menatap layar lebar itu. Aku yang harus membacakan nama masakan yang harus dibaca tersebut. Kalau aku salah mengucapkannya, Heru akan membetulkan ucapanku. Kalau Heru tidak dapat menangkap nama masakan yang kuucapkannya karena aku separo mengira-ngira dia akan menyuruhku mengeja huruf demi huruf, lalu menyebutkan ucapan yang benarnya. Lalu dia mengomel satu kalimat, kamu membuang waktuku dua menit.

Kalau ada suatu masakan yang sudah beberapa kali dipesan orang, Heru akan menyuruhku menyiapkan bahan-bahannya, tanpa memberitahu apa yang harus disiapkan. Untungnya aku lebih sering ingatnya dari pada lupanya, dan untungnya pula, kalaupun aku lupa aku cuma mendapat omelan satu kalimat khas Heru, kamu membuang waktuku dua menit.

Pada akhir minggu pertama, aku tidak dapat menahan diri lagi, pada saat kami sama-sama menaruh celemek dan topi masak di tempat cucian, aku bertanya padanya, dengan alasan apa aku direkomendasikan untuk mendapat masa percobaan disini.

“Karena kamu ngga bisa masak,” jawabnya singkat dan berlalu meninggalkanku.

Hah?!

(BERSAMBUNG)

Thursday, November 19, 2009

Tega

bersisian kita dalam penantian yang sama
kau mulai gigil dan aku menghitung tetesan hujan
sesaat kita bertatapan
dan engkau segera membuang pandang
meluruskan tatapmu kearah jalan yang luput menawarkan harapan
kemeja putihmu telah lekat menampilkan rona badanmu
sampai kau begitu kuyup
aku masih saja menghitung tetesan hujan
pada bibirmu yang kian membiru
terbersit harapan
secangkir kehangatan


______

Dalam hujan deras menanti angkot di pinggir jalan bersisian dengan seorang anak SMA yang tidak membawa payung. Agak rikuh juga mau menawarkan sepayung berdua karena dia laki-laki meskipun cuma seorang anak SMA. Yah, akhirnya cuma mendoakan, semoga ibunya di rumah menyediakan secangkir teh panas untuknya. Semoga dia tidak jatuh sakit. Hiks..............................
Mbak Wiwik, Lingling, kalau yang ini bener-bener curahan hati.............. ^___^

[Cerpen] Lobi

Rumah makan ini terletak sebuah jalan yang sepi. Pertama kali melamar di sini aku tidak yakin mereka mampu menggajiku cukup besar, setidaknya setara dengan teman-temanku yang kerja di pabrik. Aku juga datang sama sekali tidak membawa surat lamaran. Datang begitu saja lewat pintu pengunjung, dapat anggukan sopan dari dua orang berseragam batik yang berdiri di pintu. Mungkin mereka mengira aku mau makan di situ. Lalu aku bertanya pada orang itu apakah rumah makan ini butuh karyawan. Mas-mas yang berseragam batik itu tersenyum, kukira dia akan bilang tidak dan mempersilahkan aku datang dilain waktu sebagaimana aku biasa diperlakukan satpam perusahaan kalau aku datang menanyakan lowongan. Tapi, yang ini ternyata tidak begitu. Dia bertanya apa aku bisa masak. Masak? Bikin tempe goreng kegosongan, atau telur dadar keasinan, aku ahlinya, begitu kataku waktu itu. Tentu saja maksudku adalah, aku ingin jadi kasir saja, atau jadi pelayan yang menyajikan makanan, konon suka dapat tip yang lumayan. Mas-mas itu tersenyum lagi dan meminta saya ikut dengannya! Sungguh aku baru tahu begitu tekniknya ternyata kalau mau lolos dari penghalang pertama, jawablah dengan asal, maka kau akan sampai di penghalang berikutnya.

Sebuah ruangan, kantor aku kira, yang cukup luas dengan beberapa lemari filling cabinet di sisi temboknya. Satu set sofa lengkap dengan mejanya. Aku tak tahu kalau sebuah rumah makan ternyata punya kantor yang cukup luas seperti ini. Di pojok terdapat sebuah meja kerja, dan seseorang duduk di belakangnya sedang menatap diriku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Benar-benar penuh selidik membuatku bertanya-tanya apa aku lupa menyisir sebelum berangkat kemari? Si mas-mas yang mengantarku sedikit maju dan berkata;

“Mbak ini sedang mencari pekerjaan, dan dia katanya bisa masak,” katanya.

Dodol! Siapa yang bilang bisa masak? Apa kupingnya ngga dibersihkan selama setahun?

“Oh, silahkan duduk,” orang itu bicara tanpa senyum. Si mas yang mengantarku meninggalkan kami, dan aku jadi sedikit grogi. Ingin rasanya memanggil mas itu untuk menemaniku menghadapi interogasi ini.

“Bisa buat makanan luar? Itali, Perancis, jepang, atau Thailand?” dan dia menyebutkan beberapa kata dalam bahasa asing yang aku sama sekali tak tahu maksudnya. Aku melongo.

“Atau masakan daerah? Sop konro? gulai banak? Ayam rica-rica?”tanyanya lagi.

Dalam hatiku aku berkata, tuan, anda ingin apa? Indomie rebus atau Indomie goreng? Beri saya waktu sepuluh menit, dan saya akan menghidangkannya untuk anda. Tapi tentu saja aku tidak bisa bicara seperti itu. Maka akupun hanya menggeleng.

“Jadi masak apa yang kau bisa?”

Nah ini baru pertanyaan, mungkin aku bisa menjawabnya. Sebentar aku pikirkan dulu. Telur rebus? Telur dadar? Telur mata sapi? Telur orak-arik? Mana kira-kira yang akan membuat tuan di depanku ini terkesan? Sedikit nekat aku menjawab; Nasi goreng!

Giliran tuan di depanku ini yang melongo. Satu sama pikirku puas.

“Nasi goreng apa?” tanyanya belum mau kalah.

“Eh, eeeee..... apa saja. Nasi goreng tanpa kecap, dengan kecap, nasi goreng kambing, petai, ikan asin..............” cerocosku mengingat-ingat tulisan di tenda penjual nasi goreng di ujung gang kontrakanku.

“Baik,” katanya. Lalu dia mengangkat telepon yang terletak di samping meja. Telepon yang aneh menurutka karena hanya punya tiga tombol, sama sekali tidak ada tombol angkanya. Dia memencet tombol yang tengah, lalu berkata,”Heru, bisa kemari sebentar?”

Aku tidak mendengar jawabannya. Tapi tidak lama seorang laku-laki berbaju putih-putih, menggunakan celemek yang juga putih, bertopi koki berwarna putih juga masuk ke ruangan.

“Ya, pak?” katanya begitu memasuki ruangan.

“Mbak ini melamar untuk jadi juru masak. Dia Cuma bisa bikin nasi goreng. Suruh dia bikin nasi goreng seafood,”

“Baik, pak. Mari mbak,”

Aku mengikutinya. Rupanya orang-orang yang bekerja di rumah makan ini punya masalah dengan organ pendengaran mereka. Seingatku, aku tidak menyebutkan nasi goreng seafood tadi. Sepanjang perjalanan mengikuti orang yang dipanggil Heru itu, aku berpikir, dengan merasa sedikit sakit hati, orang itu bahkan tidak menanyakan siapa namaku. Mungkin keterampilanku mengiris bawang jauh lebih berharga bagi mereka dibandingkan dengan namaku. Dan ternyata, aku tidak perlu terampil mengiris bawang.

Aku sampai di ruangan bertuliskan kitchen di pintunya. Busyeeeet, gede sekali. Ukurannya mungkin lima kali besar kontrakanku. Dua buah paha sapi utuh nampak tergantung di lemari berpintu kaca di sudut. Disampingnya berderet-deret lemari pendingin penuh berisi ayam dan beberapa unggas lain. Meja putih beralas marmer nampak memanjang di tengah-tengah ruangan, beberapa orang nampak menghadapi meja tersebut melakukan berbagai aktifitas, mengiris, memukul-mukul, entah apa, memotong sayuran. Semuanya menggunakan celemek dan tutup kepala. Di dinding sebelah kanan nampak sebuah jendela besar, orang-orang itu meletakkan makanan yang nampaknya siap untuk disajikan dijendela tersebut. Diatas jendela tersebut nampak sebuah layar besar menampilkan tabel berisi angka, kemudian nama asing, sesuatu sepertinya ukuran ada medium, large dan regular, dan penjelasan seperti, tanpa bawang, double cheese dan kata-kata lain seperti itu, setidaknya kupikir begitu karena aku juga tidak tahu artinya.

Heru menyodorkan sebuah celemek dan sebuah topi berwarna putih untuk kupakai. Dengan sedikit risih aku memakainya. Heru menunjukkan alat-alat yang bisa kupakai, lalu memanggil seorang bernama Lili untuk membantuku. Lalu dia meninggalkanku dan sibuk melakukan ini itu dan menyuruh ini itu. Sepertinya dialah komandan di ruangan ini.

“Butuh apa mbak? Tanya Lili

“Bawang,” kataku

“Berapa butir? Diiris atau di tumbuk?” tanyanya.

Apa? Horeeee, berarti aku tidak perlu menumbuk sendiri. Lalu akupun jadi belagu. Menyuruh menumbuk ini itu, mengiris ini itu, dan aku hanya bermain-main dengan ketimun. Tapi aku bingung, kalau untuk nasi goreng, seafoodnya harus diapain dulu ya? Masa dimasukkan mentah-mentah? Akhirnya aku menyuruhnya mengupas udang dan mengiris cumi menjadi potongan-potongan kecil, lalu aku menumisnya, iseng aku ambil botol yang ada di rak yang ada disamping tempatku memasak. Aku bahkan tidak bisa mengeja tulisan pada botol tersebut, bodo amat, aku masukkan satu sendok ke dalam tumisanku. Aku ambil botol yang lain, tanpa membaca tulisannya aku masukkan pula satu sendok. Lalu aku masukan nasi yang sudah disiapkan oleh Lili, aku masukkan irisan daun bawang, sempat terlintas dipikiranku bahwa tukang nasi goreng tidak pernah memasukkan daun bawang pada nasi goreng yang dibuatnya. Setelah mateng, aku sempet ragu-ragu, apa aku perlu membuat juga telur dadarnya? Akhirnya kuputuskan tidak perlu. Dengan nasi goreng ancur, yang bahkan aku tidak mau mencicipinya. Pastilah aku tidak akan diterima. Jadi tidak perlu repot-repot.

Seolah tahu aku sudah selesai, Heru menghampiriku. Mengambil piring nasi gorengku, kemudian mengernyitkan keningnya. Mendekatkan nasi goreng itu ke hidungnya, dan dia tersenyum geli. Nah, nah, silahkan katakan, aku tidak apa-apa.

“Sebentar,” katanya, lalu dia menghampiri sebuah pesawat telepon
yang mirip dengan yang di meja laki-laki tadi. Lalu aku mendengar dia berkata,”Pak, saya merekomendasikan dia.”

Hah? Apa organ pendengaranku sekarang yang tidak beres? (BERSAMBUNG)

________

Juara, aku setor separo dulu ya, ada keperluan dulu nih, nanti siang atau besok diterusin lagi.

Saturday, November 14, 2009

Selisih Waktu

biar kubuka kamus tebal itu
agar kubaca kembali
arti kemarin, kini dan esok
dan mengurutkannya dengan benar
apa aku punya pilihan
untuk berada di kemarin, kini atau esok
jika kau selalu kemarin
dan aku selalu esok
dimana kita kan bersua
ataukah kita samakan almanak kita
untuk mulai langkah bersama
maju atau mundur
ke kanan atau ke kiri
siapa peduli?


________

Wednesday, November 11, 2009

[Buat Penggemar Matematika ^___^] Hayyyooo Siapa Bisa menjelaskan

Soal berikut adalah PR seorang murid privat saya kelas 2 SMP. Dia cuma butuh waktu satu detik setelah membaca soal, langsung memberikan jawabannya sambil tertawa-tawa. Jujur, saya sendiri tidak langsung terfikir seperti dia. Butuh waktu 5 detik memandang cengirannya sebelum saya dapat mengikuti jalan fikirannya. Silahkan dibaca dan jelaskan bagaimana cara anda menemukan jawabannya ^___^.

Titik (a, b) merupakan titik potong garis y = 3x - 8 dan x + y = 12.
Nilai a + b adalah ......

[Senyum] Seikhlasnya..........

Seorang sepupu saya mengantar suaminya ke pengobatan alternatif karena tulang pergelangan tangan suaminya menonjol (entah seperti apa saya juga tidak tahu). Tempat pengobatan alternatif tersebut lumayan terkenal, terbukti dari antrian pasien yang mencapai puluhan orang. Di sebuah meja terletak kotak untuk mengisi uang pembayaran pengobatan. Setelah tanya kiri kanan dan mendapat jawaban dari para pasien yang mengantri bahwa nominal bayarnya ‘seikhlasnya’ sepupuku memasukan uang tiga ribu rupiah (anda tidak salah baca T – I – G – A - R – I – B – U - R – U – P – I – A – H)

ke dalam amplop dan memasukkannya ke dalam kotak tersebut. Setelah antri menanti sekian puluh orang pasien, akhirnya tibalah giliran suami sepupuku ini mendapat pelayanan pengobatan. Begitu sampai di ruang pengobatan si tukang obat eh si tukang mengobati tersenyum, memegang pergelangan tangan si pasien dan berkata,”nanti ke sini lagi ya”, kemudian memanggil pasien berikutnya.

“ikhlas kok” kata sepupuku ^___^

***

Sepupuku yang lain mengurus SKCK di sebuah kantor (nah saya tidak katakan kantor apa dan dimana supaya tidak kena delik UU IT). Setelah SKCK selesai si petugas berkata bahwa biaya administrasinya ‘seikhlasnya’. Sepupuku mengeluarkan selembar uang Rp. 20.000. Eh, si petugas berkata,”memang segini wajar mbak?” merasa tidak enak, sepupuku mengeluarkan lagi selembar Rp. 10.000. Si petugas berkata,”tambah lima ribu lagi deh mbak”. Lho katanya seikhlasnya? ^___^

Sunday, November 8, 2009

Oh........oh..........oooooooooooohhhhhhhhh........

Ternyata budaya kerja dimana kita berada sangat mempengaruhi sikap dan cara pandang kita. Saya sungguh merasa bersyukur pernah menjadi guru untuk waktu yang lumayan lama di As-sa’adah. Saat pamitan pada ketua yayasan, saya sempat melontarkan bahwa menjadi guru di yayasan tersebut adalah hal terbaik yang terjadi dalam hidup saya, dan saya tidak main-main. Jam belajar As-sa’adah dari pukul 7 sampai pukul 2 siang, jam kerja guru sampai jam 3. Tetapi kecuali ada keperluan penting, jarang sekali guru yang pulang tepat di jam tiga. Biasanya mereka asyik membuat persiapan-persiapan untuk pembelajaran keesokan harinya dan baru pulang lewat dari jam 4, bahkan terkadang sampai maghrib. Pembelajarannya sedapat mungkin memang tidak konvensional (kecuali kelas 6), karenanya guru harus banyak melakukan persiapan. Padahal tidak ada yang namanya uang lembur, semua itu dilakukan dengan sukarela. Setidaknya hal itu yang saya rasakan waktu As-sa-adah belum pindah gedung.

Budaya pembelajarnya juga sangat baik. Guru biasanya antusias untuk dikirim pelatihan. Sepulang dari pelatihan guru diwajibkan mempresentasikan hasil pelatihannya kepada rekan-rekan sesama guru. Bagi saya, hal itu menjadi ajang saya berlatih berbicara di depan umum sehingga menjadi terbiasa saat dikirim presentasi ke sekolah lain atau saat menjadi pemandu di KKG kecamatan.

Saya jadi bernostalgia, karena tadi siang saya bertemu dengan seorang wakasek kurikulum sebuah sekolah swasta di daerah Depok. Seperti pernah saya ceritakan, saya menawarkan presntasi AMU (analisis materi ujian). Setelah mengobrol beberapa saat beliau meminta saya untuk memberikan pelatihan tidak hanya untuk guru kelas 6, tetapi seluruh guru dari kelas 1 sampai kelas 6, dengan titik tekan pada perubahan paradigma guru dan trik untuk pembelajaran Matematika dan IPS dalam bentuk workshop.

Saya meminta gambaran mengenai guru-guru di sekolah tersebut. Dan jawabannya sungguh membuat saya tercengang. Jam belajar di sekolah tersebut sampai jam 2, dan guru langsung bubar bersama murid-murid. Sewaktu aturannya dirubah, guru baru boleh pulang jam 14.30, begitu bel pulang, guru bukannya memantau muridnya pulang dengan siapa, sudah dijemput semua atau belum, melainkan duduk di ruang guru menunggu setengah tiga!

Saya minta informasi pelatihan apa saja yang telah mereka dapatkan. Si wakasek tersenyum miris, beliau menjawab: “Sebut saja pelatihan apa yang pernah diadakan untuk guru: Quantum learning, quantum teaching, student active learning, KBK, KTSP, mereka semua sudah pernah mendapatkan pelatihannya. Setiap guru mempunyai sertifikat pelatihan lebih dari 40 buah”

WADUH! Dengan jam dan jenis pelatihan sekian banyak seharusnya saya yang duduk menjadi peserta pelatihan dan mereka yang menjadi trainernya. Tapi, beliau melanjutkan,”Sepulang dari pelatihan, berkas pelatihan masuk map, dan kembali mereka mengajar secara konvensional”.

Lalu, LALU.................untuk apa mereka ikut pelatihan kalau begitu? “Mereka mengumpulkan sertifikat pelatihan untuk ikut sertifikasi guru” GUBRAKS!!!! Terus, bagaimana saya yang trainer kacangan ini diharapkan mampu mengubah paradigma mereka, sedangkan pelatihan dengan trainer yang benar-benar kompeten saja tidak membekas? “Jangan khawatir bu, saya akan mengadakan supervisi, kalau mereka tidak mengaplikasikan hasil pelatihan tersebut, akan berefek pemotongan gaji besar-besaran, seperti yang pernah dilakukan saat mereka tidak mengumpulkan rencana pembelajaran”

.................................................................................................

Tuesday, November 3, 2009

Kenangan

hilang sudah jejak ribuan langkah yang pernah kupijak
pudar pula gaung suara yang kusimak pun yang kukata
padamlah rasa yang penah membara
namun pada gurat memori
selalu dapat kuulang kembali

mengetuk dia di pintu waktu
memudar namun selalu dapat kueja
n – a – m - a – m – u


*****
hanya rangkaian kata, bukan curahan hati sekedar ikutan mas suga dan mas dedi ^___^

Sunday, November 1, 2009

........GAWAT.....................

Sebuah rumah di Kuningan
Sabtu, 31 - 10 - 2009 pukul 20.00

Merasa iseng, saya membuka lapie jadul saya dan memainkan permainan Burger Rush. Mamah saya menghampiri dan mengajak saya membahas beberapa hal. Sambil mengobrol saya tidak menghentikan permainan game tersebut. Kira-kira satu jam kami selesai bicara. Saya bermaksud menutup permainan tersebut untuk pergi tidur. Tiba-tiba mamah saya meminta untuk diajari permainan tersebut. Jadilah sebelum tidur saya mengajari mamah saya burger rush.

Masih di rumah yang sama
Minggu, 1 - 11 - 2009

Keluar dari kamar mandi saya 'mampir' di meja makan, ternyata belum ada apa-apa. Saya cari mamah saya ternyata sedang duduk manis di depan lapie jadul saya;
Saya : Mah................
Mamah : Neng, hari ini kamu yang masak, mamah mau main burger rush....

Ha....????...................................HUUWWWAAAAAAAAAAAAAAAAAA............................

Friday, October 30, 2009

Mungkin

mungkin layar yang kubentang terlalu sempit
angin kencangpun tak mampu membuat perahuku laju
bergetar menderu tak juga bergerak
haruskah diam ditempat

mungkin sauh yang kulempar tak sampai ke dasar
tali pengikat telah habis terulur
tak jua sauhku merapat ke dasar
terayun perahuku dibuai gelombang

mungkin kemudi yang ku pegang telah karatan
kuputar, tak juga merubah haluan
berkeras perahuku pada arahnya
entah kemana

duhai perjalanan ini
dimulai dengan rangkaian doa
dan aku tak tahu telah sampai di mana

Ayo!
Kapal belum lagi karam



****
You may cry but Metty please, never, never, never give up

Retak

bila hati retak oleh kata-kata
lihatlah
gurat berkelok itu kian panjang
menebal
menyabang
membentuk celah
telah kututup telinga
namun guratnya terus memanjang
terus
terus
terus
apa kau belum berhenti bicara
atau retakan ini sedang mencari ujung
di mana berakhir


***
hanya rangkaian kata, bukan curahan hati ^___^
gambar diambil di sini

Monday, October 26, 2009

Indonesiaku

konon kaulah ibu pertiwi gemah ripah lohjinawi
tanahmu subur, diatasmu padi mengemas, dibawahmu minyak dan emas
kaulah rangkaian ribuan pulau disela lautan penuh ikan syurga bagi para nelayan
gunung sungai lembah hutan sungguh membuatmu menawan
dari rahimmu lahir para pahlawan, sastrawan dan negarawan
kaulah tempat tinggal bangsa yang santun dan ramah

Masihkah?


gambar diambil di sini

Tepat setelah ambil posisi (mau ngepos maksudnya) dapet sms: minta fee berapa? Aha! Ngepos dulu ah

Tepat setelah ambil posisi (mau ngepos maksudnya) dapet sms: minta fee berapa? Aha! Ngepos dulu ah

Akhirnya...........

Sebetulnya saya adalah orang yang paling tidak setuju dengan Ujian Nasional dengan segala kehebohan yang menyertainya. Akan tetapi, ketika saya diminta mengajar kelas 6, mau tak mau hal tersebut harus dijalani dengan kompromi. Dan ketika ada workshop AMU (analisis materi ujian), sekolah mengirim saya untuk mengikutinya. Padahal biaya workshop itu amat mahal (untuk ukuran sekolah swasta yang masih dalam taraf berkembang).

Meskipun tidak setuju, hasil dari workshop tersebut menurut saya adalah hal yang harus dilakukan guru kalau ingin mempersiapkan siswa-siswanya dengan sebaik-baiknya. Dan dengan penuh semangat dan antusias, saya menawarkan ke sekolah-sekolah tetangga yang tidak mengirimkan guru untuk mengikuti workshop tersebut untuk memberikan presentasi AMU. Hasilnya? Hehehe........saya merasa jadi sales door to door dengan barang jualan tak laku. Padahal niat saya murni ingi berbagi ilmu. Rupanya sekolah-sekolah sudah merasa nyaman bekerja sama dengan bimbel, jadi tanggung jawab mempersiapkan siswa menghadapi UN berada di pundak bimbel.

Saat saya sudah nyaris melupakan hal tersebut, tiba-tiba semalam saya dapat sms:
"Bu Metty, wakasek kurikulum di sekolah saya tertarik dengan presentasi AMU, tapi beliau bertanya, bu Metty minta fee berapa?"

Alhamdulillah. Segera saya balas SMS tersebut: "gratis!"


***

Bagi teman-teman guru, sedikit hasil pelatihan tersebut yang sifatnya praktis saya posting di

http://nengmetty.multiply.com/journal/item/21

mudah-mudahan memberikan manfaat


gambar diambil di sini

Sunday, October 25, 2009

Satu Rindu dan Wisanggeni Kecil dalam Puisi, Sebuah Perbandingan

Tiada pernah lelah diri ini membilang namamu berulang-ulang. Pada tiap waktu, Kukecup dirimu dalam ribuan pagi, kala mentari masih sembunyi dalam selimut fajar, kala bunga yang masih segan keluar dari kuncupnya. Rasakanlah hadirku, yang bergulir dalam bebutir embun basahi dedaunan, mengayun manja pada pucuk dahan dalam senandung kicau burung

(Satu Rindu)

Ping,
untuk keberadaanmu,
guratan peta yang hilang dan kemudian tumbuh di kuncup bambu.
kolam kolam asing,
terminal,
stasiun,
bandar udara,
tempat urutan huruf namamu di pakukan dengan khidmat,
pantas saja,
selama ini jejak sepatuku dijauhkanya dari huma,
berakrab kekosongan.
tanpa sudut yang saling menemu.

(Wisanggeni Kecil)


Bila Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa puisi adalah kumpulan kata yang dapat mengungkung perasaan, begitulah agaknya dengan puisi yang dihasilkan kedua pujangga mp ini, Satu Rindu (saturindu.multiply) dan Wisanggeni Kecil (arifsibijak.multiply) Masing-masing memiliki gayanya sendiri tapi tetap indah dan enak dibaca.

Dalam hal pemilihan kata, saturindu cenderung memilih kata-kata yang manis dan santun. Banyak mengambil kata-kata yang berhubungan dengan alam dan waktu sebagai simbol untuk menyampaikan maksudnya. Kata-kata seperti senja, pantai, karang, pasir, embun adalah kata-kata yang banyak dipakai. Dalam menyusun puisinya, satu rindu mengutamakan rima yang berulang seperti: menyulam kelam, menjilat kilat, hangat tersemat sehingga saat membaca puisinya terasa amat puitis. Meskipun menggunakan analogi ataupun simbol-simbol dalam puisinya, tetapi pembaca biasanya dapat menangkap pesan yang disampaikan puisinya dengan cukup mudah.

Wisanggeni kecil adalah orang yang sangat merdeka menggunakan kata-kata. Dia tidak mau terpaku pada kosa kata yang itu-itu juga. Baginya tidaklah tabu menggunakan kata-kata yang bagi sebagian orang dianggap memiliki nilai rasa ‘kasar’ seperti: brengsek, sial, bahkan (maaf) kentut di dalam puisinya. Seringkali kalimat-kalimat dalam puisinya amat lugas dalam menyampaikan sesuatu, meskipun terkadang juga menggunakan analogi-analogi ataupun simbol-simbol yang menurutnya boleh ditafsirkan sesuka pembaca. Tidak terlalu terpaku pada rima kata tapi karena kepiawaiannya puisinya tetaplah indah dan tidak kehilangan rasa puitis magisnya.

Dari sisi tema, Satu Rindu cenderung berfokus pada satu tema sesuai dengan namanya: rindu, sebagaimana jargon yang pernah diutarakannya bahwa sitenya adalah: one stop rindu. Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya benarkah puisi-puisinya adalah ungkapan perasaan rindu yang tak berkesudahan ataukah sebagaimana yang sempat diungkapkannya bahwa puisinya berdasarkan ide lama yang di daur ulang (mudah-mudahan bukan perasaannya yang di daur ulang). Meskipun demikian beberapa kali Satu Rindu menuliskan puisi yang lepas dari tema rindu, biasanya tema religi ataupun kematian, dan sebagaimana biasanya puisinya tetaplah indah.

Wisanggeni kecil mengambil tema yang sangat variatif untuk puisinya. Puisi pertama yang saya baca di sitenya bercerita tentang pelacur, lalu ada tema tentang perkuliahannya, tentang percintaannya baik dimasa bahagia maupun di masa kehilangannya, tentang ibunya yang telah tiada, tentang ayahnya, tentang realita hidup di sekelilingnya yang membuat penulis beberapa kali meminta beliau agar lebih hati-hati dalam ‘menggugat’ dan menisbatkan sifat terhadap Tuhan.

Untuk sudut pandang, Satu Rindu nyaris selalu membuat puisinya dari sudut pandang aku, seorang Suga Diawara yang memiliki rindu tak berkesudahan. Sedangkan Wisanggeni sering mencoba keluar dari dirinya, pernah memakai sudut pandang seekor katak (si ping yang terkenal itu) bahkan sudut pandang seorang nenek. Masing-masing memiliki kelebihannya sendiri-sendiri.

****

Berusaha menuliskan sesuatu yang lain untuk blog saya, membandingkan kedua pujangga ini akhirnya menjadi pilihan. Sempat mempertimbangkan untuk membandingkan gaya bercerita mbak Wiwik (adearin) dan mas Dedi (debapirez) yang sama-sama mempunyai gaya bercerita lincah, menarik tetapi memiliki gaya sendiri-sendiri. Tapi jujur, saya merasa kesulitan untuk mencari sisi apa yang harus dibahas. Sempat maju mundur juga, namun akhirnya saya tuliskan juga setelah mempertimbangkan resiko terbesar yang harus saya hadapi adalah disambit tangga sama si Ayip.

Buat Mas Suga dan Ayip, sama sekali saya tidak bermaksud apa-apa dengan membuat perbandingan ini, sekedar sarana saya untuk berlatih menulis. Tolong jangan merasa menjadi korban, anggap saja sebuah kehormatan :)

Buat temen-temen pujangga mp yang lain: Ima, Dedy, Uchi, Lingling, mbak Wiwik, Fath, Mbak Marya, Laras, Dzul, Ali dan siapapun yang belum tersebut, saya katakan dari sekarang saya tidak menerima permintaan untuk membahas puisi lagi :) (takut amat sih, siapa juga yang mau minta dibahas pengamat puisi amatiran begitu?)

Jadi bagaimana, apa saya berbakat jadi kolumnis majalah horison?

Monday, October 19, 2009

obsesi

Sungguh aneh hidup ini. Terkadang kita memiliki sebilah kata sempurna yang digantungkan di puncak everest. Lewati separuh bahkan seluruh waktu mengangankannya. Kerahkan segenap daya upaya untuk mendapatkannya. Seolah seluruh kebahagiaan tergantung dari teraih atau tidaknya hal tersebut. Tapi saat hal tersebut berada dalam genggaman, dari skala seratus nilainya hanya dua puluh lima saja. Masih jauh lebih berharga apa yang Allah anugerahkan tanpa disangka-sangka.

Maka biarkanlah sebuah obsesi tetap menjadi obsesi, agar tidak berkurang nilainya.


gambar diambil di sini

Thursday, October 15, 2009

Bias Keberuntungan


Tita



Sungguh mengherankan, ada orang yang seberuntung itu di dunia ini. Wajah cantik, tubuh tinggi semampai, luar biasa pintar terbukti berulang kali juara paralel, memiliki suara yang amat merdu bahkan konon pernah mendapat tawaran untuk rekaman, sering menjuarai lomba pidato baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris, bahkan sedang mempersiapkan diri untuk ikut casting penyiar berbahasa mandarin, aktif di osis, dan merupakan anak satu-satunya dari pasangan orang tua yang kaya raya. Bapaknya seorang pengusaha otomotif sedangkan ibunya pengusaha kosmetik. Dan di atas semuanya itu, dia adalah sosok yang ramah dan santun, dengan segala kelebihan yang dimilikinya yang membuat iri seluruh siswa wanita di sekolah, sama sekali tidak ada cacat cela dalam bertingkah laku, bahkan jauh lebih baik dibanding semua siswa lainnya. Saat guru menyuruh siswa-siswa bekerja bakti membersihkan lapangan yang becek karena berbagai lomba tujuh belasan, dia dengan semangat menyikat lapangan tersebut. Saat teman-temannya kelelahan, dia sendirian membereskan perlengkapan yang telah dipakai untuk bersih-bersih tanpa menggerutu. Dialah Camila, bintang paling cemerlang di sekolah ini.

Dan pagi ini, hari pertamaku masuk di kelas 3 SMP ini, aku sungguh tercengang karena dia memilih untuk duduk semeja denganku. Aku bahkan tak mengira kalau dia tahu namaku. Aku tahu dia tentu saja, siapa yang tak mengenal orang paling bersinar di sekolah ini. Tapi aku? Sejak kelas satu, aku tak pernah sekelas dengannya. Setiap kenaikan kelas sekolah akan mengacak siswa dan membuatku berpisah dengan teman-teman akrab di kelas satu, pada saat naik ke kelas dua. Itu sebabnya aku berangkat pagi-pagi sekali hari ini, karena penasaran dengan siapa aku sekelas pada tahun ini. Di pintu-pintu kelas, ditempelkan nama-nama siswa yang menjadi penghuni kelas tersebut. Di pintu yang ke tiga baru kutemukan namaku, berarti aku menjadi siswa kelas 3C, saat menelusuri daftar nama tersebut, sekilas kulihat namanya. Ah ternyata aku sekelas dengan sang bintang, maka akan tampak makin reduplah sinarku, itupun kalau memang aku punya sinar. Saat kulangkahkan kakiku ke kelas, kulihat dia sudah duduk di meja paling depan barisan kedua dari pintu. Aku tersenym padanya, dan melangkahkan kakiku ke meja paling depan barisan ke tiga dari pintu. Aku memang selalu memilih bangku paling depan. Tak disangka, dia menyapaku dengan memanggil namaku.

“Tita, kamu sebangku sama siapa?” tanyanya sambil tersenyum.

“Belum tahu, teman-temanku pisah kelas semua,” jawabku agak malu. Ketahuan kalau aku cuma bisa berteman dengan yang sekelas, sementara dia berteman tidak hanya lintas kelas, bahkan dengan adik dan kakak kelas.

“Aku duduk sama kamu yah,” katanya sambil memindahkan tasnya ke sebelahku. Aku Cuma bisa mengangguk.



***



“Maaf ya Mil, aku ngga bisa ke rumahmu sore ini, mamaku ada harus ke Sunter, nengokin tanteku yang dirawat di rumah sakit. Aku harus jaga adekku”. Aku merasa ngga enak, tugas yang seharusnya kami selesaikan berdua sebetulnya lebih banyak Mila yang mengumpulkan bahannya. Aku cuma mengiakan dan memberi usulan disana-sini. Dan dia selalu menerima apapun usulku meskipun itu berarti bertentangan dengan idenya dia. Dan sekarang, saat tinggal sedikit lagi tugas ini selesai, aku tidak bisa ikut mengerjakannya karena harus jaga adek di rumah.

“Ya sudah, aku saja yang ke rumahmu, jam berapa mamamu berangkat?”

Hah? Mila ke rumahku? Oh, tidak, malu aku, bila dibandingkan, ukuran rumahku mungkin hanya separuh dari dapur rumahnya. Jangan.............jangan sampai terjadi......

“Jam berapa mamamu berangkat?” ulangnya

“Jam empat”.

“Aku datang jam setengah empat, biar bisa ketemu mamamu”.

Aku mengangguk bego.



Mila benar-benar datang jam setengah empat. Begitu datang dia langsung mencium tangan mamaku tanpa canggung. Begitu mama berangkat, sedikit malu aku mengajak dia ke kamarku. Sebuah kamar yang dulu, menurutku sangat menyenangkan, selalu rapi karena aku tak mau membiarkannya berantakkan. Namun sejak mengenal kamarnya, sungguh tak bisa dibandingkan, bahkan barang-barang di kamar pembantunya jauh lebih bagus daripada barang-barang di kamarku. Tanpa canggung dia duduk di pinggir tempat tidur, mengeluarkan tugas kami, yang ternyata sudah diselesaikannya, lalu rebahan disamping adikku yang tertidur lelap. Kami pun mengobrol.




Mila


Pertama kali aku melihatnya di hari pertama masuk SMP ini. Kami sama-sama siswa baru berpakaian dan berdandan aneh mengikuti kehendak panitia. Dia diantar naik motor oleh ibunya. Begitu turun dari motor dia mencium tangan ibunya, dan kulihat ibunya memeluknya mencium kedua pipinya, sepertinya ibunya memberikan bebrapa nasihat sebelum berlalu dengan motornya. Aku yang masih berada di dalam mobil diantar sopir, memandangnya. Entah mengapa, dadaku berdesir melihatnya. Kemudian pemandangan itu menjadi sesuatu yang rutin, nyaris terjadi setiap pagi. Kadang-kadang hanya ibunya yang mengantar, kadang-kadang ditemani seorang gadis cilik yang nampak menggemaskan, berusia kira-kira tiga tahun. Adiknya kukira. Bila ada adiknya, setelah ritual sun pipi kiri kanan oleh ibunya, maka dia akan beralih ke adiknya. Si adik mencium tangannya dengan takzim, dan dia akan mencium pipi adiknya kiri kanan. Selalu begitu.

Kemudian aku tahu namanya Tabitha, teman-temannya memanggilnya Tita. Sayang aku tidak sekelas dengannya. Kami juga tidak mengambil ekstra kurikuler yang sama, dan dia tidak aktif di osis, sehingga nyaris kami tidak pernah terlibat di kegiatan yang sama. Pernah kulihat, saat dia harus pulang sore karena kegiatan ekskul, seorang laki-laki menunggunya. Aku tahu laki-laki itu menunggunya karena dia menggunakan motor yang biasa dipakai oleh ibunya. Kakaknya kukira. Kulihat wajahnya sedikit cemberut saat menanti bubaran ekskul, lalu saat Tita menghampiri, nampak si kakak mengatakan sesuatu tetap dengan memasang wajah cemberut, Tita sepertinya membalasnya dengan sama cemberutnya, lalu duduk di boncengan, dan motor itupun berlalu. Ah, pertengkaran kakak adik yang tidak pernah kurasakan. Dan setiap kali pulang sore, bisa dipastikan si kakak akan dengan setia menjemputnya, entah dengan wajah ceria ataupun wajah cemberut.

Kukira, aku merasa iri dengan kehangatan yang dipertunjukkan ibunya padanya. Dulu, semasa kecil, aku pernah merasakan pelukkan itu. Saat rumah kami belum sebesar dan sebagus ini. Saat mama hanyalah seorang ibu rumah tangga. Aku ingat, mungkin saat itu usiaku 4 tahun, aku punya sebuah sepeda baru. Sepeda dengan dua roda besar, dan dua roda kecil disamping roda besar yang dibelakang. Lalu mama memutuskan untuk mencopot kedua roda kecil itu. Dan mama bertepuk tangan saat aku bisa maju beberapa kayuhan. Lalu aku terjatuh dan mama memelukku dengan wajah cemas. Aku juga ingat, semasa TK, aku selalu diantar oleh mama, begitu pulang sekolah mama akan membuka buku-bukuku dan memuji-muji gambar yang aku buat. Lalu mama akan memintaku menyanyikan lagu yang diajarkan di sekolah. Dan mama akan ikut bernyanyi bersamaku. Mamaku sungguh hebat, tahu semua lagu yang diajarkan bu guru di TK. Lalu pada saat aku masuk SD, mama memutuskan untuk membuka salon. Mama tidak pernah lagi mengantarku sekolah karena aku ikut mobil jemputan. Pada saat akan berangkat, mama biasanya menyiapkan sarapan untukku, dan melepasku di halaman saat mobil jemputan tiba. Saat aku kelas tiga SD, mama mendirikan sebuah pabrik kosmetik di luar kota. Sejak saat itu, aku hanya melihat mama dimalam hari, itupun tidak setiap malam. Seringkali aku sudah tidur saat mama pulang, dan mama sudah berangkat lebih dulu saat aku masih bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Lalu pembantu pun bertambah banyak, dari satu jadi dua lalu tiga, dan sekarang empat. Rumahpun semakin besar, mobilpun bertambah banyak. Tapi aku tak pernah lagi merasakan pelukan mama.

Lalu pada suatu hari, saat aku kelas 5 S
D, aku melihat bik Nah membereskan tempat tidurku, esoknya aku mencoba membereskan tempat tidurku sendiri. Pada hari Minggu bik Nah memberikan laporan pada mama bahwa aku sudah bisa membereskan ranjangku sendiri. Mama memujiku,”Anak mama hebat, mama suka anak mama mandiri dan tidak manja”. Sejak itu aku melakukan apapun yang bisa kulakukan, mencuci kaus kaki, mengepel kamar, menyikat kamar mandi, apapun kulakukan untuk mendapatkan tiga patah kata dari mama, “anak mama hebat”. Lalu pekerjaan rumah menjadi tidak cukup ampuh, akupun beralih ke berbagai les. Les vokal, les bahasa, les renang, dan nyaris selalu mengikuti berbagai perlombaan demi sebuah pengakuan,”anak mama hebat”.

Pernah suatu ketika aku merasa marah, marah tanpa sebab. Banar-benar tanpa sebab karena sesungguhnya mama selalu mengabulkan apapun yang aku minta. Tidak ada alasan untuk marah. Blackberry-ku sudah berganti tiga kali, laptopku keluaran terbaru yang paling canggih, bahkan, saat aku minta sebuah mobil, tanpa banyak bicara mama mengabulkannya, meskipun aku tidak boleh mengendarainya sendirian karena belum punya SIM. Tapi entahlah, kemarahan itu timbul begitu saja. Ada perasaan ingin memberontak. Maka, akupun mendekati teman-temanku yang aku tahu sedikit ‘liar’. Mereka terkejut waktu aku bilang pengen ikutan. Sepertinya tak percaya juga. Lalu mereka memberikan sebuah alamat dan sebuah tanggal supaya aku bisa ikutan ‘pesta’. Pesta narkoba aku kira, karena aku harus setor uang dalam jumlah yang amat banyak. Tak masalah. Sialnya (atau untungnya kalau ku pikir kemudian) pada hari yang ditentukan, ditengah perjalanan ban mobil yang kupakai bocor. Pak Ari, supir yang mengantarku diam saja saat aku marahin saat menggantinya dengan ban serep. Aku tiba di tempat pesta terlambat satu jam dari waktu yang seharusnya. Tepat pada saat dua mobil polisi bak terbuka keluar dari tempat tersebut. Nampak beberapa temanku di bagian belakang mobil tersebut dengan ekspresi setengah sadar. Rupanya aku sedikit pengecut juga, kalau itu berarti harus berurusan dengan polisi, maka lebih baik tidak jadi berontak. Aku tak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, rupanya begitu juga dengan sopirku, karena mama tidak pernah menegurku. Dua hari kemudian, aku lihat teman-temanku itu sudah kembali masuk sekolah. Dan mereka tidak pernah mau menegurku lagi, seolah-olah karena kesalahankulah mereka harus berurusan dengan polisi.

Dan aku nyaris tak percaya, di kelas tiga ini aku sekelas dengan Tita. Sungguh beruntung pula kami berdua datang paling pagi sehingga dengan mudah aku memintanya mengijinkan aku duduk semeja dengannya. Aku bisa merasakan dia anak baik. Meskipun tidak menyembunyikan ketakjubannya melihat rumahku, dia tidak pernah bersikap sebagai parasit. Dia tidak mau aku membayari jajannya. Dia mengizinkan aku mentraktirnya dengan catatan gantian dilain waktu dia yang harus mentraktirku. Aku suka itu, meskipun itu berarti aku harus menahan diri kalau ingin tambah, karena tahu uang jajannya tidak banyak. Sayangnya kalau harus belajar bersama, Tita tidak pernah mau di rumahnya. Dia selalu meminta agar kami belajar di rumahku saja, nanti digerecokin adekku, begitu selalu alasannya. Tapi akhirnya terlaksana juga keinginanku untuk mengunjungi rumahnya.

Disinilah aku sekarang, rebahan di ranjang, disebuah rumah yang dipenuhi oleh kehangatan keluarga.



_______________


Ups, bangkit setelah terpuruk :)

terima kasih para pendorong semangat yang amat bersemangat.

Kiriman semangatnya mempan, apalagi pukulannya Uchi :D

Siap menerima kritikan dengan lapang dada

Ada yang punya semangat lebih? Bagi dong ...

Ada yang punya semangat lebih? Bagi dong ...

Sunday, October 11, 2009

biar saja

bukan aku tak paham pada siloka yang kau pahatkan di sana
bukankah dia berkata padamu bahwa aku menarikan tarian gila
dan kau percaya
sedang kau dan dia tidak mendengar hentakkan musiknya
tetabuhan yang hanya terdengar olehku sendiri
hingga tarian inipun milikku sendiri
semburkan saja sumpah serapahmu
dengan kasar dan terang-terangan
atau dengan siloka yang sama menikam
biar saja
biar saja
karena tetabuhan ini
masih menghentak di telinga
milikku..............sendiri........


gambar diambil di sini

Tuesday, October 6, 2009

Surat Kepada Ping


Apa kabarmu pagi ini ping? Apakah kau sedang menggigil kedinginan di pojokan kolam dan membiarkan darah mengalir dari lukamu menikmati sakitnya? Atau kau sedang melompat-lompat memperlihatkan pada dunia betapa kau kuat menyembunyikan rapuh hatimu? Aku bertanya-tanya pada diriku ping, apakah lebih baik kubiarkan kau sendirian atau memaksamu tengadah menjawab semua sapa, seperti aku tak pernah yakin saat menghadapi muridku yang menangis, apakah aku harus membiarkan tangisnya tuntas atau harus merengkuhnya dan berkata bahwa aku siap mendengarkan keluhnya.

Sebutir permen tak akan mampu menghiburmu ping, juga kata-kata, bahkan sebuah pelukan teramat erat seperti yang kau katakan, karena kita tahu pelukan siapa yang kau inginkan.

Lukamu berdarah dua kali ping, berdarah ditempat yang sama. Dan saat kau berteriak kesakitan, para sahabatmu berkata bahwa mereka juga terluka. Jangan salah sangka ping, mereka bukan hendak mengatakan bahwa mereka punya sakit mereka sendiri, juga tak hendak membandingkan luka siapa yang paling dalam dan paling banyak mengucurkan darah...............tidak ping, sesungguhnya mereka ingin berkata bahwa mereka ikut meresakan sakitmu dan tahu persis rasanya karena mereka telah pula mendapat luka oleh puncak yang kau kata mahameru itu.

Sungguh aku sangat lega ketika tahu kau menolak untuk terpuruk. Sebuah luka boleh saja menghantammu membuatmu lari ke pelukkan masa lalu sekedar menumpahkan tangismu. Berapa jam perjalanan yang kau tempuh agar kau dapat menangis dengan leluasa ping? Berapa jam air mata kau tumpahkan, tangis seorang ksatria itu ping? Dan sebagaimana luka pertama, luka kedua ini pun akan membuatmu berada di lembah duka terdalammu, untuk kemudian melontarkanmu ke tekad semangat tertinggi, lantas kau pun akan kembali berduka, lalu meraih kembali semangat itu. Kau akan terus terombang ambing di dua kondisi ekstrim itu ping, sampai kau menemukan kondisi stabilmu, dan dimanakah kondisi stabil itu? Itu adalah pilihan yang dapat kau tentukan ping.

Kau tahu persis ping, sephiamu tidak mencintai kamu. Mungkin dia memberikan sedikit penghiburan dan rasa kebas terhadap sakitmu. Tapi dia mengambil jauh lebih banyak darimu. Pertukarannya tidak sebanding ping. Dulu kau bisa melepas sephiamu demi dia, orang yang kau sayang. Mengapa sekarang kau tak lepas dia demi dirimu sendiri ping?

Selamat berjuang ping, batu-batu kecil membuatmu tersandung dan batu besar membuatmu harus mengambil jalan berputar, tapi tetaplah menuju arah yang kau tuju.

Teteh


Sunday, October 4, 2009

Biar Kueratkan

perjalanan kita jauh sudah
kukira langkah kita seirama
aku lurus kaupun lurus
aku berbelok kau juga
aku berhenti kau henti juga
tapi mengapa kurasa
ikatan kita semakin longgar tak seerat semula
adakah aku terlampau sibuk menatap ke muka
mengangankan arah tujuan kita
dan kau meronta
hendak melihat segala yang ada
merekam keindahan dunia dibenakmu
dan mematrinya sebagai memori
tak peduli keseimbangan ayunan kita
barangkali
kita hentikan sejenak putaran roda
agar kueratkan lagi ikatan kita


***
Hwaahahahaahaha...........
Boncengin ponakan berumur 2 tahun dibelakang dan demi keamanan pinggang kita diikat oleh kain gendongan, tapi alamaaaaaak............... gak bisa diem, kepalanya miring-miring terus pengen melihat kedepan, bikin yang boncengin jadi ketar-ketir

gambar diambil di sini

Friday, October 2, 2009

Halo yang pada ngempi di hp, punya saya kok sekarang ga bisa lihat komen postingan yg replynya lebih dari 25, ga ada tulisan page 2 nya, punya temen-temen sama ngga?

Halo yang pada ngempi di hp, punya saya kok sekarang ga bisa lihat komen postingan yg replynya lebih dari 25, ga ada tulisan page 2 nya, punya temen-temen sama ngga?

Wednesday, September 30, 2009

Tuesday, September 29, 2009

Kisah

Cerita ini ada walau tak pernah bermula
tidak dapat dikisahkan dengan kata-kata, tidak dapat dilagukan dengan nada, tidak pula pada pahatan di dinding candi
kau dan aku lakoni kisah ini
tak berawal tak berakhir bahkan tak tahu jalan cerita seperti apa tapi sungguh ada

Thursday, September 24, 2009

Kurikulum Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam Sekolah Sihir Hogwarts

Membaca buku Harry Potter ke 5, ada sesuatu yang membuat saya tersenyum miris, ketika saya membaca bab 12, tepatnya halaman 336 mengenai pembelajaran sebuah mata pelajaran di sekolah sihir hogwarts. Sebetulnya mata pelajaran apa tidak penting karena saya hanya ingin menyoroti sisi bentukan kurikulumnya dan pelaksanaan pembelajarannya di dalam kelas. Hanya karena ini adalah sebuah kisah imajinasi tentang sekolah sihir, maka jadilah pelajaran pertahanan terhadap ilmu hitam menjadi sebuah ilustrasi yang relevan.

Pembelajaran diawali dengan instruksi "singkirkan tongkat sihir!" dari si pengajar yaitu Profesor Umbridge, sebagai gantinya mereka mengeluarkan pena bulu untuk menulis. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan bahwa pelajaran yang diberikan adalah pelajaran yang sudah "disusun dengan teliti, berpusat pada teori dan disetujui oleh kementrian".

Berikut adalah Tujuan Pelajaran tersebut (hal 337)
1. Memahami prinsip-prinsip yang mendasari pertahanan sihir
2. Belajar mengenali situasi dalam mana pertahanan sihir bisa digunakan secara sah
3. Menempatkan kegunaan sihir dalam konteks untuk kegunaan praktis. Buku acuan yang digunakan adalah Teori pertahanan sihir karya Wilbert Slinkhard. Bagi siswa-siswa pelajaran ini menjadi pelajaran yang paling membosankan, apalagi dibandingkan dengan saat mereka belajar di kelas 3 dimana pembelajaran dilakukan secara nyata. Learning by doing. Benar-benar menggunakan tongkat sihir tanpa pena bulu untuk menulis. Bahkan untuk Hermione Granger, siswa yang diceritakan nyaris telah membaca seluruh isi perpustakaan, pembelajaran tersebut terasa "salah".

Mengapa saya jadi teringat pembelajaran di kelas-kelas kita? Bahkan menurut (mantan) siswa saya yang kini bersekolah di sebuah SMPN berstandar Internasional yang sangat terkenal di Jakarta Timur, seringkali begitulah pembelajaran yang berlangsung di dalam kelasnya

Sunday, September 20, 2009

tidak sampaikah

sedang apakah kau
saat kucoba merangkai kata tak juga berima
saat kucoba merangkai pesan tanpa suara
tidak kah kau dengar gemuruh doa ini
agar damai harimu
agar tiba langkahmu di puncak yang kau tuju
telah sampaikah tanya yang kuungkap pada hening malam
adakah kita kan menempuh jalan yang sama
kabarkan padaku jawabmu
aku menunggu





gambar diambil di sini