Pages

Wednesday, April 29, 2009

PUNYA IDE?

Saya ingin ikut lomba menulis untuk guru. Boleh fiksi boleh nonfiksi. Temanya menjadikan peserta didik kreatif dan kompetitif.

Ide yang biasanya antri, saat ini raib semua.

Ada yang bersedia sumbang saran?

Tuesday, April 28, 2009

SEKOLAH VERSUS BIMBINGAN BELAJAR (SEBUAH REPOSTING)

Bila anda menjadi orang tua dari anak yang duduk di kelas 6 SD, atau di kelas 3 SMP (kelas 9) atau dikelas 3 SMA (kelas 12), apa yang sedang anda cemaskan?

Sementara sistem pendidikan diluar sana mempersiapkan siswa-siswanya menjadi seorang problem solver, maka kita hanya mempersiapkan siswa kita menjadi seorang test answerer (mudah-mudahan istilahnya benar). Cara berfikirnya adalah kalau kita ingin anak kita berhasil, maka dia harus kuliah di universitas yang bagus (ternama), dan untuk masuk universitas ternama tersebut kansnya lebih besar bagi yang berasal dari SMA favorit. Untuk masuk SMA favorit, kesempatannya lebih besar kalau berasal dari SMP favorit pula. Karena untuk dapat masuk ke SMP atau SMA favorit harus memiliki skor nilai yang tinggi, dan nilai tersebut didapat berdasarkan banyaknya soal test (entah EBTANAS, UAN ataupun TAU) yang dapat dijawab dengan benar, MAKA dipersiapkanlah anak-anak kita untuk dapat mengerjakan soal test tersebut sebaik-baiknya. Maka berjamuranlah lembaga-lembaga bimbingan belajar. Lho kok bimbel? Karena bimbel-bimbel tersebutlah yang mempersiapkan anak-anak kita mengerjakan soal-soal test apapun. Mereka punya bank soal yang lengkap, variasi soal yang banyak, dapat memprediksi soal seperti apa yang akan keluar pada test nanti. Anehnya pula, mereka-mereka yang sudah bersekolah di SMP ataupun SMA favorit, banyak pula (kalau tidak mau dibilang yang paling banyak) yang ikut masuk di lembaga bimbingan belajar.

Jika orang tua mengandalkan bimbel untuk keberhasilan anaknya memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, LALU, apa gunanya sekolah? Hanya sekedar pemenuhan persyaratan ijazah untuk masuk ke jenjang berikutnya?

Sebetulnya, maraknya bimbingan belajar di Negara kita (konon, bimbel itu cuma ada di Indonesia), sedikit banyak adalah representasi dari ketidakpercayaan orang tua terhadap sekolah formal. Pertanyaan besar berikutnya adalah, sebagai guru, apakah kita (TIDAK) LAYAK DIPERCAYA? Atau SISTEM PENDIDIKAN-nya kah yang tidak layak dipercaya? Atau kita sudah merasa nyaman dengan kondisi yang ada?

Tidakkah dualisme ini merupakan pemborosan waktu dan biaya? Tidakkah kita juga terlalu membebani anak-anak kita?

Monday, April 27, 2009

Meniti Jalan Hidup


(Kepada Murid-muridku)

Bagaikan anak panah kau kulepas untuk melesat
menyelusuru selaksa kejadian
sepanjang jalan kehidupan
tak ada alasan untuk mengelak
satu-satunya pilihan adalah melangkah maju

barangkali
harus kau tempuh perjalananmu dalam sunyi seorang diri
atau mungkin
kau bersandar pada kawan sepenuh kepercayaan
kadang kau harus menepi
tak ada jalan tuk kembali
tak ada kesempatan kedua ketika kau salah melangkah
bahkan
tak ada tempat untuk berhenti sekedar rebahkan diri
pilihanmu hanyalah maju
menggapai puncak tertinggi



Barangkali harus kau tempuh perjalananmu dalam sunyi seorang diri




atau mungkin kau bersandar pada kawan sepenuh kepercayaan



kadang kau harus menepi



tak ada jalan tuk kembali




tak ada kesempatan kedua saat kau salah melangkah



bahkan tak ada tempat tuk berhenti sekedar rebahkan diri



pilihanmu hanyalah maju, menggapai puncak tertinggi


Note : guru kelas 6 sudah gak punya kerjaan, hanya mengawas siswa kelas 6 UAS
Beberapa gambar saya dapat via email dalam bentuk power point, beberapa saya ambil di sini

Sunday, April 26, 2009

Memori

Saya tak hendak bernostalgia dengan memberi judul tulisan ini memori. Saya baru saja selesai membaca sebuah buku yang berjudul MEMORI KERJA DAN PROSES BELAJAR karya Susan E. Gathercole.

(Membaca buku tersebut membuat saya menyesali tahun-tahun mengajar saya yang telah lewat, terutama proses remedial terhadap siswa-siswa dengan kemampuan “low”)

Selama ini orang lebih banyak mengenal memori jangka pendek dan memori jangka panjang. Ternyata ada jenis memori yang justru berkaitan dengan setiap aktivitas kita yang dinamakan memori kerja. Memori kerja adalah kemampuan untuk menyimpan dan memanfaatkan informasi dalam waktu singkat. Memori kerja ini dapat melibatkan memori jangka pendek maupun memori jangka panjang. Memori kerja adalah memori yang kita pakai saat kita melakukan sebuah aktivitas yang melibatkan aktivitas mental.

Contoh pemakaian memori kerja adalah saat kita melakukan perhitungan mental misalkan 67 kali 85 dengan tanpa menggunakan kertas dan pinsil. Mungkin yang pertama kita lakukan adalah mengalikan 60 kali 80, dan menyimpan hasil perkalian tersebut dalam hati, untuk kemudian melakukan proses selanjutnya. Atau mungkin ada yang mengalikan dulu 67 dengan 100 untuk kemudian dikurangi 67 kali 10 dikurangi lagi 67 kali 5. Cara apapun yang kita pakai, proses perhitungan mental tersebut menggunakan memori kerja. Contoh lain adalah ketika anda mengikuti sebuah petunjuk untuk sampai disebuah tempat. Ketika anda sedang berjalan sambil mengingat-ingat untuk “belok ke kanan setelah toko buku” saat itu anda sedang memanfaatkan memori kerja anda.

Kapasitas memori kerja setiap orang berbeda-beda. Anak-anak dengan kesulitan belajar membaca dan berhitung biasanya memiliki kapasitas memori kerja yang juga rendah. Itu sebabnya mungkin anda mendapati murid anda duduk manis memperhatikan setiap ucapan anda, tapi ketika anda cek dia sama sekali tidak tahu apa yang anda bicarakan. Atau mungkin anda pernah menyuruh murid anda untuk membereskan alat-alat tulis, mengangkat bangku ke meja, dan duduk berkelompok diatas karpet. Anda mendapati seorang siswa mencoba membereskan alat tulisnya, tapi begitu melihat teman-temannya duduk berkelompok diatas karpet, dia langsung bergabung dengan teman-temannya, mengabaikan alat tulisnya yang belum rapi dan tidak mengangkat bangkunya. Dan itu sebetulnya sama sekali bukan sikap membangkang atau mengabaikan perintah. Kapasitas memori kerjanya tidak mampu menampung semua perintah itu sekaligus.

Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan guru untuk membantu siswa dengan kemampuan memori rendah. Diantara strategi –strategi tersebut adalah mengurangi beban memori kerja, dan melatih siswa untuk mengembangkan strateginya sendiri yang mendukung memori kerja. Hanya saja, ketika kita ingin seluruh siswa kita terlayani dengan baik, semua kebutuhannya terakomodasi dalam aktivitas pembelajaran dikelas, perkembangannya terpantau perindividu, seluruh strategi dicurahkan untuk mendukung perkembangan siswa, membuat saya sampai pada sebuah pertanyaan: berapa sebetulnya rasio ideal guru dan murid?

Saturday, April 25, 2009

Benarkah Siswa Kita Sudah Belajar

Belajar, sebuah kata yang amat akrab dengan kita. Dalam dunia pendidikan maupun dalam keseharian kita. Sebagian besar orang tua akan menyuruh anaknya untuk "belajar" pada jam tertentu. Sebagian lagi resah karena anaknya tak mau "belajar" dan sibuk membongkar mobil-mobilannya dan berusaha merakitnya kembali. Sebagian merasa senang ketika anaknya duduk manis sambil komat-kamit menghapalkan tahun berapa terjadi perang apa, dan merasa bahwa anaknya sedang "belajar".
Tapi benarkah, benarkah pengertian seperti itu yang dimaksud dengan belajar?

Belajar adalah proses untuk menguasai cara melakukan sesuatu. Belajar adalah upaya untuk menguasai keterampilan tertentu. Hasil dari sebuah pembelajaran adalah skill, keterampilan. Menghapal informasi bukanlah proses belajar. Bahkan mengetahui informasi baru bukanlah hasil belajar. Bagaimana cara mencari informasi itulah keterampilan hasil belajar. Bagaimana mengolah dan memanfaatkan informasi itulah yang harusnya diajarkan.

Coba renungkan ilustrasi berikut:
Ketika anak kita menjadi seorang jurnalis, ketika dia butuh informasi sejarah untuk bahan tulisannya, tidak ada seorangpun yang akan menuduhnya mencontek ketika dia membuka buku sejarah sebagai referensinya. Lalu mengapa kita memaksa anak-anak kita untuk hapal kejadian yang waktu terjadinya saja mereka belum lahir?

Ketika anak kita menjadi seorang ahli tumbuhan, siapa yang akan menyalahkan dia ketika dia membuka buku referensi untuk menentukan taksonomi sebuah tumbuhan? Lalu mengapa kita memaksa anak-anak kita untuk hafal nama-nama asing njelimet yang sebetulnya dengan mudah dapat dibaca dibuku?

Ketika anak kita menjadi akuntan, tidak ada yang akan mencelanya ketika dia menggunakan kalkulator, bahkan komputer untuk hitung-hitungan akuntansinya, lalu mengapa kita ngotot memaksa anak kita hapal perkalian?

Tahu dan hapal informasi adalah sesuatu yang baik dan akan sangat bermanfaat. Tapi memaksa anak untuk hapal dan menganggapnya sebuah pembelajaran itu yang tidak benar.

Padahal, ketika anak kita membongkar dan merakit kembali mobil-mobilannya, saat itu dia sedang belajar. Ketika anak-anak kita berkonflik dengan temannya, saat itu dia sedang belajar bersosialisasi. Ketika anak kita membolos dari pelajaran yang tidak disukainya, dia sedang belajar untuk memilih dan mengambil resiko. Sayangnya kita lebih suka mencegahnya dan bukan mengarahkannya.


Note : ditulis oleh seorang guru yang frustasi karena harus menjejalkan konten kurikulum kepada murid-muridnya yang akan menjalani UN.

Sunday, April 19, 2009

GURU: PROFESI YANG MENEMBUS BATAS RUANG DAN WAKTU

Kita mengenal kata guru sebagai sebuah profesi yang setara dengan kata teacher dalam bahasa Inggris. Padahal kata Guru memiliki makna yang jauh lebih dalam dari hanya sekedar teacher. Bahasa Inggris sendiri mengenal kata Guru. Dalam kamus webster (English-English dict) guru diterjemahakan sebagai: respected and influential teacher. Seorang teacher yang berpengaruh dan dihormati.
Menurut wikipedia (english) dikatakan guru adalah seorang yang dianggap memiliki pengetahuan yang luas, kebijaksanaan, dan kewenangan dalam masalah tertentu yang menggunakan kemampuannya tersebut untuk membimbing orang lain. Konon guru berasal dari bahasa sansakerta gu yang berarti kegelapan dan ru yang berarti cahaya, jadi guru adalah sesorang yang memberikan penerangan sehingga orang-orang tidak lagi dalam kegelapan.
Di barat, penggunaan kata guru mengalami perluasan menjadi orang yang memiliki banyak pengikut, tidak harus dalam sebuah sekolah atau lembaga agama tertentu.

Profesi guru adalah profesi yang menembus ruang dan waktu. Seorang dokter dapat saja memiliki jam praktek tertentu, kemudian menolak pasien ketika jam prakteknya selesai. Seorang guru tidak dapat demikian. Dalam jam sekolah dia harus memberikan teladan yang baik bagi siswa-siswanya.Begitu jam sekolah usai, tetap saja "profesi guru" itu melekat, sehingga dia tidak dapat mengabaikan statusnya tersebut dan melakukan tindakan sekehendak hatinya. Jika di jam belajar Guru berkata santun, maka dalam dua puluh empat jam pula dia harus berkata santun,karena profesi guru bukanlah profesi yang dapat diletakkan sementara. Seorang guru yang memiliki integritas tidak akan melakukan hal yang tidak pantas bahkan saat dia sedang sendirian.

Begitulah saya ingin menjadi guru. Guru yang tidak hanya dibatasi oleh ruang kelas. Dimanapun saya, saya adalah guru. Guru yang lebih dari sekedar teacher.

Thursday, April 16, 2009

Telen Sajalah Nak

Mempunyai murid-murid yang cerdas dan kritis adalah satu kebanggaan tersendiri. Selain kritis murid-murid saya juga pandai berargumen. Seringkali mereka 'menawar' ketika diberikan tugas dengan argumen-argumen yang luar biasa. Saya membayangkan kelak diantara murid-murid saya akan banyak yang menjadi negosiator ulung dan sukses dalam berbisnis. Itu sebabnya saya cenderung mendorong mereka untuk memberikan argumen yang benar untuk setiap tindakan mereka.

Tapi hari itu .....

KKG kecamatan mengadakan 'try out simulasi UAS BN. Selama tiga hari siswa melakukan try out dengan aturan dan suasana dibuat semirip mungkin dengan UAS BN. Bahkan pengawaspun silang antar sekolah. Saya mendapat tugas mengawas di sebuah SD negeri yang siswa-siswanya sangat santun dan tertib. Setelah selesai mengerjakan soal, mereka duduk dengan tenang menunggu bel, padahal sisa waktu masih sangat lama.

Sewaktu saya kembali ke sekolah, saya mendapat informasi dari wakasek kalau yang mengawas di sekolah kami mengeluh karena siswaku banyakprotes. Pada sebuah kesempatan, saya bertanya pada siswa-siswa saya apa sebenarnya yang mereka protes saat try out tersebut. Dan berebutanlah siswa-siswa saya menyampaikan unek-uneknya.

Siswa A : Masa kita sudah selesai mengerjakan tidak boleh keluar, harus diem aja nunggu bel, ngapain coba?
Siswa B : Ngobrol saja ngga boleh bu, padahal kita juga sudah ngga megang pensil, sudah ngga ngerjain lagi. Kita juga bukan ngobrolin soal kok, masa ngga boleh?
Siswa C : Masa kita duduk sila diatas kursi saja dibilang ngga sopan suruh diturunin kakinya, memang kita robot apa harus duduk diem sampai bel?
Siswa D : Ngapain juga sih bu buang-buang waktu saja diem nungguin bel, kan kita bisa manfaatin waktu kita untuk hal yang lebih berguna?
Saya : Lho, kalian kan bisa manfaatin waktu untuk murojaah hapalan kalian. Manfaatkan dong waktunya untuk hal yang bisa kalian lakukan.
Siswa E : Mengulang hapalan itu kalau kitanya santai enak bu, kalau harus duduk manis begitu, mana dilihatin mulu sama pengawasnya hapalannya juga malah hilang bu.
Siswa F : Apalagi waktu sains bu, kan cuma 40 soal pilihan ganda, setengah jam juga selesai, masa kita harus duduk kaku selama satu setengah jam nungguin bel, mana ngga boleh protes lagi.

Hahahaha, dalam hati saya sebetulnya lebih menyetujui apa yang dikatakan murid-muridku. Tapi terhadap mereka saya mengatakan: "Nak, dalam hidup ini kadang kita harus menerima keadaan-keadaan yang tidak sesuai dengan kehendak kita. Dan mungkin kadang, bukan hanya tidak sesuai dengan kehendak kita, juga bahkan tidak masuk akal. Ada saatnya kita harus tunduk pada aturan yang mengikat kita. UASBN ini salah satu contohnya. Aturannya memang begitu, dan mau tidak mau kalian harus menjalaninya. Ada hal-hal dimana kita punya posisi tawar, kita bisa menegosiasikan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kita lakukan. Tapi adakalanya kita dalam posisi harus menerima. Bu guru akan senang kalau kalian bisa menjalaninya dengan hati yang lapang, dan menunjukkan pada pengawas dari luar bahwa kalian adalah siswa-siswa yang tahu aturan."

Telen sajalah nak ............................