Pages

Monday, June 29, 2009

Nyoba QN dari hp sekalian mo pamer, alhamdulillah siswaku lulus semua ^___^

Nyoba QN dari hp sekalian mo pamer, alhamdulillah siswaku lulus semua ^___^

Refleksi

berdiri ku memandang pada jendela buram masa lalu
kutelusuri setiap penggalan kejadian
kusimak segenap kisah
kuurai
lantas kutaut
dan aku mengerti
bukannya sudah berakhir
lakon ini tidak pernah dimulai



gambar diambil di sini

Sunday, June 28, 2009

hikz .......... sampai jam segini blanko Ijazah belum nyampe, padahal sudah pengen pulang nih, oh sungguh teganya teganya teganya

hikz .......... sampai jam segini blanko Ijazah belum nyampe, padahal sudah pengen pulang nih, oh sungguh teganya teganya teganya

Saturday, June 27, 2009

Tips Melacak Asal Gambar pada Komen

Sekedar iseng, daripada MP sepi postingan ^___^
Mohon maaf bila ternyata semua sudah tahu apa yang saya tuliskan.
Bila anda menemukan orang menyisipkan gambar animasi dalam komentar sebuah postingan dan anda merasa tertarik untuk ikut mempergunakan gambar tersebut tapi malu untuk bertanya dari mana url gambar tersebut, maka langkah yang perlu anda lakukan adalah:
1. Bukalah postingan yang pada komentarnya terdapat gambar animasi yang ingin anda lacak
2. Pada tab yang lain anda buka compose blog entry (seolah-olah anda mau memposting sebuah blog)
3. Kopi (eh copy) gambar yang ingin anda lacak, paste pada hal compose blog
4. Centang (check) kotak edit HTML di pojok kanan atas
5. jreng jreng dapet deh kode gambar tersebut.

Cara diatas bisa dilakukan untuk hal lain lagi......... silahkan berbagi...................


gambar diambil di sini


Jeda

tanggalkan sejenak putaran rutin roda keseharian yang dari hari ke hari tiada berganti warna

lupakan sesaat kejaran harus dan batasan tenggat waktu biarkan saja mereka meninggalkan atau menunggu siapmu

lepaskan penat dan letih yang senantiasa mendera

nikmati saja alunan nada sunyi dari hati yang sarat asa

resapi lantunan doanya bagi jiwa-jiwa yang telah menyakiti dan tersakiti

dengarlah nada sesal atas segala salah yang telah berlaku

nada rindu akan masa yang telah berlalu tentang canda tawa yang pernah kau lewati bersama mereka yang terkasih

nada harap akan kemilau masa datang tentang lautan kehidupan yang hendak kau arungi

nada merdu akan keindahan rasa yang kau punya tentang cinta dan harapan

nada sumbang dari segala amarah benci dan kecewa akan apa yang luput tak terraih

lantas sandarkan segala harap dan pinta

pada Dia yang Maha Berpunya



gambar diambil di sini

Tuesday, June 23, 2009

Tak Ada Ide




ingin ku buat cerita tapi aku habis kata

ingin ku tulis puisi tapi aku hilang rasa

ingin kudendangkan lagu tapi aku lupa nada

ingin ku lukis kanvasku tapi aku tiada warna

kucari kebalik mimpi tak jumpa

kulihat kebawah bantal tak ada

pada rak buku tak bertemu

pada langkah kaki jalan buntu


gambar diambil di sini

Monday, June 22, 2009

Sunday, June 21, 2009

Kepada Murid-muridku (2)

Apa kabar anak-anakku semua?
Semakin dekat saja waktunya bukan? Bu guru dapat merasakan gairah kalian menyongsong pengalaman baru, sekolah di SMP. Banyak sekali yang ingin bu guru sampaikan, tapi entah mengapa bu guru kehilangan kata-kata.
Barangkali puisi karya Asrul Sani berikut dapat mewakili apa yang ingin bu guru sampaikan.


Surat dari Ibu
karya Asrul Sani


Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau

Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau

Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!

Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari"


Selamat berjuang anak-anakku sayang. Semoga rahmat dan ridho-Nya selalu menyertai kalian

gambar diambil di sini

Saturday, June 20, 2009

Flash Fiction: Pepi Pelupa

Pepi benar-benar pelupa. Satu-satunya hal yang dia ingat dengan yakin adalah bahwa dia seorang pelupa. Meskipun kadang-kadang dia juga lupa kalau dia itu pelupa.
Itulah sebabnya dia menuliskan jauh-jauh hari hal-hal apa saja yang harus dia bawa. Hanya saja dia lupa dimana dia menuliskannya. Karenanya dia sibuk mencari-cari. Tiba-tiba dia menyadari bahwa dia lupa apa yang dia cari. Lalu dia mencoba mengingat-ingat. Sayang dia tidak ingat apa yang harus dia ingat-ingat.
Pepi menyerah dia duduk sambil berkipas-kipas dengan kertas. Iseng-iseng dilihatnya kertas yang dia pegang. Dia heran, mengapa dikertas itu tertulis "ini lho barang-barang yang harus kamu bawa". Lantas dia ingat bahwa dia menuliskannya agar dia tidak lupa. Dikumpulkannya barang-barang yang tertulis di kertas. Dimasukannya ke dalam tas. Sekarang Pepi sudah siap.
Tapi Pepi punya masalah. Pepi ragu-ragu kapan dia sebenarnya harus berangkat dan dia juga tidak ingat kemana dia harus pergi.

***
Saya tidak tahu mengapa contoh-contoh flash fiction yang saya baca selalu bernada buram dan kelam. Kalau memang itu ciri khas sebuah ff, berarti yang diatas tidak termasuk kategori ff. Apapun namanya mudah-mudahan berguna, setidaknya bisa digunakan untuk pembelajaran kata ulang ^___^

Sponsored by organic facial mask

gambar diambil di sini

Friday, June 19, 2009

Banggakah Anda Menjadi Bangsa Indonesia

Saya tidak sedang mempertanyakan rasa nasionalisme kita. Saya yakin sebagaimana saya, dihati anda tertanam rasa cinta yang mendalam terhadap tanah air kita. Saya hanya sedang prihatin dengan sikap mental orang-orang kita.
Inilah wajah bangsa kita
yang mengandalkan pembangunannya pada utang luar negeri
yang menjual aset bangsa untuk mendapat kucuran dana
yang menempati peringkat bergengsi untuk negara paling korup
yang mengawetkan makanannya menggunakan formalin
yang menggoreng makanannya memakai pelastik
yang menjarah fasilitas umum seperti rel kereta dan kabel listrik
yang mengharap devisa dari tkw tapi tidak berdaya melindungi mereka
yang anggota dewannya tonjok-tonjokan diruang sidang, sementara yang lain tertidur lelap
yang memerlukan uang pelicin untuk segala urusan
yang para calegnya menjadi stress bahkan gantung diri
yang sekian persen remajanya tak lagi punya kehormatan diri
yang membuang sampahnya dikali
yang...........

Banggakah anda?



Sponsored by organic product
Special thanks to Ima (adeirmasury)

Hungry? Made Entirely Out of Food!

Link

Oooh begini toh...........
Hehehe cuma ingin tahu apa yang terjadi bila saya mengklik tulisan share dibawah postingan orang lain.
Tapi linknya layak dilihat lho, terutama bagi anda yang ingin cuci mata dengan sesuatu yang bakal membuat cacing di perut anda ajojing.........
Selamat menikmati

Wednesday, June 17, 2009

Pengalaman dengan Si Biru, Si Kuning dan Si Oranye di Jalan Raya Jakarta

Sebagai orang kampung yang nyangkut di belantara Jakarta, saya sering merasa salut dengan orang-orang Jakarta. Betapa mereka tabah menjalani rutinitas macet jalan raya setiap hari. Betapa gigih usaha mereka untuk menjadi yang terdepan dijalan raya sehingga dijalan-jalan yang padat adalah pemandangan yang biasa bila motor-motor naik ke trotoar mengambil jatah pejalan kaki. Dan bila anda mengartikan lampu kuning adalah siap-siap untuk berhenti, maka anda adalah salah besar. Lampu kuning adalah isyarat bagi pengendara untuk tancap gas lebih dalam lagi.
Saya punya pengalaman unik dengan beberapa angkutan umum di Jakarta. Pertama adalah pengalaman saya dengan si biru, kowanbisata 511 jurusan Pulogadung Depok. Sepertinya sih angkutan dengan nomor ini sekarang sudal almarhum alias tidak beroperasi lagi. Dulu (mungkin sekitar tahun 1996) angkutan tersebut menjadi rebutan. Setiap kali datang dari kampung, dengan tujuan rumah saudara di daerah Cijantung, saya lebih memilih menggunakan si biru tersebut karena lebih cepat (lewat jalan tol) dibandingkan dengan naik si hijau (mayasari 98 jurusan Puogadung Kampung Rambutan) yang tidak lewat tol.
Suatu ketika, saat baru tiba dari kampung, segera saya naik si biru, sengaja naik yang berdiri agar tidak usah menunggu lama. Rupanya yang berfikir seprti itu bukan hanya saya sendiri. Si biru benar-benar penuh sesak. Bagi para pengguna bis kota, pastilah akrab dengan isntruksi kondektur "hadap kiri kanan, merapat....merapat.........digeser lagi........digeser lagi. Uniknya supir angkutan di Jakarta, mereka menyediakan waktu yang amat sedikit untuk penumpang yang akan turun, seringkali penumpang baru sampai pintu, supir sudah kembali menginjak gas sehingga penumpang harus meloncat turun dari bis yang sudah berjalan maju. Makanya kalau ada penumpang turun kondektur akan memberi instruksi "kaki kiri............kaki kiri........." karena kalau yang turun lebih dulu adalah kaki kanan bisa dipastikan sipenumpang tersebut akan jatuh. Saat bis yang saya tumpangi mendekati Pasar Rebo, dimana saya seharusnya turun, belum ada satupun penumpang yang turun. Dalam posisi tepat ditengah-tengah bis, saya sama sekali tidak dapat bergerak mendekati pintu, jangankan mendekati pintu, bergeser selangkah saja sudah tidak mungkin. Sepertinya tidak mungkin bagi saya untuk turun di Pasar Rebo tanpa diomeli supir, karena kalau saya nekat artinya sekian banyak orang harus turun dulu untuk memberi saya jalan. Malas menghadapi resiko tersebut, akhirnya saya putuskan untuk tetap berada di dalam bis tersebut, dan turun saat kondisinya memungkinkan. Dan tahukah anda, ternyata seluruh penumpang baru turun di terminal Depok. Nasiiiiib..................nasiiiiib..............
Pengalaman kedua saya adalah dengan si Kuning, koantas Bima 510 jurusan Kampung Rambutan Lebak bulus. Tahun 1995, jalan tol lingkar luar (TB Simatupang) sedang dibangun. Di jalan yang baru di cor tersebut ada perbedaan ketinggian sekitar 20 cm antara jalan dengan bahu jalan yang waktu itu masih berupa tanah. Saya duduk di kursi paling kiri, tentu saja disamping saya adalah jendela. Dari mulai keberangkatannya, supir menjalankan bisnya dengan sangat ugal-ugalan. Beberapa saat kemudian saya terheran-heran karena pembatas jalan sebelah kiri sementara yang terbuat dari seng bergelombang yang dicat kuning hitam tiba-tiba beterbangan. Rupanya karena kecepatan yang sangat tinggi, supir sudah tidak mampu lagi mengendalikan jalannya bis. Akhirnya kedua roda bis turun ke bahu jalan. Karena ada perbedaan ketinggian antara jalan dan bahu jalan tersebut, maka tiba-tiba saja bis tersebut melaju dengan hanya bertumpu pada kedua roda sebelah kiri. Bis bertambah miring ke kiri.....bertambah miring........bertambah miring sampai akhirnya terdiam dalam posisi keempat roda disamping. Untungnya proses jatuhnya badan bis tersebut bertahap sehingga tidak terjadi benturan yang keras. Tidak ada penumpang yang cedera. Salut pertama saya untu kondektur dan sopir bis yang begitu bis berhenti, saat itu juga mereka lenyap entah kemana. Salut kedua saya untuk para penumpang. Kami waktu itu keluar dengan jalan menjebol kaca depan bis. Saya sendiri begitu keluar, langsung mencari tempat yang agak nyaman untuk sekedar menenangkan diri (dan meredakan lutut yang gemeteran). Dan apa yang dilakukan penumpang lain? Begitu keluar dari kaca depan itu, langsung menyetop si Kuning lain yang lewat dan berebut naik. Aaaaaaah, sungguh hebat orang Jakarta.
Pengalaman ketiga saya dengan si Oranye, metromini 24 jurusan Senen Tanjung Priok. Pada tahun 1998 saya sempat Kuliah di sebuah kampus di daerah Sunter. Tempat kos saya di Galur, karenanya satu-satunya kendaraan yang yang memungkinkan adalah si Oranye tersebut. Suatu ketika sepulang kuliah saya naik si Oranye yang sudah tidak mempunyai pintu belakang. Meskipun tidak ada pintunya, tetapi engselnya masih menempel di tempatnya. Karena saya duduk di bangku belakang, maka saat turun tentulah saya lewat pintu belakang pula. Tidak dinyana tidak disangka, saat saya turun, ternyata rok saya tersangkut di engsel pintu tersebut, karena gerakan saya terhambat saya terjatuh diaspal dengan rok masih menyangkut. Dan metromini tersebut langsung melaju lagi, menyeret saya dibagian kiri belakang. Baik supir maupun kondektur tidak ada yang tahu kalau penumpangnya masih 'nempel' di si Oranye tersebut. Saya demikian shok sehingga untuk menjeritpun tak bisa. Sementara si Oranye tersebut dalam posisi mengambil ancang-ancang untuk menyalip sebuah sedan putih di depan. Saya benar-benar ketakutan. Untunglah beberapa orang di pinggir jalan bertieriak-teriak terhadap si kondektur. Metromini tersebut berhenti tepat sebelum menyali sedan putih tersebut. Untunglah...............kalau tidak .................
Itulah pengalaman saya di jalan raya Jakarta. Silahkan bernyanyi " sapa suruh datang jakarta, sapa suruh datang jakarta............."


Sponsored by diet food
Gambar diambil di sini

Tuesday, June 16, 2009

Di Bening Matamu (9)

Cerita ini disponsori oleh health food

Umur fresh ternyata hanya satu tahun saja. Saat mereka sudah mulai dikenal dan mulai selektif memilih event, Fresh akhirnya bubar. Diawali dengan Armen yang mendapat beasiswa ke Jepang. Dia meninggalkan teman-temannya dengan pesan: Fresh harus tetap jalan, aku mendukung kalian dari kejauhan. Lalu Ririn menikah dan dibawa suaminya ke Kalimantan (jujurnya Danu merasa menyesal juga Ririn sampai dinikahi orang lain, tapi tidak sampai patah hati). Kehilangan dua orang personelnya membuat anggota Fresh yang lain kehilangan semangat. Akhirnya seolah ada kesepakatan, masing-masing mencari pekerjaan ditempat lain. Tamatlah sudah riwayat sebuah event organizer bernama Fresh.

Bulan-bulan pertama mereka masih saling berkirim kabar. Makin lama, intensitas komunikasi diantara mereka makin berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Terakhir bertukar kabar sama Ayu, dia sedang membantu tantenya merintis sebuah usaha biro wisata. Bukan tak pernah Danu berusaha menelepon Ayu, seringkali dia sudah memencet nomor hp Ayu, lalu membatalkannya disaat-saat terakhir. Apa yang akan dia katakana? Ayu sendiri nampaknya tidak pernah berusaha menghubunginya. Apa dia menganggap serius kata-kata Danu soal setengah perempuan?

Dan sekarang, saat tiba-tiba timbul tuntutan dari orang tuanya untuk segera menikah, nama Ayulah yang pertama diingatnya. Sanggupkah si tomboy itu mengurus seorang bocah perempuan kelas 1 SD? Maukah dia? Kalau ternyata dia tidak mau? Bagaimana cara mencari tahu dia mau atau tidak mau? Apa dia masih sendiri? Jangan-jangan sudah terikat sama orang lain………….

Saat Danu masih menimbang-nimbang harus bagaimana, Apa mengabarkan bahwa dia dan Mimih akan ke Jakarta bersama Fitri, seorang saudara jauhnya. Menurut Apa, Fitri mendapat panggilan wawancara di sebuah perusahaan di Jakarta, karena kasihan, apa dan Mimih menawarkan untuk menemaninya sekaligus menawarkan untuk tinggal di rumah Danu selama proses wawancara. Jangan dikira aku tak mencium aroma konspirasi, pikir Danu. Pastilah orang tuanya punya maksud lain.

***

“Syifa, mau punya mama baru ngga?” Danu ingin tahu reaksi Syifa.

“Hmm………orangnya baik ngga?” Syifa balik bertanya.

“Mmmmh orangnya baik, pinter, bisa manjat pohon, rambutnya pendek, dan kalau bercerita pasti seru” kata Danu sambil tersenyum membayangkan Ayu.

“Siapa namanya?” Tanya Syifa.

“Eh……ada deh,” Danu ragu-ragu mengatakannya,”mau ngga?” kejar Danu.

Syifa mengangguk sambil tersenyum. Danu malah bingung. Lalu apa yang harus dilakukannya? Sepertinya dia setengah berharap Syifa mengatakan tidak mau. Jadi dia punya alasan terhadap orang tuanya agar tidak buru-buru menyuruhnya untuk menikah.

“Ayo dihabiskan susunya, kita berangkat sekarang. Oh ya nanti sore Nini sama Aki mau datang. Kita jemput ke Gambir,” kata Danu.

“Asyiiik Nini mau datang,” Syifa tersenyum gembira.

Asyk sih asyik, tapi……………..

Sorenya Danu dan Syifa berangkat ke Stasiun Gambir untuk menjemput Apa dan Mimih. Ada rasa enggan, tapi ada juga rasa ingin tahu di hati Danu. Setelah memarkir mobilnya, Danu mengajak Syifa ke lantai tiga menunggu kedatangan kereta. Syifalah yang lebih dulu melihat Aki dan Nininya. Melepaskan pegangan tangan Danu Syifa menghambur ke arah Nini. Danu melihat Syifa memeluk Nini, lalu mencium tangan Aki, lalu melihat dengan heran pada seorang perempuan yang berdiri di samping Nini yang menenteng sebuah tas yang cukup besar. Lumayan, nilai Danu. Dari sisi fisik, dia masuk kategori Danu………………Hush, Danu menggelengkan kepala. Mengibaskan pikiran tiba-tiba melintas tersebut. Perlahan Danu menghampiri mereka. Setelah mencium tangan Mimih dan Apa, sambil tersenyum dia menyalami Fitri. Mereka memang tidak perlu diperkenalkan, karena sudah kenal sejak kecil, meskipun jarang sekali bertemu.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Danu lebih banyak diam, bingung harus bicara apa. Syifa juga diam. Dia memang sudah tidak sependiam dulu, tapi dihadapan orang yang dirasanya asing, dia akan kembali menjadi pendiam. Apa dan Mimih memancing-mancing Syifa dengan berbagai pertanyaan yang selalu dijawab Syifa dengan singkat. Untunglah perjalanannya lancar. Dalam waktu satu jam mereka sudah tiba di rumah.

Apa dan Mimih menempati kamar tamu, kamar yang biasa mereka tempati saat datang ke Jakarta dulu, sewaktu rumah ini masih ditempati Dani dan keluarganya. Fitri menempati kamar Syifa, dan Syifa akan tidur bersama Danu.

Bik Minah menyediakan minum dan makanan ringan di ruang tengah. Baru saja Danu duduk untuk mengobrol dengan orang tuanya dan tentu saja Fitri, Syifa menarik tangannya mengajaknya ke kamar.

Sampai di kamar Syifa berdiri menghadap Danu, wajahnya menengadah dan melontarkan pertanyaan yang tidak disangka Danu,”Papa, rambutnya kok ngga pendek?”

Monday, June 15, 2009

Biarlah Menjadi Kenangan

Namanya Karbala Madania. Panggilannya Bela. Dia adalah muridku yang lulus dua tahun yang lalu. Seorang siswa dengan kecerdasan verbal yang luar biasa. Meraih banyak piala untuk berbagai lomba pidato. Bila disekolah ada kegiatan pentas seni ataupun openhouse, pasti dia yang ditunjuk sebagai pembawa acara. Saat ini dia duduk di kelas dua sebuah SMPIT yang terkenal di Depok dan menjadi ketua OSIS untuk siswa perempuan disana.

Suatu hari, saat Bela masih menjadi murid saya, seseorang menelepon ibunya mengaku dari RSCM. Bela mengalami kecelakaan di jalan raya. Kepalanya mengalami benturan, tulang punggungnya retak, saat ini sudah mendapat transfusi darah. Kondisinya sedemikian parah sehingga harus dioperasi saat ini juga. Masalahnya, di rumah sakit tersebut tidak tidak tersedia alat yang diperlukan (orang tersebut menyebutkan nama alatnya tetapi mama Bela lupa), harus dibeli diluar, harganya 11 juta. Ditambah biaya ini dan itu orang itu minta ditransfer 17 juta. Dalam satu jam orang itu menelepon berulang-ulang membuat mama bela semakin panik. Dalam perjalanan menuju ATM terpikir oleh mama bela untuk menelepon kepala sekolah, mempertanyakan memang kelas Bela ada acara diluar, dan bagaimana kejadiannya sampai Bela mengalami kecelakaan. Kepala sekolah yang waktu itu sedang berada diluar menelepon hp saya, mempertanyakan memang Bela mengelami kecelakaan apa.
Mendapat pertanyaan yang tidak jelas ujung pangkalnya, membuat saya bingung (waktu itu saya tidak tahu asal mula kejadiannya). Mendapat pertanyaan "Bu, Metty, memang Bela mengalami kecelakaan apa?" dengan nada sedikit mempersalahkan membuat saya bengong untuk sesaat, lalu saya menghampiri Bela yang waktu itu sedang mengerjakan tugas matematika, "Bela, memang siapa yang kecelakaan? Saudaramu ada yang kecelakaan?"
Sama bingungnya dengan saya, Bela menjawab ,"Kecelakaan? Kecelakaan apa bu?"
Kepala sekolah yang rupanya mendengar percakapan kami, langsung memahami apa yang sebenarnya telah terjadi. Buru-buru dia memutuskan telepon untuk menghubungi mama Bela. mama Bela yang waktu itu sudah berada di depan ATM menangis sejadi-jadinya.
Tidak berapa lama dari menerima telepon yang tidak jelas tersebut, ayah Bela mendatangi kelas saya dan tanpa basa-basi langsung menghambur ke arah Bela, memeluk Bela dengan erat sekali sambil menangis. Diperlakukan seperti itu oleh ayahnya, tanpa mengerti apa yang telah terjadi, Bela ikut menangis disaksikan seluruh kelas yang terheran-heran.
Dengan kecerdasan verbal yang dimilikinya, Bela juga memiliki rasa ingin tahu yang besar. Dalam setiap pembelajaran, selalu saja melontarkan banyak pertanyaan. Seringkali pertanyaan yang dilontarkannya lucu dan membuat sekelas tertawa. Awalnya saya membiarkan hal tersebut. Menjawab pertanyaannya kalau saya menganggapnya berkaitan langsung dengan materi pelajaran, dan menunda jawabannya bila saya anggap pertanyaannya tidak berkaitan langsung dengan materi yang sedang saya ajarkan.
Lama kelamaan saya merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Dan suatu ketika saya menganggapnya keterlaluan. Saya marah semarah-marahnya (saya memang guru yang pemarah, seandainya saja ada poling siapa guru paling pemarah disekolah pastilah saya pemenangnya, meskipun juga setiap kali ada poling guru favorit, nama saya pasti ikut disebut. Menjadi seorang pemarah tidak selalu identik dengan tidak disukai ternyata). Saya menganggap pertanyaan-pertanyaannya hanya iseng, untuk membuat teman-temannya tertawa.
Mendapat tuduhan yang dilontarkan dengan nada marah seperti itu rupanya amat melukai hatinya. Dia menangis. Sambil terisak-isak dia mengatakan kalau dia bertanya karena benar-benar ingin tahu. Seketika itu juga saya minta maaf atas tuduhan yang saya lontarkan padanya. Masih terngiang ditelinga saya jawaban yang dia berikan.

"Bu Metty, Bela memaafkan bu Metty. Tapi Bela tidak akan melupakan tuduhan ibu sama Bela. Bu Metty tetap menjadi guru yang paling Bela sukai di sekolah ini. Tapi apa yang bu Metty katakan hari ini tidak akan Bela lupakan. Akan Bela kenang sampai kelak Bela Dewasa"

Dan saya pun menangis.


Sunday, June 14, 2009

Di Bening Matamu (8)

Bab 2

Calon Mama Buat Syifa

Cerita tentang Syifa menangis sampai histeris saat Danu pergi ke Bandung ternyata sampai juga ke telinga orang tua Danu. Rupanya Apa dan Mimih memantau keadaan Danu dan Syifa lewat bik Minah. Saat Danu berada di kantor, kadang-kadang Apa (dengan bantuan tetangga tentu saja) menelepon ke rumah sekedar menanyakan kabar. Dan suatu hari, saat baru sampai di kantor, Danu mendapat telepon panjang lebar dari Apa. Intinya cuma satu: segera cari isteri, kalau tidak bisa cari sendiri, nanti dicarikan. Gawat!

Mau tak mau Danu teringat seraut wajah yang pernah singgah, bahkan masih bertahta dihatinya. Ayu. Seorang gadis tomboy, sama sekali jauh dari bayangannya tentang gadis yang akan disukainya. Danu pernah membayangkan dia akan jatuh cinta pada seorang gadis yang anggun, feminin, berkulit putih, berambut lurus sebahu atau lebih panjang dan sedikit pemalu. Saat Danu menyatakan perasaannya, dia akan menundukkan kepalanya sambil tersipu-sipu. Tapi ternyata apa yang terjadi tidaklah sesuai dengan angan-angannya.

Saat selesai kuliah, Armen, temannya mengajaknya bergabung membentuk sebuah event organizer. Delapan orang seluruhnya, terdiri dari lima orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Semuanya lulusan kampus yang sama, hanya berasal dari fakultas yang berbeda-beda. Danu sendiri awalnya hanya mengenal Armen, karena mereka berasal dari satu fakultas, satu jurusan malah. Setelah bergabung, barulah dia mengenal semuanya. Armen, Rama, Jaska, Farhan, Ayu, Dina, Ririn dan tentu saja dia sendiri.

Awalnya Danu mengira bahwa dia menyukai Ririn. Berkulit putih, rambut lurus sebahu, tutur katanya halus dan kalau tersenyum pipinya memperlihatkan lesung pipit yang indah sekali, membuat orang enggan mengalihkan pandangan dari wajahnya. Pertama diperkenalkan hati Danu berdebar-debar sambil bertanya-tanya, sudah ada yang punya belum ya? Saat Ririn menyebutkan namanya, suaranya terasa sangat merdu di telinga Danu. Lain dengan Ayu. Begitu diperkenalkan rasanya biasa-biasa saja, manis sih, tapi jauh sekali dibanding Ririn. Kulit cokelat tua (engga tega juga mau bilang hitam) rambut dipotong pendek, memakai celana jeans belel dan kaus oblong, membawa tas ransel, jauh sekali dari kata feminin, meskipun wajahnya enak juga untuk dipandang.

Event organizer mereka dinamakan fresh. Event organizer serabutan, begitulah gambarannya. Mereka tidak mengkhususkan diri untuk jenis event tertentu, tetapi mengambil segala kesempatan yang ada dengan modal benar-benar nekat, karena seringkali mereka menerima kontrak untuk kegiatan yang mereka sama sekali tidak punya gambaran harus bagaimana. Tapi jabatan yang mereka berikan bagi diri mereka di Fresh keren-keren. Armen sebagai komisaris, Rama dan Jaska sebagai direktur 1 dan direktur 2. Danu sendiri sebagai manajer personalia yang tugas sebenarnya adalah merekrut tenaga lepas pada sebuah event, biasanya untuk pekerjaan-pekerjaan kasar seperti memasang dekor atau menjaga kebersihan area saat event berlangsung. Bila nilai kontrak yang mereka terima terlalu kecil untuk menyewa tenaga dari luar, maka Danu akan memasukan komisaris dan para direksi sebagai petugas dekor dan kebersihan merangkap operator sound system. Farhan sebagai manajer kreatif. Pekerjannya yang paling ‘aman’. Dia bertugas merancang acara dan kelengkapannya dari tahap persiapan sampai selesai, dan memastikan seluruh acara berlangsung dengan lancar, bila ada hal yang tidak beres dari sisi acara, maka Farhanlah yang akan dipersalahkan, karenanya dia tidak pernah dilibatkan sebagai petugas kebersihan. Ririn bertugas sebagai sekretaris yang tugasnya mencatat seluruh administrasi Fresh. Dina sebagai manajer keuangan, yang tugas utamanya adalah mencari pinjaman modal untuk event-event yang mereka buat sendiri bukan berdasarkan permintaan klien. Sedangkan Ayu bertugas sebagai Marketing Manager, tugasnya mencari klien dan menegosiasikan nilai kontrak. Dengan jabatan yang keren seperti itu, pada awalnya event yang mereka tangani tidaklah memberikan penghasilan yang besar, seringkali selesai menangani sebuah event yang persiapannya saja memerlukan waktu lebih dari sebulan, hanya tersisa seratus dua ratus ribu rupiah untuk masing-masing anggota. Untungnya dalam sebulan mereka bisa menangani beberapa event.

Anggota perempuan tidak pernah dilibatkan sebagai tim kebersihan meskipun untuk event outbond, keterampilan Ayu mengalahkan beberapa anggota laki-laki. Ayu dapat memanjat sama baiknya dengan Danu, bahkan dalam hal tali temali, Ayu jauh lebih jago dari Danu. Untuk event outbond, seluruh anggota Fresh cenderung memperlakukan Ayu sebagai orang yang ‘netral’ laki-laki bukan, perempuan juga bukan. Ayu sendiri nampaknya tidak keberatan.

Hal yang paling menggairahkan berada dalam Fresh adalah kekompakkan mereka. Segala sesuatunya dilakukan dengan kesepakatan seluruh anggota. Rapat-rapat yang mereka lakukan meskipun serius kadang disertai dengan humor dan saling ledek. Dalam rapat-rapat itulah Danu melihat betapa tajamnya analisis Ayu. Dia dapat menganalisis apakah sebuah event menguntungkan atau tidak, apakah seorang klien dapat dipercaya atau tidak dan apakah sebuah kontrak sebaiknya mereka terima atau mereka tolak. Ide-idenya cerdas dan seringkali tidak terpikirkan oleh orang lain. Bila rapat dilakukan tanpa kehadiran Ayu karena dia ada keperluan, maka jalannya rapat terasa hambar. Kenyataannya, meskipun rapat tersebut menghasilkan suatu keputusan biasanya mereka akan kembali minta pendapat Ayu. Bahkan sang komisaris cenderung menerima seluruh pendapat Ayu. Dan entah sejak kapan, Danu mulai menanti-nantikan pertemuannya dengan Ayu. Tapi Danu tak pernah punya keberanian untuk menyatakan perasaannya terhadap Ayu. Malah dia jadi sering meledek Ayu dengan Armen.

“Ayu dapat salam dari Armen”, begitu biasanya Danu menggoda

“Salam balik”, jawab Ayu selalu.

Suatu ketika sebuah event yang mereka tangani memberikan hasil yang amat besar. Armen sang komisaris mengusulkan agar mereka merayakannya dengan melakukan bungee jumping. Anggota Fresh yang perempuan tidak setuju kecuali Ayu.

“Emang lu ngga takut Yu?” iseng Danu bertanya.

“Engga, tandem yuk?” jawab Ayu cuek.

Biasanya mulut Danu lincah menanggapi gurauan yang seperti ini. Entah mengapa menghadapi Ayu mulutnya jadi macet. Kosakatanya hilang entah kemana. Sepertinya teman-temannya akhirnya bisa meraba perasaan Danu. Saat teman-temannya meledek Ayu dengan Danu, bukannya tersipu-sipu Ayu malah nantangin.

“Danu, Lu suka sama gue?”

Sepertinya malah Danu yang tersipu-sipu. Untuk menutupi malunya Danu malah menjawab:

“Eh sory ya, gua mau sama perempuan sejati, bukan yang setengah perempuan kayak elu”

Mengapa dia jadi bicara seperti itu, sesalnya dalam hati.

___________

Sebuah Otokritik

Membaca kembali dibening matamu dari episode 1 sampai episode 7 membuat saya menyadari sesuatu. Gaya saya bercerita seperti gaya saya mengajar.

“Begini lho nak garis besarnya, ini tujuannya, kalau kalian mau tahu detilnya silahkan cari di ensiklopedi atau di internet” (beruntung para pembaca ngga saya suruh bikin laporan hasil pencariannya ^___^)

Maksud saya adalah, saya cenderung fokus pada alur garis besar cerita. Saya “lupa” untuk mengajak pembaca masuk kepada gambaran detil kejadian.

Contoh pada dibening mataku 5, saya menceritakan bagaimana Danu menikmati suasana outbond hanya dalam satu paragraf. Bandingkan dengan JK Rowling yang menggambarkan pertandingan Quidditch dalam sepuluh halaman(wuiiiiih bandingannya JK Rowling).

Menyadari kelemahan adalah satu hal, memperbaikinya adalah hal yang lain lagi. Kadang saya bingung, mana detil yang diperlukan sebagai bumbu, mana yang membuat cerita menjadi bertele-tele.

Seperti biasa, saya terbuka untuk segala kritik dan saran. Terima kasih.

Saturday, June 13, 2009

Apa yang Kau Cari Rosadi?

“Jangan-jangan ini kisah tentang aku” Rosadi berkata. Sebuah majalah tergeletak di depan mereka, terbuka pada halaman cerpen. Nama pengarangnya tertulis Ratri Rahayu.

“Kau tahu, laki-laki yang berhati lurus itu tidak punya daya tarik terhadap wanita” Ratri menghindar.

“Oh, aku tahu, aku selalu berhasil menaklukan wanita” balas Rosadi

Tentu, pikir Ratri, kau sudah sering membuktikannya.

“Aku tidak pernah berhubungan dengan wanita untuk mendapatkan uangnya”

“Itu aku tahu. Kau bukan orang seperti itu” sahut Ratri.

***

Rosadi bersiul-siul. Semangatnya melambung tinggi. Pujian-pujiannya terhadap Khansa sepertinya sudah membuahkan hasil. Khansa mulai membalas sms-sms mesranya. Saatnya melepas Dewi, pikirnya

***

Ratri termangu. Rosadi punya siklus tiga bulanan. Enam bulan yang lalu, Rosadi menyanjung Yoan, lalu mereka jalan bersama. Tiga bulan kemudian Rosadi menyanjung Dewi, dan Yoan entah kemana. Sekarang Rosadi menyanjung Khansa. Bukan urusanku pikir Ratri.

***

“Ratri lihat, dia mengirimku sms lagi”, Khansa berseri-seri memperlihatkan hpnya. Pada layarnya tertulis: dimana rinduku akan bertaut, dimana sayangku akan menetap, duhai kasih, izinkan cintaku berlabuh dihatimu. “Dia benar-benar romantis” kata Khansa lagi.

Tiga bulan, pikir Ratri.

___________________

Saya mendapatkan tips menulis Flash Fiction di

http://ferryzanzad.multiply.com/journal/item/549/Tip_penulisan_flash_fiction_seberapa_pendek_anda_dapat_bercerita

ternyata membuatnya tak semudah yang saya bayangkan.

Friday, June 12, 2009

kelu

melintas kabut pagi dihujung daun
mengekalkan embun
memberkas dingin dihembusan angin
menunduk pucuk pinus
tak kuasa tegakkan tangkai
menebar aroma sendu
rerumputan terpaku
sepi, asing
bahkan aliran mata air enggan mengeluarkan bunyi bemericik
sedang badai belum lagi tiba

*********
gambar diambil di sini


Thursday, June 11, 2009

Di Bening Matamu (7)

Masalah rupanya tak pernah datang sendirian. Atasannya baru saja memberi tahu kalau hari Kamis dia harus ke Bandung. Sehari saja, tapi mungkin sampai di rumah agak malam. Mengapa harus pada saat seperti ini, keluh Danu. Dengan sedikit rasa bersalah, timbul perasaan di hati Danu bahwa Syifa adalah beban baginya. Beban yang tidak bisa ditolak. Kemana dia harus melepaskan beban ini, meskipun untuk sementara? Mungkin dia bisa menitipkan Syifa di rumahnya Tante Mira, adik dari bundanya Syifa.

Saat makan malam Danu mencoba membicarakan hal ini dengan Syifa.

“Syifa, hari Kamis Papa harus ke Bandung, bagaimana kalau kamu menginap di rumah Tante Mira?”

“Ke Bandung ya Pa?

“Iya. Ngga nginep sih, tapi pasti sampai rumah malam”.

“Papa bawa mobil?”

“Iya. Mau ngga? Bawa baju seragam untuk hari Jumat sekalian, jadi kamu berangkat sekolah dari sana”.

“Ke Bandung itu lewat jalan Tol ya Pa?”

Danu tersentak. Dari tadi rupanya Syifa tidak memperhatikan usulnya untuk menginap di rumah Tante Mira. Dia lebih fokus pada fakta bahwa Danu akan ke Bandung, mengendarai mobil sendiri dan melewati jalan tol. Rupanya diam-diam Syifa masih menyimpan trauma akan kecelakaan yang menimpa orang tuanya. Kecelakaan itu terjadi saat mereka sekeluarga akan pergi ke Bandung, dan terjadi di jalan Tol.

“Memang kenapa kalau Papa ke Bandung lewat jalan tol?” Tanya Danu hati-hati.

Syifa memandang Danu dengan matanya yang bening. Mulutnya terbuka untuk mengatakan sesuatu, tapi lalu tertutup lagi. Lalu dia menunduk menatap piringnya. Danu menunggu. Lama tak ada suara. Tepat saat Danu akan berbicara terdengar suara lirih dari mulut mungil Syifa.

“Aku tak mau Papa mati”

Ya Tuhan. Sampai sejauh itu ketakutannya. Danu menimbang-nimbang apa yang harus dikatakannya. Rasanya tak mungkin bilang kalau kematian adalah takdir yang tidak dapat dihindari pada seorang bocah yang baru saja kehilangan seluruh keluarganya. Dan mengapa serasa ada air yang ingin turun dari matanya? Sejak kapan dia jadi cengeng begini?

“Syifa, Papa akan hati-hati. Papa akan sangat hati-hati, karena Papa tahu dirumah ada anak yang menantikan Papa…………..”

Syifa menunduk.

“Syifa………….”.

Syifa masih menunduk. Dengan lembut, Danu memegang dagu syifa untuk menengadahkan mukanya. Ternyata air mata mengalir deras dipipinya.

“Jangan menangis. Sayang, jangan menangis…..”. Jemari Danu mengusap air mata Syifa. Lalu dia mengecup kepala Syifa.

Tanpa menghabiskan makan, Danu dan Syifa berpindah ke ruang tengah. Biasanya jam segini Danu menonton TV dan Syifa bermain-main di dekatnya. Tapi malam ini, rasanya hal itu tak bisa dilakukan. Begitu banyak yang ingin dikatakan Danu. Tapi juga dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

“Menurut Syifa, naik apa sebaiknya Papa untuk pergi ke Bandung?”

Syifa menggelengkan kepalanya. Dia tidak punya jawaban. Akhirnya Danu mengalihkan pembicaraan. Dia membujuk Syifa agar mau dititipkan di rumah Tante Mira. Tapi Syifa berkeras tidak mau. Dia lebih memilih menanti Danu di rumah Bu Bambang, tetangga sebelah. Malam ini Danu menemani Syifa di kamarnya sampai Syifa tertidur. Biasanya, itu adalah tugasnya bik Minah.

Keesokan harinya Danu terbangun dengan perasaan lesu. Ternyata Syifa juga menunjukan wajah murung. Tidak menangis. Tidak protes. Tapi juga tidak seperti biasanya. Mereka sarapan tanpa banyak bicara. Seperti biasa Danu mengantar Syifa ke sekolah. Untunglah dia tidak harus berangkat subuh-subuh ke Bandung, karena memang dia hanya perlu untuk mengontrol beberapa hal dan bukannya menghadiri acara yang sifatnya formal.

Setelah mengantarkan Syifa, Danu mengarahkan mobilnya menuju tol Cipularang. Teringat kembali percakapannya dengan Syifa semalam. Ah kasihan sekali Syifa. Danu merasa sedikit murung. Tapi semakin mendekati Bandung perasaan murungnya semakin hilang. Sedikit demi sedikit muncul semangat di dadanya. Bandung memang menyimpan banyak kenangan indah buatnya. Bahkan senyum merekah di bibirnya saat dia melewati tempat-tempat tertentu. Kadang-kadang mulutnya menyenandungkan lagu, mengikuti alunan tape yang sengaja dinyalakannya.

Urusan di Kantor Cabang Bandung ternyata lebih lancar dari yang di duganya. Jam tiga sore dia sudah menyelesaikan segala urusannya. Danu memutuskan untuk mampir ke pusat belanja untuk membeli oleh-oleh buat Syifa. Ternyata itu keputusan yang salah. Saat berangkat sih tak ada hambatan tapi pulangnya, ternyata dia terhalang macet yang seolah-olah tak berkesudahan. Ah, sungguh mengesalkan. Coba tadi dia langsung pulang. Jam tujuh dia baru sampai di jalan tol, untungnya arus kendaraan lancar meskipun padat.

Jam sepuluh malam dia baru sampai dijalan yang menuju rumahnya. Sampai didepan rumahnya dia tertegun. Beberapa orang tetangganya nampak berdiri diuluar bercakap-cakap. Bahkan terlihat pak RT. Pintu ruang tamunya terbuka dan nampak beberapa orang di dalam rumahnya. Apa yang terjadi dengan Syifa?

Danu bergegas masuk ke halaman rumahnya. Menyalami orang yang paling dekat, tanpa basa-basi Danu bertanya,”Ada apa ya Pak?”

“Oh, itu, neng Syifa…….”

“Syifa kenapa?”

“Tadi neng Syifa nangis menjerit-jerit. Katanya sih lihat berita kecelakaan. Nangisnye kenceng sekali sampai terdengar ke ujung jalan sana”

Lupa mengucapkan terima kasih, Danu bergegas masuk rumah, tanpa mempedulikan orang-orang ang dilewatinya. Diruang tamu dilihatnya Syifa berbaring di sofa. Sepertinya sudah tidur, tapi masih sedikit mengisak. Air mata nampak di sudut-sudut matanya. Bu Bambang duduk di kursi sampingnya sambil mengusap-usap rambut Syifa.

“Eh, Pak Danu sudah pulang” bu Bambang tersenyum melihat Danu.

“Apa yang terjadi dengan Syifa bu?”

“Tadi Syifa sedang di rumah saya. Dia sedang bermain-main dengan bonekanya. Saya dan suami saya menonton TV. Saat itu ada berita kecelakaan di tol cipularang, tiba-tiba saja Syifa berlari keluar. Saya kejar ternyata dia menangis di pojok teras sana. Dia menangis tanpa suara, tapi saat saya tanya ada apa, tiba-tiba
saja dia menjadi histeris. Sampai-sampai tetangga yang lain pada berdatangan. Maaf lho Pak, saya tidak tahu akan ada berita seperti itu. Pastinya Syifa teringat lagi kejadian kecelakaan yang menimpa kedua orang tua mereka”

“Oh, tidak apa-apa bu”, Danu tidak menjelaskan rasa ketakutan Syifa akan kehilangan Dirinya.

Setelah para tetangganya pulang, Danu menggendong Syifa untuk memindahkannya ke kamarnya, sampai di depan pintu kamar Syifa, Danu berubah pikiran. Dia membawa Syifa ke kamarnya, dan membaringkannya di tempat tidurnya. Biarlah malam ini dia tidur disini. Memandang syifa yang tertidur dengan sedikit air masih menggenang di sudut matanya, rasa sayangnya pada Syifa terasa amat kuat. Sesaat sebelum memejamkan matanya Danu berfikir mendapatkan Syifa sebagai anak adalah keberuntungannya yang luar biasa.

-------------------------------

Ini adalah akhir dari bab 1. Sampai jumpa di bab 2 yang rencananya akan saya beri judul “Calon Mama Buat Syifa”

Ada yang mau daftar?

Tuesday, June 9, 2009

Sunday, June 7, 2009

Di Bening Matamu (6)

Danu baru saja selesai makan bersama Syifa ketika bik Minah menghampirinya.

“Pak Danu, maaf, saya mau minta izin pulang kampung, keponakan saya mau menikah tanggal sembilan nanti”

Agak lambat Danu mencerna pernyataan ini.

“Pulang kampungnya kapan?”

“Kalau boleh hari Rabu lusa pak”

Kalau boleh. Danu tahu dia tak punya pilihan lain selain membolehkannya.

“Kalau untuk masak, bebenah, nyuci dan setrika, nanti Siti, pembantu sebelah, akan datang ke sini tiap hari untuk melakukannya. Saya sudah bilang sama dia. Nanti saya kasih dia kunci samping. Bapak kunci saja kamar bapak kalau berangkat kerja.”

Danu tidak tahu kalau ternyata solidaritas diantara pembantu sedemikian eratnya.

“Mengenai bayarannya Siti, kalau dulu bundanya Syifa suka menitipkannya lewat bu Bambang, majikannya Siti. Tapi terserah bapak, mau diberikan langsung sama Siti juga boleh.”

Oh, ternyata bukan sekedar solidaritas.

“Untuk sarapan, mungkin bapak dan Syifa terpaksa hanya sarapan Roti tiap pagi karena Siti tak mungkin masak pagi-pagi disini.”

“Iya bik, ngga masalah.”

Bik Minah tidak beranjak, rupanya dia belum selesai.

“Siti mungkin disini hanya sampai jam dua siang, setelah itu neng Syifa sendirian.”

Danu memandang Bik Minah lalu memandang Syifa. Keduanya juga memandang Danu. Apa yang harus dikatakannya?

“eh, ee bagaimana ya?” Danu bingung sendiri.

“Mungkin neng Syifa bisa main di rumah sebelah sampai bapak pulang,” saran bik Minah ragu-ragu.

Danu memandang Syifa.

“Aku ngga mau pak” jawab Syifa sambil menatap Danu.

“Kalau neng Syifa berani sendirian, nanti bibik minta Siti sekali-sekali menengok neng Syifa di sini,” kata bik Minah.

Sepertinya bukan solusi yang baik.

Keesokan harinya, sesampai dikantor Danu langsung menelepon orang tuanya di kampung. Mungkin mereka dapat diminta datang ke Jakarta menemani Syifa. Danu tahu, teleponnya tak akan diangkat pada sambungan pertama. Diangkat pada sambungan kedua itu sudah bagus. Kalau pada sambungan ke tiga tidak diangkat juga itu artinya tetangga sedang tidak ada di rumah. Prosedur standarnya adalah begini: telepon genggam yang diletakan di atas televisi berdering. Ayahnya yang pada jam segini biasanya sedang duduk menghadapi segelas kopi sambil melakukan sesuatu, entah memutar-mutar gelombang radio atau mengikat sandal jepit yang sudah putus, akan berteriak memanggil ibunya. Kemudian ibunya akan mengambil telepon genggam itu dan keluar mencari tetangga yang dianggap bisa menggunakan telepon genggam. Setelah si tetangga memencet tombol penerima dan berkata “halo”, kemudian mengkonfirmasi pada ibunya bahwa telepon itu berasal dari anaknya, ibunya akan membawa telepon genggam itu dan memberikannya kembali pada ayahnya.

Sebetulnya Dani dan Danu berulangkali mencoba menjelaskan bahwa menerima telepon di hp hanyalah masalah memencet sebuah tombol. Tapi semakin mereka mencoba menjelaskan, semakin ayahnya berkeras bahwa dia tidak akan bisa. Orang tua kepala batu, pikir Danu geli. Sudah dari kecil sebetulnya Danu menyadari sifat keras kepala ayahnya.

“Halo..”

“Halo!” suara di hp-nya menyadarkan Danu

“Eh, ya, halo mang Dadang ya?”

“Sumuhun, ieu cep Danu?” (Betul, ini nak Danu)

“Leres mang, punten ah ngarerepot.” (betul mang maaf merepotkan)

“Ah ngarerepot naon atuh ukur ge mangmencetkeun hape” (ah merepotkan apa Cuma sekedar memencet tombol hp)

Danu mendengar mang Dadang menyebutkan kalau telepon ini dari cep Danu. Beberapa saat kemudian samara-samar dia mendengar ibunya mengatakan pada ayahnya kalau telepon ini dari Danu.

“Kumaha? Aya beja naon?” (Bagaimana? Ada berita apa?)Tanya ayahnya to the point, tanpa basa-basi.

“Kumaha Apa sareng Mimih damang?”(Bagaimana kabar Apa dan Mimih?)

“Nya alhamdulillah sehat. Kumaha eta bejana neng Syifa? Teu aya nanaon pan?” (Bagaimana kabarnya neng Syifa? Tidak terjadi apa-apa kan?)

“Numawi eta Pa. Bik Minah kedah uih ka lemburna, aya wargina anu bade nikah saurna teh. Syifa teu aya anu ngarencangan di bumi, kumaha nya?” (justru itu Pa, bik Minah harus pulang ke kampungnya, katanya ada saudaranya yang mau menikah. Syifa tidak ada yang menemani di rumah, bagaimana ya?)

“Kumaha atuh? Anteurkeun wae kadieu atuh” (Bagaimana ya? Anterin saja ke sini)

“Atuh teu kabujeng Pa, pan Danu kedah damel. Apa sareng Mimih wae kadieu atuh,” (ngga sempat Pa, Danu kan mesti kerja. Apa dan Mimih saja kesini)

“Iraha?” (kapan)

“Keenjing, bik Minah uihna dinten Rebo” (Besok, Bik Minah pulangnya hari Rabu)

“Leuh, moal tiasa atuh keenjing mah, pan itu keur aya nu ngagali balong. Paling tiasa ge minggu payun” (Duh, ngga bisa kalau besok, sedang ada yang menggali kolam. Paling bisa juga minggu depan)

Danu mengeluh dalam hati. Sekarang harus bagaimana?

---------------------------------


Saturday, June 6, 2009

Puisiku

Puisiku

Adalah doa yang yang terlantun dari hati yang penuh harap pada pagi saat embun bertahan diujung daun pada siang dalam papar mentari meradang pada malam saat raga dipuncak letih

asa terlambung kepuncak angan dan terhempas kebumi tenggelam di lembah duka damai kembali jiwaku dalam doa

adalah kisah kembara yang terjatuh berulang tertatih melangkah

mencoba tegar menapaki setiap jengkal pijakan pada jalan berkelok berbatu tanpa jejak di persinggahan tanpa tangis di perpisahan

adalah pinta akan simpati penawar pilu sesakan kalbu jabat erat sahabat disetiap penggalan waktu

adalah pinta akan kerelaan tuk melupakan salah menghapus kepahitan agar terkekalkan manis kenangan

Puisiku adalah sapa dari kelembutan jiwa, agar tergetarkan jiwa yang mendamba


Sponsored by food for beauty

Thursday, June 4, 2009

Garuda di Dadaku

Beginilah enaknya kalau punya murid kreatif. Ayunda, muridku, sudah menerbitkan 3 buah bukunya di Mizan. Dan sebagai gurunya, saya beruntung mendapatkan undangan tayangan perdana (pada undangan tercantum tayangan perdana, tapi konon sebetulnya ini tayangan ketiga untuk kalangan terbatas) film garuda didadaku di Plaza FX3 Senayan. Pengalaman keduaku berada satu ruangan bersama artis-artis tenar, meskipun ternyata rasanya biasa-biasa saja (memang harus bagaimana?). Pada kesempatan itu hadir Kak Seto, Soraya Haq dan suaminya, Ratih Sang, Mira Lesmana dan rombongan termasuk Riri Reza, Ifa Isfansyah sang sutradara dan Emir (entah apa nama panjangnya) si pemeran utama.
Film ini sendiri berkisah tentang perjuangan seorang anak yang bercita-cita untuk menjadi seorang pemain bola. Cita-cita ini awalnya ditanamkan oleh (almarhum) ayahnya yang juga pemain bola namun akhirnya beralih profesi menjadi supir taksi akibat cedera. Langkahnya menuju cita-citanya terhalang oleh kakeknya yang berambisi menjadikannya orang sukses yang bagi kakeknya tak akan mungkin dicapai sebagai pemain bola. Berbagai cara dilakukan untuk berlatih menjadi pemain yang baik dengan bantuan Heri sahabatnya yang menggunakan kursi Roda. Namun usaha yang sedemikian keras dan persahabatan yang demikian erat ternyata harus terhalang saat sang kakek mendapat serangan jantung mengetahui sang cucu diam-diam tetap berlatih bola.
Sebuah tontonan yang menarik. Sangat berbeda jauh dengan pakem sinetron Indonesia yang isinya melulu tentang cinta yang menguras air mata. Ada nilai-nilai persahabatan, kekeluargaan dan kegigihan seorang anak dalam mencapai cita-citanya. Film ini juga berusaha menampilkan semangat nasionalisme, meskipun bagi saya kurang jelas mengapa Bayu menginginkan lambang garuda pada seragam sepakbolanya dan bukan bendera merah putih misalnya.
Sebuah film yang sangat layak tonton. Meskipun ada juga sedikit kejanggalan. Ada adegan dimana Yuni, ibu Bayu (diperankan oleh Maudy ) sedang menerima telepon, diantara yang diucapkannya adalah "Bagaimana kalau kita bertemu jam lima belas empat tujuh".................. Anda menangkap kejanggalannya? Pertama orang cenderung mengatakan jam tiga sore, dalam bahasa lisan apalagi bahasa percakapan telepon nyaris tidak pernah kita membuat janji jam lima belas atau jam dua puluh satu. Kedua janji untuk bertemu itu umumnya tidak pernah tepat sampai ke menitnya (memangnya jadwal kereta api). Paling mendekati, biasanya janji pertemuan itu pada kelipatan waktu lima belas menitan. Mungkin akan lebih alami jika dikatakan bagaimana kalau kita bertemu jam empat kurang seperempat.
Secara umum, saya menyarankan anda membawa keluarga anda menonton film ini yang Insya Allah akan beredar di bioskop mulai tangga 18 juni. Selamat menonton. Oh ya, baca juga postingan siswa saya
http://nisachaira.multiply.com/photos/album/61/Nonton_Pemutaran_Terbatas_Film_GARUDA_DI_DADAKU
(ada foto bu Metty sedang diwawancara .....ehm)

Tuesday, June 2, 2009

A Woman of Seasons

Puisi berikut sama sekali bukan karya saya. Lucu tapi bermakna. Berkisah tentang 'petualangan' di dunia maya. Sebetulnya pernah saya masukkan juga pada sebuah postingan, karena suatu kejadian saya persembahkan kembali untuk anda ( cieeeee..........)

A Woman Of Seasons

You met her in a chat room as Kate 26
Laughed and confided, you even shared pics.
This message is posted to tell Kate is away,
She has morphed into someone quite different today.

You will find her in chat rooms as wildgentlebreeze
Her hormones are raging, quite hard to please
She's cutting, sarcastic and sometimes quite lewd,
Not at all like the Kate 26 that you knew.

The seasons change less than Kate 26 moods
Sometimes she's a cartoon, at others a nude.
With each different picture she changes her name,
Don't take it personal, it is part of her game.

Sometimes she is funny, flirtatious and fat,
At others real lonely and missing her cat.
She is friendly or furious, on Mondays she's meek,
At least five different people by the end of the week.

On Tuesday she has kids on Wednesday there's none,
Cause this is the night Kate 26 has her fun.
She is hetro and mono, bi and is gay,
This isn't confusing, it just depends on the day.

On Fridays real sporty, off with the crowd,
On Saturdays dancing with music played loud.
She climbed mountains and sailed, loved and she lost,
Went riding on horseback, took drugs and smoked pot.

Lived in Perth and Kentucky, sometimes as a boat,
Lived in cold snowy places, others quite hot.
But the truth to be known; ask if you dare,
Kate 26 never moved from her chair.

And I guess that's the magic of internet chat,
Some people are honest, some wear different hats.
So remember behind clever names on the screen,
There are people there typing who are not what they seem.

And as for your new friend, young Kate 26,
She looks nothing like that sexy young chic.
Though her mind is still sharp, her fingers move quick,
She probably thinks you're a bit of a Hick.

She has four grown children, she's old, fat and is grey,
Re- living her youth in a 'virtual' way.
To find the real person, I'm sorry to say,
It's a pity but matey ____ You picked the WRONG DAY.


Copyright Ken Hodgkinson ©


This poem is taken from here