Pages

Friday, February 26, 2010

Bukan Tak Mau Patuh Aturan

Konon di Indonesia, aturan itu ada buat dilanggar. Anda tidak setuju? Sebenarnya saya juga tidak. Tapi lucunya (ngga lucu ding) seringkali kita dikondisikan untuk melanggarnya. Berikut pengalaman yang akhirnya memaksa saya untuk "meninjau kembali" kepatuhan terhadap aturan.

Beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih new comer di lalulintas Jakarta (baru punya motor maksudnya), saya pulang dari arah perempatan Pasar Minggu menuju arah Pasar rebo. Tepat saat akan lewat pertigaan condet lampu pengatur lalulintas berubah jadi merah. Saya berhenti di barisan paling depan, dan segera motor-motor lain berhenti pula di samping kiri-kanan saya bahkan banyak pula yang merangsek ke depan melewati garis pembatas. Begitu arus dari arah kiri terhenti, semua motor di kiri kanan depan belakang saya berjalan (motor kok berjalan ya) maju meninggalkan pertigaan. Padahal lampu masih merah dan harusnya giliran dari arah depan untuk berjalan. Tinggallah saya motor sendirian di barisan paling depan.

Tepat di belakang saya sebuah angkot T19 jurusan depok Taman Mini. Melihat semua motor sudah maju tinggal saya sendiri, supir angkot tersebut memukul-mukul pintu angkotnya sendiri sambil membentak-bentak saya "MAJU!!". Saya bingung karena lampu memang masih merah dan arus dari depan sudah mulai maju. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap berdiam dan membiarkan supir angkot tersebut marah-marah. Supir angkot tersebut rupanya tergolong nekat, melihat saya berkeras untuk tetap diam, dia majukan angkotnya pelan-pelan sampai angkotnya nempel belakang motor saya, kemudian dengan angkotnya tersebut dia mendorong motor saya! Saya ketakutan, akhirnya memajukan motor saya melewati pembatas dan mengarahkan motor saya ke kanan, ke tengah-tengah pertigaan sehingga angkot tersebut dapat lewat. Huffff, pengalaman yang menimbulkan efek buruk. Sejak itu, saya selalu ikut arus bila berhenti di lampu merah. Bila arus motor maju, maka saya akan ikut maju walaupun sebetulnya lampu masih merah dan bukan giliran kita untuk maju . Parahnya, pelanggaran seperti itu ternyata bikin ketagihan.

Kejadian kedua terjadi hari senin kemarin. Saya pulang dari Bandung naik Bis P arah Lebak Bulus. Biasanya bis tersebut keluar dulu di Pasar rebo untuk menurunkan penumpang. Tetapi berdasarkan aturan baru (yang aneh menurut saya) bis jurusan Lebak Bulus tidak boleh keluar di Pasar rebo. Sebagai akibatnya, Saya dan banyak penumpang lain diturunkan di jalan Tol sebelum pintu keluar pasar Rebo. Lumayan jauh juga jarak kami harus berjalan kaki untuk sampai di pintu keluar. Bebera bapak-bapak nampaknya tidak telaten untuk berjalan sejauh itu, memutuskan untuk memanjat tembok pembatas tol. Dan akhirnya semua mengikuti. Tinggal saya kebingungan, mau ikut manjat atau terus berjalan kaki. Tidak mau berjalan sendirian, akhirnya saya memutuskan ikut memanjat. Dalam hati ketar-ketir juga jangan-jangan ada murid atau orang tua murid yang lihat bu guru ini sedang memanjat tembok pembatas tol .

Jadi kalau ada yang lewat di Tol Pasar Rebo hari senin tanggal 22 Februari 2010 jam 9.30, dan melihat seseorang yang berbaju dan berkerudung cokelat memanjat tembok pembatas tol, itulah saya

Thursday, February 18, 2010

Monday, February 15, 2010

Horrreeeeeeee Dapet Kiriman (Lagi) ^___^




Sebelumnya, saya nyatakan dengan jelas bahwa sungguh niat saya ngempi benar-benar buat berekspresi diri dan agar bisa berteman dengan tulus. Kalau kemudian kontak saya tergerak untuk mengirim saya ini dan itu, itu hanyalah bonus yang menyenangkan ^______^.


Senin minggu kemarin, saya ditelepon dari kampung, katanya ada paket dari Taiwan. Sayangnya saya tidak sempat pulang kampung. Beruntung, hari sabtu kemarin saya ada keperluan di Bandung, kebetulan pula hari minggunya seorang Bibi saya dari kampung ke Bandung juga. Jadilah paket tersebut bisa saya terima pada hari minggu kemarin.Terima kasih banyak ya Fath. ^____^

Saat ini, saya juga sedang menanti kiriman hadiah lomba menebak puisi dari seorang Mper. Ada yang berniat mengirimi saya sesuatu lagi? Get in Line
^______________^

Sunday, February 14, 2010

Mana Becek.......... Ga Ada Ojek

Sabtu, 13 Februari kemarin, untuk suatu keperluan saya pergi ke Madani center di daerah Lembang Bandung. Dengan ditemani seorang saudara sepupu dan berbekal sebuah alamat kamipun berangkat. Naik angkutan dari St. Ka, berganti angkutan di pasar lembang, kemudian berganti lagi dengan ojek, kamipun sampai di alamat yang dituju..............WAK WAUWWWWW ..........ternyata alamat tersebut bukan alamat kantor pusat madani center.
Singkat cerita, setelah nyasar, plus numpang-numpang mobil orang, dan menghabiskan waktu berputar-putar selama 4 jam, sampailah kami di madani center. Sekian kilo meter dari pasar lembang dengan jalan menaik dan menurun yang curam dan tidak dilalui angkutan umum.
Rupanya saya masih harus bersabar. Begitu saya tiba di madani center, saya diberi tahu bahwa orang yang mau saya temui (dan sudah menunggu sejak pukul 10 pagi) justru pergi ke lokasi yang baru saja saya tinggalkan. Setelah menumpang shalat dan disuguhi makan siang (gratis), kami menunggu kurang lebih satu jam. Akhirnya saya bertemu dengan orang tersebut. Jam 3 sore saya pamit pulang. Beliau meminta saya menunggu, karena Ustadz anu mau ke Cibodas, jadi saya bisa menumpang sampai di pasar lembang. Setelah menunggu sepuluh menit, kami menjadi tidak sabar akhirnya memaksa untuk pulang.
Begitu tiba di jalan, kami menjadi bingung karena lokasi tersebut memang tidak dilewati angkutan umum. Mana hujan, jauh dari mana-mana. Kami menghampiri sebuah warung, bertanya kalau-kalau ada pangkalan ojeg yang berada dekat situ. Tak ada, tapi teteh tersebut berbaik hati membujuk orang, entah siapa untuk mengojek kami berdua. Sempat ragu juga, karena kami akan dibonceng berdua, jadi bertiga dengan si abang yang punya motor. Padahal kondisi tanjakan jalan benar-benar curam. Mungkin mereka yang pernah makan nasi timbel ponclot/punclut tahu persis seperti apa medan jalannya. Tapi karena tidak ada alternatif lain, yaaa terpaksa kami jalani juga.
Awalnya, sepertinya tenaga motor tersebut cukup kuat membawa kami bertiga, tetapi belum sampai di tengah tanjakan, kecepatannya menurun, dan akhirnya berhenti. Saya yang paling belakang segera meloncat turun dan menahan, jangan sampai motor tersebut mundur lagi mengingat jalanan yang licin karena hujan. Akhirnya sepupu saya ikut turun dan meminta si abang menunggu kami di puncak tanjakan. Yup, kami berlari dalam hujan, kedinginan, dan membiarkan si abang membawa motornya sendiri sampai di ujung tanjakan. Sungguh pengalaman tak terlupakan.............