Pages

Tuesday, December 29, 2009

Andai

sebentar biarkan aku mengunyah pagi yang menyodorkan sepiring rasa asing
langit mengabarkan pagi telah beralih melewati punggung-punggungnya bahkan bayang-bayang telah hilang
rasa asing itu berkeras tinggal,

ah
andai saja kisah bahagia selalu dapat kuputar kembali seperti sekeping cd yang kuputar ulang tanpa henti

Sunday, December 27, 2009

Selamat pagiiiiiiiiiii. Saatnya berseluncur di dunia nyata. Mudah-mudahan bisa nyuri-nyuri waktu ngintipin inbox. Salaaaaaaam. Semangat!

Selamat pagiiiiiiiiiii. Saatnya berseluncur di dunia nyata. Mudah-mudahan bisa nyuri-nyuri waktu ngintipin inbox. Salaaaaaaam. Semangat!

Saturday, December 26, 2009

Tahukah anda bahwa bahasa Indonesia untuk kata online adalah daring, yang merupakan singkatan dari: dalam jaringan. Lucunya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (KBBI daring), tidak ditemukan kata daring itu sendiri

Tahukah anda bahwa bahasa Indonesia untuk kata online adalah daring, yang merupakan singkatan dari: dalam jaringan. Lucunya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (KBBI daring), tidak ditemukan kata daring itu sendiri

Thursday, December 24, 2009

Sin Cera

Istilah sin cera ini saya dapatkan dari novel karya Dan Brown yang berjudul (kalau tidak salah) Deception Point. Konon para pematung Yunani (?) tidak pernah ada yang benar-benar sempurna pahatannya. Saat memahat, ada saja bagian yang gompal. Untuk menutupi gompal tersebut, digunakan lah cera. Sejenis lilin yang berasal dari sarang lebah. Mereka yang kuliah di jurusan Farmasi pasti akrab dengan cera ini. Patung yang benar-benar mulus tanpa tambalan menjadi barang langka yang benar-benar mahal. Istilah untuk patung tersebut adalah sin cera. Tanpa lilin. Istilah sin cera tersebut pula yang menjadi asal kata sincere dalam bahasa inggris
_______

Suatu ketika saya pernah memaksa seorang murid saya, katakan saja namanya Ayu, untuk memaafkan temannya. Sebetulnya yang bersalah bukan murid saya tersebut. Tetapi temannya berselisih adalah seorang yang benar-benar introvert, dan hanya punya sedikit teman. Ibunya si introvert mengirim sms yang isinya kemungkinan si anak tidak akan ikut acara refleksi akhir tahun, karena perselisihannya tersebut.

Saya menelepon Ayu, menjelaskan bahwa saya tahu bahwa Ayu tidak bersalah, tapi saya ingin mereka berbaikan. Tidak lama setelah saya menutup telepon, mamanya Ayu menlepon saya, menceritakan kalau Ayu menangis setelah menerima telepon dari saya. Saya minta maaf sama mamanya Ayu dan menjelaskan duduk persoalannya, saya juga sempat meminta maaf pada Ayu, dan tidak pernah mengungkit masalah tersebut lagi meskipun ibunya si introvert terus menerus sms meminta saya menyelesaikan masalah mereka.

Tiba saat acara refleksi akhir tahun, sebagaimana dugaan saya si introvert tidak hadir. Saya cuma mengecek hal tersebut dan tidak mengatakan sepatah katapun. Ayu, yang rupanya menyadari hal tersebut, berinisiatif untuk menelpon temannya yang introvert tersebut, membujuknya agar hadir. Ketika akhirnya si introvert hadir Ayu mengajaknya masuk kamar, dan mereka membicarakan masalah mereka. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi sejak itu mereka berteman lagi seolah tidak pernah punya masalah.

Sempat saya bertanya pada Ayu, apa yang dia bicarakan dengan temannya tersebut. Dengan diplomatis Ayu menjawab, "Saya ceritakan dari A sampai Z, meskipun mungkin saya menghilangkan D, M dan S."

Seringkali saya merasa malu kalau harus bercermin pada murid-murid saya sendiri. Mereka lebih jujur dan lebih bening hatinya. Tidak menyimpan rasa sakit hati. Sin Cera

Wednesday, December 23, 2009

Jenuh

beri aku badai
karena angin sepoi melubangi hatiku
meletakan sebongkah gulita lantas berlalu
dan gulita itu menggurita
melahap semua cahaya

beri aku prahara
agar aku bisa meronta
karena pada tak ada apa-apa
aku lunglai tak berdaya

Tuhan
beri aku apa saja, selain diam dan menjadi karatan



gambar diambil di sini

Monday, December 21, 2009

[Cerpen] Buzzz!!

Sejak usai shalat isya sampai saat jarum jam sebentar lagi akan menunjukkan angka sembilan, isteriku tidak bangkit dari duduknya. Aku tidak tahu, apakah isteriku begitu larut dalam dzikirnya, atau dia sedang merasakan kesedihan yang mendalam.

Aku tidak ingin menyakitinya, sama sekali tidak ingin. Dia adalah seorang isteri yang baik. Berada bersamanya bagaikan berdiri di tepian danau yang teduh, mengalirkan ketenangan dan kedamaian. Isteriku selalu menerimaku dengan senyuman, baik saat aku memenangkan proyek bernilai milyaran, maupun saat berbulan-bulan aku tidak menghasilkan satu rupiahpun. Dia adalah isteri pilihanku sendiri, dan akupun mengira bahwa kebersamaan kami akan langgeng tanpa gangguan yang berarti.

Semuanya berawal saat aku menerima notification di ym, dari seseorang yang tidak kukenal. Berpikir kalau-kalau itu berasal dari relasi bisnis, aku menerimanya. Lalu suatu ketika, saat aku sedang online, “Buzz!” dia memaksa masuk. Awalnya aku tidak suka dengan caranya. Hanya sebagai basa-basi aku tanya siapa dia. Dia memperkenalkan diri sebagai Nina, seorang karyawan sebuah perusahaan swasta. Aku tanya sampai mendetil tentang perusahaan tempatnya bekerja. Bukan apa-apa, aku tidak ingin ada mata-mata dari perusahaan sainganku. Ternyata aman, tempatnya bekerja sebuah perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan jenis usahaku.

Mulanya hanya obrolan ringan yang sebentar. Lama-lama merembet pada pekerjaan, harapan-harapan, sampai beberapa perdebatan politik yang seru tapi lucu. Chatting bersama Nina menjadi sebuah candu. Dia selalu bisa mengimbangi apapun yang aku bicarakan, baik dengan serius maupun dengan celetukan-celetukan lucunya. Mengobrol dengannya selalu terasa segar, tidak pernah membosankan. Setiap hari aku selalu menantikan ‘Buzz’ darinya. Kemudian chatting di dunia maya saja menjadi tidak cukup, kami pun merancang pertemuan.

Ada sedikit rasa tidak enak dalam hatiku dengan pertemuan ini. Seolah-olah aku sedang mengkhianati isteriku. Tapi perasaan itu kutekan, toh aku cuma bertemu untuk makan dan ngobrol. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah, begitu aku membantah kata hatiku sendiri. Dan pertemuan inipun menjadi sesuatu yang rutin.

Nina tahu persis bahwa aku adalah seorang pria yang beristeri. Dari awal dia sudah tahu. Tapi dia tidak keberatan berteman denganku. Memangnya kenapa, begitu katanya. Bersama Nina hari-hariku menjadi begitu menggairahkan, bagaikan berdiri di tepian laut dengan gelombang yang kadang kecil, kadang bergulung besar. Membuat kita tertantang untuk menaklukannya. Segala hal pada dirinya terasa indah. Bahkan marahnya saja membuat kangen. Tak tahan aku melewatkan satu haripun tanpa berkomunikasi dengannya.

Keterikatan diantara kami sudah begitu kuatnya, sampai kami memutuskan untuk masuk ke langkah selanjutnya. Mengukuhkan kebersamaan kami dalam ikatan yang sah, ikatan yang suci. Sebuah pernikahan.

Agak gentar juga aku waktu harus menyampaikan ini pada isteriku. Tapi tekadku sudah bulat. Aku sudah tidak mungkin mundur lagi. Bahkan seandainya isteriku menyuruhku untuk memilih, aku akan memilih Nina, walaupun aku terpaksa harus menceraikannya. Isteriku nampak terkejut mendengar apa yang kukatakan. Dia memandangku tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya. Dia hanya memandangku sambil menggigit bibirnya. Bahkan saat kukatakan, kalau dia tidak mengizinkan aku akan memilih Nina, dia tidak bereaksi. Diam saja sambil memandangku. Aku bingung. Tapi sebetulnya tidak masalah, bagaimanapun reaksinya, rencanaku dengan Nina akan jalan terus. Meskipun jujur, aku juga menyimpan rasa kasihan yang mendalam terhadapnya. Tapi hal itu tidak akan menghalangiku.
Sampai kami berbaring bersisian, isteriku belum mengucapkan sepatah katapun. Sedikit membuatku heran, sama sekali tidak ada bekas tangis di wajahnya. Dia hanya menjadi begitu diam. Dia memang bukan orang yang emosional. Tidak mudah menangis. Dia adalah orang yang benar-benar praktis. Tetapi menghadapi beberapa persoalan berat, terkadang dia menangis juga. Aku mengira, seharusnya, masalah ini akan menjadi satu hal yang membuatnya menangis. Tapi ternyata tidak. Dan aku menjadi heran akan proses mentalku sendiri, aku sangat tidak ingin melihat isteriku merasa sakit hati, tapi aku kecewa karena dia tidak menangis saat aku mengatakan bahwa hatiku bukan miliknya lagi. Bahwa ada perempuan lain yang telah bertahta di hatiku.
Pagi hari semuanya seolah berjalan normal. Kebetulan hari itu hari minggu. Seperti hari minggu yang sudah-sudah, isteriku menyediakan segelas kopi dan sepiring penganan di teras belakang. Roti tawar berlapis selai yang dia hidangkan kali ini. Lalu dia duduk di kursi yang berada di hadapanku. Saat pengadilan telah tiba, pikirku.
“Mas,” nah, benarkan? “Sebetulnya, sudah agak lama juga saya mengamati perubahaan pada diri mas. Tapi aku tidak mengira.....eeee.........mas akan menyampaikan apa yang mas katakan semalam. Tapi mungkin itu adalah jalan keluar terbaik bagi kita berdua.”
“Jalan keluar?” aku tak mengerti maksudnya.
“Ya, mungkin memang perpisahan adalah hal terbaik bagi kita berdua.”
Terbaik? Bagi kita berdua?
“Maksudmu, kamu tidak bisa bersamaku lagi, karena kamu tidak terima kalau ada perempuan lain?” tanyaku ingin penegasan.
“Eeeee........... barangkali sebetulnya, saya ingin mempertahankan pernikahan kita, barangkali ................”
“Tidak masalah, Lia, dia tidak berkeberatan menjadi isteri kedua. Dan akupun masih sangat mencintaimu. Kehadiran Nina tidak merubah rasa cintaku untukmu,” aku merasa lega mendapat kesempatan untuk menyampaikan bahwa aku masih mencintainya.
“Bukan begitu, .........eeee.......... barangkali ..........eeee...........”
Aku diam menunggu lanjutan dari eee dan barangkali yang berulangkali diucapkannya.
“Barangkali sebetulnya, eeee...... aku ........aku juga menginginkan perpisahan itu. Sebetulnya tidak, aku tidak menginginkan perpisahan kita, tapi........ aku bingung bagaimana harus mengatakannya.........”
Apa maksudnya? Mengapa berputar-putar seperti itu?
“Begini mas,”lanjut isteriku setelah menghela nafas panjang, “Sebetulnya, sudah beberapa bulan ini, ada seseorang yang lain hadir di hatiku. Tidak sengaja, sungguh.”
Apa?! Bagaimana mungkin? Aku begitu terkejut sehingga tidak tahu harus mengatakan apa.
“Aku mengenalnya saat ada pertemuan wali murid di sekolah Bilqis. Dia adalah seorang duda beranak satu. Kami sering chatting di facebook.”
“Kamu mengkhianatiku?” tanyaku sakit hati.
“Tidak, tidak pernah! Dia memang sering mengungkapkan perasaan-perasaannya. tetapi aku selalu bilang bahwa aku akan setia pada perkawinanku, bahwa aku cuma menganggapnya teman. Sekuat tenaga aku melawan perasaanku sendiri, karena awalnya, aku ingin mempertahankan perkawinan ini.”
“Kamu chatting sama laki-laki lain? Kamu jatuh cinta pada laki-laki lain? Bagaimana bisa kamu berbuat seperti itu?” tanyaku tidak terima.
Isteriku diam saja. Dia memandangku dengan tatapan sorot mata tajam. Seolah ingin menggugat,‘kamu juga chatting dan jatuh cinta dengan perempuan lain! Membuatku kehilangan kata-kata.
“Aku tidak suka kamu berbuat begitu,” kataku.
“Mas, aku minta maaf. Tapi bukankah hal itu malah memudahkan untuk mas? Malah sesuai dengan rencana mas? Mas bisa melanjutkan rencana mas dengan ......perempuan itu..........tanpa ada halangan apapun. Mas bahagia, aku juga bahagia.” sisi praktis isteriku muncul.
Bahagia? Mana bisa bahagia bila di hati isteri yang kita cintai ternyata ada laki-laki lain? Mana bisa? Aku memang ingin mengawini Nina, tapi bukan begini rencanaku. Kalaupun harus berpisah dengan Lia, aku pikir dia akan melepasku dengan air mata. Menanti beberapa bulan, atau tahun bahkan, sebelum memulai sebua
h hubungan dengan laki-laki lain. Aku tidak menyangka kalau dia juga menginginkan perpisahan ini. Aku tak pernah menyangka ada laki-laki lain di hatinya. Aku merasa dikhianati. Egoku terluka.
Hari senin dikantor aku membatalkan rapat, mengkansel beberapa pertemuan. Aku hanya ingin duduk diam diruang kerjaku. Memikirkan isteriku akan berbahagia dengan laki-laki lain sungguh tak tertahankan. Tiba-tiba, Buzz!! Monitor laptopku memperlihatkan seseorang yang menyapaku di ym. Nina. Aku signout.

SEKIAN

Sebuah catatan:
Cerpen ini hadir dari rasa ingin tahu, seberapa besar sebetulnya seseorang akan berusaha mempertahankan ikatan perkawinannya, ketika godaan yang begitu menggiurkan menerpa biduk rumah tangga.

Wednesday, December 16, 2009

Tuesday, December 15, 2009

Cerpen Lanjutan

Setelah bekerja, segalanya berubah. Sikapnya menjadi lebih dewasa dan Reyhan merasa orang-orangpun semakin menghargainya. Tapi tidak dalam hubungannya dengan Ima. Melihat Ima membangkitkan naluri terjail yang dipunyainya. Dengan Ima dia lupa apa yang namanya gentle ataupun tatakrama. Prestasi terbaiknya adalah membuat Ima tercebur got saat mengenakan kebaya ketika ada tetangga hajatan. Dan prestasi terbesar Ima adalah menempelkan tulisan:
Bujangan Terakreditasi
Standar ISO 2008
pada punggungnya, pada saat dia tampil pidato sebagai ketua panitia 17an di RWnya.

Dan sekarang Reyhan masih belum menemukan cara yang pas untuk membalas lemparan sendal jepit tadi.

“Re, duduk! Mama mau bicara,” tumben-tumbenan mamanya serius begitu.
“Nita, hari sabtu besok mau ada yang melamar,” Oh, Nita adiknya Ima, apa urusannya, pikir Reyhan, tapi dia diam saja.
“Mamanya Ima tidak mau Ima dilangkahi oleh adiknya.” Beep beeep, alarm di kepala Reyhan berdering.
“Mama mau ngejodohin Re sama Ima?”
“Ngga juga. Mama nanya aja, kira-kira kamu mau ngga nikah sama Ima. Mama lihat kalian berdua.........eeeeeee........” ibunya tidak berhasil menemukan kata yang pas.
“Kagak! Kagak! Kagak!”
“Ya sudah ngga usah sewot. Kalau kamu ngga mau. Ima mau dijodohkan dengan sepupu jauhnya dari jawa.”
“Situ!”
“Bener ngga nyesel?”
“Eh, Ma, kalau ada laki-laki yang mau mengawini si sinting itu, Re sumbang deh buat biaya resepsinya, beneran.”
“Ho ya sudah. Mama sih terserah kamu saja,”

Reyhan berjalan kembali ke kamar. Si sinting mau dijodohin? Huh, sepertinya genderang kemerdekaan baginya. Akhirnya......................Lalu tiba-tiba dilihatnya sandal jepit Ima di kolong ranjang. Diraihnya sandal itu. Kalau Ima sudah menikah, siapa nanti yang akan melemparnya pakai sandal jepit? Siapa yang akan mengejarnya pakai gagang sapu? Reyhan berlari keluar.

“Ima!” Reyhan berteriak dari gang samping rumah Ima. Jendela kamar Ima yang memang menghadap ke gang tersebut. Letaknya di lantai dua, jadi Reyhan memandang jendela tersebut sambil menengadahkan wajahnya. Tak lama jendela tersebut terbuka.
“Apa?”
“Lu mau kawin sama gua?”
“Kagak, itu ibu gua”
“Lu, kagak mau kawin sama gua?” Reyhan mengubah pertanyaannya.
“Lu mau ngawinin gua?”
“Kalau Lu mau, gua juga mau,” mulutnya sudah bicara sebelum dapat direm.
“Eh, lu ngajak gua kawin pake tereak-tereak dari jalan gitu?”
“Lu mau gua gimana? Mau gua ke situ terus berlutut sambil nyodorin cincin, apa mau gua umumin pakai toa mesjid?”
Ima tersenyum. Reyhan ikut tersenyum
“Jadi kita kawin?”
“Boleh”
Tidak tahu lagi harus mengatakan apa, Reyhan berbalik menuju rumahnya tanpa pamit. Ima menutup jendelanya kembali. Baru beberapa langkah Reyhan menyadari dia masih memegang sendal jepit Ima. Dia tertegun. Kawin sih kawin tapi.................... Dia berbalik lagi kembali ke tempatnya berdiri tadi.
“Ima!”
Jendela itu kembali terbuka. Nampak Ima di ambang jendela. Sebelum Ima menyadari apa yang akan terjadi, Reyhan melempar sendal jepit itu kencang-kencang. Tap! Tepat kena jidat Ima. Reyhan berbalik dan lari terbirit-birit.

SEKIAN

Catatan: cerpen ini dibuat berdasarkan request dari mbak Rika yang bolak-balik lihat cerpen 1 ga komen-komen ^___^
Heran juga tidak ada yang protes soal judulnya ^___^

Setelah mengerahkan segala usaha, melakukan semua pukulan: backhand, forehand, lob, short smash, jumping smash, akhirnya menang telak; bu metty melawan nyamuk ^___^

Setelah mengerahkan segala usaha, melakukan semua pukulan: backhand, forehand, lob, short smash, jumping smash, akhirnya menang telak; bu metty melawan nyamuk ^___^

Monday, December 14, 2009

cerpen

"Puk"
Sebuah sandal jepit mendarat di kepala Reyhan. Asem, kenapa harus sekarang, saat dia berhadapan dengan Sandra. Gadis yang baru pindah ke komplek mereka. Gadis yang seminggu ini menjadi pembicaraan dia dan teman-temannya.
"Apa itu?" tanya Sandra
"Ini, biasa si sinting" Reyhan salah tingkah.
"Sandal jepit, siapa yang melempar? Mengapa?"
"Si sinting, dasar! Biasa begitu dia"
"Ditegur aja."

Ditegur? Si sinting Ima? Wah nyerah deh. Pernah dia marah gara-gara Ima memasukkan kecoa ke dalam kopinya. Eh, diomelin dia nyengir aja, bikin tambah gondok, akhirnya dia mencengkram bahu Ima dan mengguncangnya, Ima menggeliat dan mengambil sapu, lalu mulai memukulinya. Bukannya tidak bisa melawan, tapi masa harus memukul perempuan? Dan dia berlari mencari perlindungan dikejar-kejar Ima dan gagang sapunya ditertawakan seluruh teman-temannya.

Merasa salah tingkah sendiri akhirnya Reyhan pamit pada Sandra. Sampai di rumah dia baru menyadari kalau masih memegang sandal jepit yang menimpuknya tadi. Hah, biarin! Dibawanya sandal itu ke kamarnya, lalu ditaruhnya di kolong tempat tidur.

Pembalasan apa yang pantas buat perempuan sialan itu? Perempuan yang mengacaukan skenario yang sudah dirancangnya. Dia tahu, pada jam segitu Sandra akan keluar dari rumahnya untuk menjemput adiknya pulang TPA. Setelah dipertimbangkan, di gang itulah tempat yang paling pas untuk 'berpapasan' dengannya.

Rencananya, setelah berbasa-basi dia akan menawarkan diri untuk menemani Sandra menjemput adiknya. Dia lupa satu hal, gang romantis itu tepat berada di samping rumah si sinting.

Aneh juga sebetulnya dia dan Ima bisa jadi seteru abadi seperti itu. Dari SD sampai SMP mereka akur-akur saja. Sering berangkat sekolah bareng bahkan. Lalu di SMA, Ima punya pacar. Ada sedikit rasa tak rela di hati Reyhan. Suatu ketika, Ima dan pacarnya makan bakso dikantin sekolah berdua. Reyhan menghampiri, "gabung ya" katanya, dia ikut memesan semangkuk bakso. Keduanya nampak terganggu tapi tidak ada yang mengucapkan penolakan. Sengaja dia tidak menghabiskan baksonya. "Duh, kenyang nih, habisin ya," lalu memindahkan sisa bulatan bakso dari mangkuknya ke mangkuk Ima. "Duluan ya," katanya meninggalkan mereka berdua. Dan dia sangat puas sewaktu melihat Ima dan pacarnya pulang sekolah sendiri-sendiri.

Sejak itu Ima tidak pernah terlihat jalan bareng pacarnya lagi. Anehnya, sikapnya terhadap Reyhan juga biasa saja. Tidak kelihatan marah ataupun menyalahkan. Tapi rupanya Ima menyimpan semuanya sampai saatnya tiba.

Kelas dua giliran Reyhan yang punya pacar. Ada-ada saja ulah Ima untuk mengganggunya. Saat dia mau pulang bersama pacarnya, kebetulan gerimis. Hmm romantis nih bergerimis berdua. Ima menghampiri, "Pinjem jaketnya dong, takut flu nih kena ujan," katanya. Bagaimana mungkin menolak permintaan Ima? Tapi pacarnya tidak mau mengerti. Ternyata jalan berdua dengan pacar yang cemberut itu tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Lain waktu, Reyhan dan pacarnya makan bakso berdua di kantin. Ima menghampiri mereka. Teringat kejadian di kelas satu, Reyhan mengantisipasi. Rencananya, jika Ima memesan bakso juga, dia akan makan baksonya sambil memegang mangkuknya, tidak diatas meja. Tapi ternyata Ima tidak memesan bakso. "Nyicip dong," katanya sambil langsung merebut sendok dari tangan Reyhan. Dia mengambil satu bakso, memasukkannya ke dalam mulutnya,"duwuan wa" katanya dengan mulut penuh bakso, lalu berlalu. Dengan ujung matanya Reyhan masih sempat melihat Ima memuntahkan bakso tersebut ke got. Berakhirlah kisah asmaranya.

_______
BERSAMBUNG

Nanti lagi ya...............
Sengaja pakai nama Ima hehehe..................nungguin yang protes

Telah Kutandai

aku telah menandainya
menjadikan lingkaran bulat dalam peta
mengasah hari-hari semakin tajam
melontarkan tanya berubah ia jadi batu
melontarkan kata berubah jadi api
sampai tangis menyiram benih menjadikannya bunga

aku telah menandainya
menjadikan lingkaran bulat dalam almanak
dan waktu menjadi elastis
tak beda sebentar ataupun lama
berpusing antara masa lalu dan masa depan
terjebak di labirin masa
sampai doa menyiram asa menjadikannya takdir

aku telah menandainya
menjadikan lingkaran bulat dalam kepingan hati
menutupnya rapat
menjadikannya rahasia tak terbaca
menimbunnya dengan diam dan sunyi
dalam riuh kata-kata
sampai tirai masa menyibak menjadikannya cinta

Sunday, December 13, 2009

Putri

berlari meniti pelangi
senyummu cerahkan hari
bidadari bening hati


Saya memanggilnya putri. Seorang siswa kelas 2 SMP di wilayah Cijantung. Dia seorang murid privat saya yang luar biasa istimewa. Istimewa karena otaknya yang amat brilian, sopan santunnya yang tanpa cela, dan satu-satunya yang tidak mau memanggil saya bu guru. Dia memanggil saya tante.

Dengan otak cemerlangnya sebetulnya dia tidak memerlukan les privat. Nilai UAS BN sewaktu SD untuk pelajaran matematika 9,75 yang artinya hanya salah satu dari 40 soal. Sewaktu kelas 7, sering mendapat nilai terbaik untuk matematika. Tapi di kelas 8, kebetulan dia mendapat guru yang style mengajarnya membuatnya ciut. Dia merasa, kalau tidak paham dan bertanya, bukannya jadi mengerti malah serasa dimarahi. Akhirnya dia minta pada orang tuanya untuk mendapat tambahan pelajaran matematika.

Baru beberapa pertemuan saya langsung tahu, bukan kemampuannya yang menurun, tapi rasa percaya dirinya yang terkikis akibat sikap gurunya. Dia tetaplah cemerlang. Menghabiskan waktu bersamanya adalah rekreasi otak yang asyik. Saya senang mengamati cara berfikirnya yang efisien dan seringkali membuat saya takjub. Seringkali saat mengerjakan soal-soal prnya, dia menemukan jawaban secara cepat, tanpa harus mengikuti langkah-langkah baku yang diajarkan sang guru. Salah satunya pernah saya tulis di postingan untuk penggemar matematika. Saat dia sudah paham sebuah bab, tidak banyak lagi yang harus saya jelaskan saat dia mengerjakan soal. Percakapan yang sering terjadi adalah; "begini ya tante?" "hm mh"........."begini ya?" "hm mh" begitu berulang-ulang. Sampai suatu ketika dia nyeletuk; "tante enak yah, kerjanya hm mh hm mh doang" Hahahaha, terima kasih guru matematikanya putri yang membuat hm mh saya mendapat imbalan.

Suatu ketika, saat saya ke rumahnya. Di meja tempat kami biasa belajar ada beberapa tangkai rambutan dalam piring. Rambutan yang berasal dari pohon yang berada di halaman rumahnya. Sebelum belajar, putri mempersilakan saya untuk makan rambutan itu. Saat putri mengerjakan soal, iseng saya memakan sebuah. Ternyata benar-benar manis. Tanpa terasa, sampai selesai sesi pelajaran kami, cukup banyak juga rambutan yang saya habiskan.
Hari kamis kemarin tidak seperti biasa, saya ke rumahnya jam 8 pagi karena selama ulangan Putri sekolah siang. Ternyata di meja telah ada beberapa tangkai rambutan yang nampaknya baru dipetik. Putri berkata: "Tante itu rambutan. Tadi saya sengaja minta papa memetik rambutan untuk tante. Tante kan doyan" Mengapa mata saya jadi berkaca-kaca?

Saturday, December 12, 2009

Sisi Lain

Selama ini saya selalu menganggap diri saya ini orang baik. Ada yang mau protes? Tapi kalau diingat-ingat kembali, kadang ada sisi lain yang muncul

Hari itu saya sampai di rumah jam 9 lebih, hampir setengah sepuluh malah. Tetangga rupanya ada yang memiliki biola baru, terdengar suara gesekannya: doremifasolasido dosilasolfamiredo. Oh, baru belajar solmisasi rupanya. Sepuluh menit masih terdengar suara yang sama. Lima belas menit. Setengah jam. Sungguh saya merasa kagum akan kegigihannya. Rupanya pantang berhenti baginya sebelum benar-benar terdengar sempurna. Menjelang jam sebelas, saat saya sudah merebahkan diri ingin segera terlelap, masih juga terdengar doremifasolasido dosilasolfamiredo. Tak juga bisa lelap karena terganggu oleh suara biola itu.Tiba-tiba muncul tanduk di kepala saya: duuuh, kapan ya itu senar biolanya putus


Di waktu lain saya dalam perjalanan dari Pasar Rebo menuju depok. Menghindari jalanan yang ramai, saya mengarahkan motor saya melewati jalan alternatif menembus kopasus. Sebetulnya saya tidak sedang terburu-buru, juga tidak suka ngebut. Tapi di depan saya sebuah mobil bak terbuka yang terlalu lamban untuk diikuti. Saya tarik gas sedikit mencoba mendahului mobil tersebut. Tapi sopir mobil tersebut rupanya tiba-tiba ingin menambah kecepatannya. Laju mobil tersebut semakin kencang. Kadung punya niat menyalip, saya tambah tarikan gas motor saya untuk menambah kecepatan, tapi si mobil juga melakukan hal yang sama. Oh, dia tidak ingin disalip rupanya. Ya sudah, toh kecapatannya sudah cukup. Saya mengalah. Menempatkan kembali motor saya di belakang mobil tersebut. Saat saya sudah mengalah, laju mobil tersebut kembali pelan, benar-benar pelan.

Wah, ni mobil lagi cari gara-gara rupanya. Kembali saya tancap gas untuk menyalip mobil tersebut. Seperti sudah saya duga, mobil itupun kembali menambah kecepatan. Saya tidak mau mengalah saya tambah lagi tarikan gas, mobil itupun melakukan hal yang sama. Kali ini benar-benar saya tidak mau mengalah, saya tambah terus kecepatan saya, sampai tiba-tiba saya melihat sebuah polisi tidur yang amat 'gemuk' hanya dalam jarak beberapa meter saja. Saya kurangi tarikan gas, lalu menginjak dan menarik rem tangan, tepat sebelum polisi tidur tersebut. Si sopir mobil kurang beruntung. Rupanya dia terlalu konsentrasi memperhatikan posisi saya, jadi tidak sempat melihat polisi tidur tersebut. Dia baru menginjak rem dengan mendadak, saat mobilnya mendarat setelah 'melompat' akibat melewati polisi tidur dengan dengan kecepatan tinggi. Sepertinya hentakan yang dirasakan si supir lumayan juga, karena bunyi gubraknya saja terdengar kencang sekali. Bukannya bersimpati, saya malah tertawa melihat nasib yang dialami si supir, dan menyalib mobil tersebut serasa jadi pemenang

Rupanya, saya masih harus belajar untuk menjadi orang yang benar-benar baik...................

Kukuh

tak meluruh tanpa waktu paruh
tak juga mengaduh
tak mengalir seperti air melainkan riuh
tak rebah tak juga menyerah

tanpa prasasti dia ada
tak harus sampai
tak juga harus kembali
biarkan saja

Tuesday, December 8, 2009

Bolehkah?

bolehkah kutitipkan sejenak resahku
agar dengan tenang kupandang bintang
sebelum lelapku malam ini

bolehkah kusandarkan sejenak duka
agar kubisa tengadah memandang dunia
pada hari-hari letihku

bolehkah kau dan aku duduk berhadapan
agar bisa kuceritakan
bening air sungai yang mengalir

tanya yang kusampaikan lewat angin
telah sampaikah?

Friday, December 4, 2009

Di Langit Ada Matahari

Apa judul di atas mengingatkan anda pada sebuah lagu berirama gambus? Ya, niat untuk membuat tulisan ini muncul saat saya (tidak bisa tidak) mendengar lagu tersebut.

Dua hari ini saya mudik karena adik laki-laki semata wayang saya menikah. Unik juga kisahnya. Pertemuan pertama adik saya dengan (calon) isterinya terjadi beberapa hari sebelum lebaran kemarin. Pertemuan kedua saat mamah saya meminta dia datang ke rumah untuk memperkenalkan diri. Pertemuan ketiga saat adik saya (ditemani mamah saya, heee) mengunjungi rumahnya untuk memperkenalkan diri pada keluarganya. Pertemuan ke empat lamaran, dan pertemuan ke lima nikah. Subhanallah.

Beruntungnya tinggal di kampung adalah rasa kekeluargaan dan gotong royong yang masih sangat kental. Dengan rencana pernikahan yang terhitung lumayan mendadak, terus terang keluarga kami sangat tidak siap secara materi. Saat membicarakan pelaksanaan upacara pernikahan, kedua keluarga sepakat untuk melakukannya secara sederhana. Yang mana hal tersebut berupa kejujuran dari keluarga kami dan kerendah-hatian dari pihak mereka.

Jujur karena memang kondisi keuangan sedang pas-pasan. Kami bahkan bingung, bagaimana mau mengangkut saudara-saudara yang sebegitu banyak ke tempat pernikahan. Beruntung punya tetangga pada baik hati. Mereka dengan sukarela menyediakan mobilnya, plus supir dan bensin. Sebelas buah mobil disediakan oleh tetangga, ditambah beberapa mobil saudara siap mengantar rombongan pengantin. Para tetangga tentu saja terlibat aktif di kepanitiaan dan ikut juga dalam rombongan.

Upacara penyambutan calon pengantin laki-laki ternyata versi 'modifikasi'. Selama ini saya hanya mengenal upacara yang 'murni' sunda. Ada kawih dari sinden, ada lengser yang menjemput, ada berbalas pantun menggunakan bahasa sunda sastra yang nyaris punah. Kemarin lain. Ada tarian penyambutan (yang kalau hal ini diberitahukan lebih dulu pasti ditolak adik saya), kemudian calon pengantin dipayungi diiringi lagu lir-ilir. Nah lho, orang jawa tengah, ayo patenkan lagu lir-ilir sebelum diklaim oleh jawa barat. Heheheh.

Setelah selesai akad, para tamu dipersilahkan untuk menikmati hidangan. Tempat untuk makan keluarga terpisah dari para tamu undangan. Sebetulnya tempatnya nyaman, hanya saja lokasinya disebelah panggung, tepat kearah mana sound system menghadap. Bila berkumpul, saat makan bersama biasanya kami jadikan ajang untuk saling banting, saling mencela, sekedar bercanda menambah keakraban agar kami bisa tertawa bersama. Tapi kemarin, acara makan kami lakukan dalam diam. Bukan apa-apa, sudah bicara berteriakpun percuma, yang tepat disamping kita saja tidak mendengar apa yang kita teriakan. Di panggung sedang tampil sebuah group qasidah (?). Dentuman basnya terasa menggetarkan dada.

Di langit ada matahari
bersinar menerangi bumi
...................................


Foto menyusul kalau dapet :)

Wednesday, December 2, 2009

Ironi

Saya bertetangga dengan seorang tukang ketoprak. Ini ketoprak betawi yang bisa dimakan ya, bukan ketoprak yang ditonton. Tinggal di sebuah kontrakan kecil satu ruangan plus kamar mandi. Beliau memiliki seorang isteri dan seorang anak berusia kira-kira 3 tahun. Pagi-pagi sebelum berangkat, si anak kadang minta ketoprak sebagai sarapannya dan berlagak seperti pembeli. Si bapak akan melayani permintaan si anak seolah-olah melayani pembeli dewasa.
“Pedes tidak pak?”
“Pedes dikit aja ya” si anak menjawab sambil tersenyum senang diperlakukan seperti itu.
Kalau sudah selesai dibuat, si bapak akan menyerahkannya dengan sopan pada anaknya. Saat si bapak mulai mendorong gerobaknya untuk jualan, si anak akan berteriak dari dalam rumahnya,”bapak hati-hati ya......!”
Si bapak tanpa menoleh akan menjawab, “Ya!”



Saya mengenal sebuah keluarga lain. Bapaknya seorang staf ahli menteri anu. Ibunya seorang PNS, dengan posisi nyaris jadi orang nomor satu di kantor dinas pendidikan tingkat kotamadya. Pendidikan si ibu S2, baik sarjana maupun pascasarjananya dari jurusan kependidikan.
Suatu ketika si ibu baru sampai di rumah menjelang magrib. Karena kelelahan, setelah berganti baju, si ibu rebahan di kamar. Anak perempuannya yang waktu itu baru berusia tiga tahun menghampirinya. Baru beberapa langkah dari pintu si ibu sudah berkata, “Kakaknya maen di luar sana, mama cape,”
Si anak melangkah lagi keluar mengurungkan niatnya mendekati ibunya.
Di saat yang lain, anaknya yang laki-laki yang baru kelas satu SD membentak-bentak pembantunya minta dicarikan mainan. Beberapa saat mencari belum ketemu, teriakan si anak semakin keras, kata-katanyapun semakin tidak sopan. Si ibu yang berada di dalam kamar tidak memberikan respon apapun. Belum ketemu juga, si anak benar-benar murka dan mulai memukuli pembantunya dengan tangan kecilnya. Meskipun kecil, rupanya dalam keadaan marah tenaganya lumayan juga. Si pembantu berusah menangkis pukulan-pukulannya tanpa hasil berkata, “udah.........udah........sakit tahu,” dan mulai menangis terisak-isak. Mendengar pembantunya menangis, baru si ibu keluar kamar, dan ternyata bukan untuk memarahi si anak karena sikapnya, melainkan untuk membantu mencarikan mainan si anak. “Sudah, mamah bantuin cari,” katanya dan mulai sibuk mencari. Si anak sama sekali tidak mendapat teguran, dan si pembantu yang menangis terisak-isak dibiarkan saja.
Saya mampir ke situ sebetulnya cuma untuk numpang sholat maghrib. Begitu akan keluar, si pembantu menghalangi saya di pintu dan memeluk saya erat sekali, meminta saya jangan pergi dulu. Saya cuma bisa mengusap-usap punggungnya tanpa tahu harus berkata apa.



Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menjadi kuning kemudian hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keredhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu. (QS Al Hadiid 20)