Pages

Friday, October 30, 2009

Mungkin

mungkin layar yang kubentang terlalu sempit
angin kencangpun tak mampu membuat perahuku laju
bergetar menderu tak juga bergerak
haruskah diam ditempat

mungkin sauh yang kulempar tak sampai ke dasar
tali pengikat telah habis terulur
tak jua sauhku merapat ke dasar
terayun perahuku dibuai gelombang

mungkin kemudi yang ku pegang telah karatan
kuputar, tak juga merubah haluan
berkeras perahuku pada arahnya
entah kemana

duhai perjalanan ini
dimulai dengan rangkaian doa
dan aku tak tahu telah sampai di mana

Ayo!
Kapal belum lagi karam



****
You may cry but Metty please, never, never, never give up

Retak

bila hati retak oleh kata-kata
lihatlah
gurat berkelok itu kian panjang
menebal
menyabang
membentuk celah
telah kututup telinga
namun guratnya terus memanjang
terus
terus
terus
apa kau belum berhenti bicara
atau retakan ini sedang mencari ujung
di mana berakhir


***
hanya rangkaian kata, bukan curahan hati ^___^
gambar diambil di sini

Monday, October 26, 2009

Indonesiaku

konon kaulah ibu pertiwi gemah ripah lohjinawi
tanahmu subur, diatasmu padi mengemas, dibawahmu minyak dan emas
kaulah rangkaian ribuan pulau disela lautan penuh ikan syurga bagi para nelayan
gunung sungai lembah hutan sungguh membuatmu menawan
dari rahimmu lahir para pahlawan, sastrawan dan negarawan
kaulah tempat tinggal bangsa yang santun dan ramah

Masihkah?


gambar diambil di sini

Tepat setelah ambil posisi (mau ngepos maksudnya) dapet sms: minta fee berapa? Aha! Ngepos dulu ah

Tepat setelah ambil posisi (mau ngepos maksudnya) dapet sms: minta fee berapa? Aha! Ngepos dulu ah

Akhirnya...........

Sebetulnya saya adalah orang yang paling tidak setuju dengan Ujian Nasional dengan segala kehebohan yang menyertainya. Akan tetapi, ketika saya diminta mengajar kelas 6, mau tak mau hal tersebut harus dijalani dengan kompromi. Dan ketika ada workshop AMU (analisis materi ujian), sekolah mengirim saya untuk mengikutinya. Padahal biaya workshop itu amat mahal (untuk ukuran sekolah swasta yang masih dalam taraf berkembang).

Meskipun tidak setuju, hasil dari workshop tersebut menurut saya adalah hal yang harus dilakukan guru kalau ingin mempersiapkan siswa-siswanya dengan sebaik-baiknya. Dan dengan penuh semangat dan antusias, saya menawarkan ke sekolah-sekolah tetangga yang tidak mengirimkan guru untuk mengikuti workshop tersebut untuk memberikan presentasi AMU. Hasilnya? Hehehe........saya merasa jadi sales door to door dengan barang jualan tak laku. Padahal niat saya murni ingi berbagi ilmu. Rupanya sekolah-sekolah sudah merasa nyaman bekerja sama dengan bimbel, jadi tanggung jawab mempersiapkan siswa menghadapi UN berada di pundak bimbel.

Saat saya sudah nyaris melupakan hal tersebut, tiba-tiba semalam saya dapat sms:
"Bu Metty, wakasek kurikulum di sekolah saya tertarik dengan presentasi AMU, tapi beliau bertanya, bu Metty minta fee berapa?"

Alhamdulillah. Segera saya balas SMS tersebut: "gratis!"


***

Bagi teman-teman guru, sedikit hasil pelatihan tersebut yang sifatnya praktis saya posting di

http://nengmetty.multiply.com/journal/item/21

mudah-mudahan memberikan manfaat


gambar diambil di sini

Sunday, October 25, 2009

Satu Rindu dan Wisanggeni Kecil dalam Puisi, Sebuah Perbandingan

Tiada pernah lelah diri ini membilang namamu berulang-ulang. Pada tiap waktu, Kukecup dirimu dalam ribuan pagi, kala mentari masih sembunyi dalam selimut fajar, kala bunga yang masih segan keluar dari kuncupnya. Rasakanlah hadirku, yang bergulir dalam bebutir embun basahi dedaunan, mengayun manja pada pucuk dahan dalam senandung kicau burung

(Satu Rindu)

Ping,
untuk keberadaanmu,
guratan peta yang hilang dan kemudian tumbuh di kuncup bambu.
kolam kolam asing,
terminal,
stasiun,
bandar udara,
tempat urutan huruf namamu di pakukan dengan khidmat,
pantas saja,
selama ini jejak sepatuku dijauhkanya dari huma,
berakrab kekosongan.
tanpa sudut yang saling menemu.

(Wisanggeni Kecil)


Bila Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa puisi adalah kumpulan kata yang dapat mengungkung perasaan, begitulah agaknya dengan puisi yang dihasilkan kedua pujangga mp ini, Satu Rindu (saturindu.multiply) dan Wisanggeni Kecil (arifsibijak.multiply) Masing-masing memiliki gayanya sendiri tapi tetap indah dan enak dibaca.

Dalam hal pemilihan kata, saturindu cenderung memilih kata-kata yang manis dan santun. Banyak mengambil kata-kata yang berhubungan dengan alam dan waktu sebagai simbol untuk menyampaikan maksudnya. Kata-kata seperti senja, pantai, karang, pasir, embun adalah kata-kata yang banyak dipakai. Dalam menyusun puisinya, satu rindu mengutamakan rima yang berulang seperti: menyulam kelam, menjilat kilat, hangat tersemat sehingga saat membaca puisinya terasa amat puitis. Meskipun menggunakan analogi ataupun simbol-simbol dalam puisinya, tetapi pembaca biasanya dapat menangkap pesan yang disampaikan puisinya dengan cukup mudah.

Wisanggeni kecil adalah orang yang sangat merdeka menggunakan kata-kata. Dia tidak mau terpaku pada kosa kata yang itu-itu juga. Baginya tidaklah tabu menggunakan kata-kata yang bagi sebagian orang dianggap memiliki nilai rasa ‘kasar’ seperti: brengsek, sial, bahkan (maaf) kentut di dalam puisinya. Seringkali kalimat-kalimat dalam puisinya amat lugas dalam menyampaikan sesuatu, meskipun terkadang juga menggunakan analogi-analogi ataupun simbol-simbol yang menurutnya boleh ditafsirkan sesuka pembaca. Tidak terlalu terpaku pada rima kata tapi karena kepiawaiannya puisinya tetaplah indah dan tidak kehilangan rasa puitis magisnya.

Dari sisi tema, Satu Rindu cenderung berfokus pada satu tema sesuai dengan namanya: rindu, sebagaimana jargon yang pernah diutarakannya bahwa sitenya adalah: one stop rindu. Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya benarkah puisi-puisinya adalah ungkapan perasaan rindu yang tak berkesudahan ataukah sebagaimana yang sempat diungkapkannya bahwa puisinya berdasarkan ide lama yang di daur ulang (mudah-mudahan bukan perasaannya yang di daur ulang). Meskipun demikian beberapa kali Satu Rindu menuliskan puisi yang lepas dari tema rindu, biasanya tema religi ataupun kematian, dan sebagaimana biasanya puisinya tetaplah indah.

Wisanggeni kecil mengambil tema yang sangat variatif untuk puisinya. Puisi pertama yang saya baca di sitenya bercerita tentang pelacur, lalu ada tema tentang perkuliahannya, tentang percintaannya baik dimasa bahagia maupun di masa kehilangannya, tentang ibunya yang telah tiada, tentang ayahnya, tentang realita hidup di sekelilingnya yang membuat penulis beberapa kali meminta beliau agar lebih hati-hati dalam ‘menggugat’ dan menisbatkan sifat terhadap Tuhan.

Untuk sudut pandang, Satu Rindu nyaris selalu membuat puisinya dari sudut pandang aku, seorang Suga Diawara yang memiliki rindu tak berkesudahan. Sedangkan Wisanggeni sering mencoba keluar dari dirinya, pernah memakai sudut pandang seekor katak (si ping yang terkenal itu) bahkan sudut pandang seorang nenek. Masing-masing memiliki kelebihannya sendiri-sendiri.

****

Berusaha menuliskan sesuatu yang lain untuk blog saya, membandingkan kedua pujangga ini akhirnya menjadi pilihan. Sempat mempertimbangkan untuk membandingkan gaya bercerita mbak Wiwik (adearin) dan mas Dedi (debapirez) yang sama-sama mempunyai gaya bercerita lincah, menarik tetapi memiliki gaya sendiri-sendiri. Tapi jujur, saya merasa kesulitan untuk mencari sisi apa yang harus dibahas. Sempat maju mundur juga, namun akhirnya saya tuliskan juga setelah mempertimbangkan resiko terbesar yang harus saya hadapi adalah disambit tangga sama si Ayip.

Buat Mas Suga dan Ayip, sama sekali saya tidak bermaksud apa-apa dengan membuat perbandingan ini, sekedar sarana saya untuk berlatih menulis. Tolong jangan merasa menjadi korban, anggap saja sebuah kehormatan :)

Buat temen-temen pujangga mp yang lain: Ima, Dedy, Uchi, Lingling, mbak Wiwik, Fath, Mbak Marya, Laras, Dzul, Ali dan siapapun yang belum tersebut, saya katakan dari sekarang saya tidak menerima permintaan untuk membahas puisi lagi :) (takut amat sih, siapa juga yang mau minta dibahas pengamat puisi amatiran begitu?)

Jadi bagaimana, apa saya berbakat jadi kolumnis majalah horison?

Monday, October 19, 2009

obsesi

Sungguh aneh hidup ini. Terkadang kita memiliki sebilah kata sempurna yang digantungkan di puncak everest. Lewati separuh bahkan seluruh waktu mengangankannya. Kerahkan segenap daya upaya untuk mendapatkannya. Seolah seluruh kebahagiaan tergantung dari teraih atau tidaknya hal tersebut. Tapi saat hal tersebut berada dalam genggaman, dari skala seratus nilainya hanya dua puluh lima saja. Masih jauh lebih berharga apa yang Allah anugerahkan tanpa disangka-sangka.

Maka biarkanlah sebuah obsesi tetap menjadi obsesi, agar tidak berkurang nilainya.


gambar diambil di sini

Thursday, October 15, 2009

Bias Keberuntungan


Tita



Sungguh mengherankan, ada orang yang seberuntung itu di dunia ini. Wajah cantik, tubuh tinggi semampai, luar biasa pintar terbukti berulang kali juara paralel, memiliki suara yang amat merdu bahkan konon pernah mendapat tawaran untuk rekaman, sering menjuarai lomba pidato baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris, bahkan sedang mempersiapkan diri untuk ikut casting penyiar berbahasa mandarin, aktif di osis, dan merupakan anak satu-satunya dari pasangan orang tua yang kaya raya. Bapaknya seorang pengusaha otomotif sedangkan ibunya pengusaha kosmetik. Dan di atas semuanya itu, dia adalah sosok yang ramah dan santun, dengan segala kelebihan yang dimilikinya yang membuat iri seluruh siswa wanita di sekolah, sama sekali tidak ada cacat cela dalam bertingkah laku, bahkan jauh lebih baik dibanding semua siswa lainnya. Saat guru menyuruh siswa-siswa bekerja bakti membersihkan lapangan yang becek karena berbagai lomba tujuh belasan, dia dengan semangat menyikat lapangan tersebut. Saat teman-temannya kelelahan, dia sendirian membereskan perlengkapan yang telah dipakai untuk bersih-bersih tanpa menggerutu. Dialah Camila, bintang paling cemerlang di sekolah ini.

Dan pagi ini, hari pertamaku masuk di kelas 3 SMP ini, aku sungguh tercengang karena dia memilih untuk duduk semeja denganku. Aku bahkan tak mengira kalau dia tahu namaku. Aku tahu dia tentu saja, siapa yang tak mengenal orang paling bersinar di sekolah ini. Tapi aku? Sejak kelas satu, aku tak pernah sekelas dengannya. Setiap kenaikan kelas sekolah akan mengacak siswa dan membuatku berpisah dengan teman-teman akrab di kelas satu, pada saat naik ke kelas dua. Itu sebabnya aku berangkat pagi-pagi sekali hari ini, karena penasaran dengan siapa aku sekelas pada tahun ini. Di pintu-pintu kelas, ditempelkan nama-nama siswa yang menjadi penghuni kelas tersebut. Di pintu yang ke tiga baru kutemukan namaku, berarti aku menjadi siswa kelas 3C, saat menelusuri daftar nama tersebut, sekilas kulihat namanya. Ah ternyata aku sekelas dengan sang bintang, maka akan tampak makin reduplah sinarku, itupun kalau memang aku punya sinar. Saat kulangkahkan kakiku ke kelas, kulihat dia sudah duduk di meja paling depan barisan kedua dari pintu. Aku tersenym padanya, dan melangkahkan kakiku ke meja paling depan barisan ke tiga dari pintu. Aku memang selalu memilih bangku paling depan. Tak disangka, dia menyapaku dengan memanggil namaku.

“Tita, kamu sebangku sama siapa?” tanyanya sambil tersenyum.

“Belum tahu, teman-temanku pisah kelas semua,” jawabku agak malu. Ketahuan kalau aku cuma bisa berteman dengan yang sekelas, sementara dia berteman tidak hanya lintas kelas, bahkan dengan adik dan kakak kelas.

“Aku duduk sama kamu yah,” katanya sambil memindahkan tasnya ke sebelahku. Aku Cuma bisa mengangguk.



***



“Maaf ya Mil, aku ngga bisa ke rumahmu sore ini, mamaku ada harus ke Sunter, nengokin tanteku yang dirawat di rumah sakit. Aku harus jaga adekku”. Aku merasa ngga enak, tugas yang seharusnya kami selesaikan berdua sebetulnya lebih banyak Mila yang mengumpulkan bahannya. Aku cuma mengiakan dan memberi usulan disana-sini. Dan dia selalu menerima apapun usulku meskipun itu berarti bertentangan dengan idenya dia. Dan sekarang, saat tinggal sedikit lagi tugas ini selesai, aku tidak bisa ikut mengerjakannya karena harus jaga adek di rumah.

“Ya sudah, aku saja yang ke rumahmu, jam berapa mamamu berangkat?”

Hah? Mila ke rumahku? Oh, tidak, malu aku, bila dibandingkan, ukuran rumahku mungkin hanya separuh dari dapur rumahnya. Jangan.............jangan sampai terjadi......

“Jam berapa mamamu berangkat?” ulangnya

“Jam empat”.

“Aku datang jam setengah empat, biar bisa ketemu mamamu”.

Aku mengangguk bego.



Mila benar-benar datang jam setengah empat. Begitu datang dia langsung mencium tangan mamaku tanpa canggung. Begitu mama berangkat, sedikit malu aku mengajak dia ke kamarku. Sebuah kamar yang dulu, menurutku sangat menyenangkan, selalu rapi karena aku tak mau membiarkannya berantakkan. Namun sejak mengenal kamarnya, sungguh tak bisa dibandingkan, bahkan barang-barang di kamar pembantunya jauh lebih bagus daripada barang-barang di kamarku. Tanpa canggung dia duduk di pinggir tempat tidur, mengeluarkan tugas kami, yang ternyata sudah diselesaikannya, lalu rebahan disamping adikku yang tertidur lelap. Kami pun mengobrol.




Mila


Pertama kali aku melihatnya di hari pertama masuk SMP ini. Kami sama-sama siswa baru berpakaian dan berdandan aneh mengikuti kehendak panitia. Dia diantar naik motor oleh ibunya. Begitu turun dari motor dia mencium tangan ibunya, dan kulihat ibunya memeluknya mencium kedua pipinya, sepertinya ibunya memberikan bebrapa nasihat sebelum berlalu dengan motornya. Aku yang masih berada di dalam mobil diantar sopir, memandangnya. Entah mengapa, dadaku berdesir melihatnya. Kemudian pemandangan itu menjadi sesuatu yang rutin, nyaris terjadi setiap pagi. Kadang-kadang hanya ibunya yang mengantar, kadang-kadang ditemani seorang gadis cilik yang nampak menggemaskan, berusia kira-kira tiga tahun. Adiknya kukira. Bila ada adiknya, setelah ritual sun pipi kiri kanan oleh ibunya, maka dia akan beralih ke adiknya. Si adik mencium tangannya dengan takzim, dan dia akan mencium pipi adiknya kiri kanan. Selalu begitu.

Kemudian aku tahu namanya Tabitha, teman-temannya memanggilnya Tita. Sayang aku tidak sekelas dengannya. Kami juga tidak mengambil ekstra kurikuler yang sama, dan dia tidak aktif di osis, sehingga nyaris kami tidak pernah terlibat di kegiatan yang sama. Pernah kulihat, saat dia harus pulang sore karena kegiatan ekskul, seorang laki-laki menunggunya. Aku tahu laki-laki itu menunggunya karena dia menggunakan motor yang biasa dipakai oleh ibunya. Kakaknya kukira. Kulihat wajahnya sedikit cemberut saat menanti bubaran ekskul, lalu saat Tita menghampiri, nampak si kakak mengatakan sesuatu tetap dengan memasang wajah cemberut, Tita sepertinya membalasnya dengan sama cemberutnya, lalu duduk di boncengan, dan motor itupun berlalu. Ah, pertengkaran kakak adik yang tidak pernah kurasakan. Dan setiap kali pulang sore, bisa dipastikan si kakak akan dengan setia menjemputnya, entah dengan wajah ceria ataupun wajah cemberut.

Kukira, aku merasa iri dengan kehangatan yang dipertunjukkan ibunya padanya. Dulu, semasa kecil, aku pernah merasakan pelukkan itu. Saat rumah kami belum sebesar dan sebagus ini. Saat mama hanyalah seorang ibu rumah tangga. Aku ingat, mungkin saat itu usiaku 4 tahun, aku punya sebuah sepeda baru. Sepeda dengan dua roda besar, dan dua roda kecil disamping roda besar yang dibelakang. Lalu mama memutuskan untuk mencopot kedua roda kecil itu. Dan mama bertepuk tangan saat aku bisa maju beberapa kayuhan. Lalu aku terjatuh dan mama memelukku dengan wajah cemas. Aku juga ingat, semasa TK, aku selalu diantar oleh mama, begitu pulang sekolah mama akan membuka buku-bukuku dan memuji-muji gambar yang aku buat. Lalu mama akan memintaku menyanyikan lagu yang diajarkan di sekolah. Dan mama akan ikut bernyanyi bersamaku. Mamaku sungguh hebat, tahu semua lagu yang diajarkan bu guru di TK. Lalu pada saat aku masuk SD, mama memutuskan untuk membuka salon. Mama tidak pernah lagi mengantarku sekolah karena aku ikut mobil jemputan. Pada saat akan berangkat, mama biasanya menyiapkan sarapan untukku, dan melepasku di halaman saat mobil jemputan tiba. Saat aku kelas tiga SD, mama mendirikan sebuah pabrik kosmetik di luar kota. Sejak saat itu, aku hanya melihat mama dimalam hari, itupun tidak setiap malam. Seringkali aku sudah tidur saat mama pulang, dan mama sudah berangkat lebih dulu saat aku masih bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Lalu pembantu pun bertambah banyak, dari satu jadi dua lalu tiga, dan sekarang empat. Rumahpun semakin besar, mobilpun bertambah banyak. Tapi aku tak pernah lagi merasakan pelukan mama.

Lalu pada suatu hari, saat aku kelas 5 S
D, aku melihat bik Nah membereskan tempat tidurku, esoknya aku mencoba membereskan tempat tidurku sendiri. Pada hari Minggu bik Nah memberikan laporan pada mama bahwa aku sudah bisa membereskan ranjangku sendiri. Mama memujiku,”Anak mama hebat, mama suka anak mama mandiri dan tidak manja”. Sejak itu aku melakukan apapun yang bisa kulakukan, mencuci kaus kaki, mengepel kamar, menyikat kamar mandi, apapun kulakukan untuk mendapatkan tiga patah kata dari mama, “anak mama hebat”. Lalu pekerjaan rumah menjadi tidak cukup ampuh, akupun beralih ke berbagai les. Les vokal, les bahasa, les renang, dan nyaris selalu mengikuti berbagai perlombaan demi sebuah pengakuan,”anak mama hebat”.

Pernah suatu ketika aku merasa marah, marah tanpa sebab. Banar-benar tanpa sebab karena sesungguhnya mama selalu mengabulkan apapun yang aku minta. Tidak ada alasan untuk marah. Blackberry-ku sudah berganti tiga kali, laptopku keluaran terbaru yang paling canggih, bahkan, saat aku minta sebuah mobil, tanpa banyak bicara mama mengabulkannya, meskipun aku tidak boleh mengendarainya sendirian karena belum punya SIM. Tapi entahlah, kemarahan itu timbul begitu saja. Ada perasaan ingin memberontak. Maka, akupun mendekati teman-temanku yang aku tahu sedikit ‘liar’. Mereka terkejut waktu aku bilang pengen ikutan. Sepertinya tak percaya juga. Lalu mereka memberikan sebuah alamat dan sebuah tanggal supaya aku bisa ikutan ‘pesta’. Pesta narkoba aku kira, karena aku harus setor uang dalam jumlah yang amat banyak. Tak masalah. Sialnya (atau untungnya kalau ku pikir kemudian) pada hari yang ditentukan, ditengah perjalanan ban mobil yang kupakai bocor. Pak Ari, supir yang mengantarku diam saja saat aku marahin saat menggantinya dengan ban serep. Aku tiba di tempat pesta terlambat satu jam dari waktu yang seharusnya. Tepat pada saat dua mobil polisi bak terbuka keluar dari tempat tersebut. Nampak beberapa temanku di bagian belakang mobil tersebut dengan ekspresi setengah sadar. Rupanya aku sedikit pengecut juga, kalau itu berarti harus berurusan dengan polisi, maka lebih baik tidak jadi berontak. Aku tak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, rupanya begitu juga dengan sopirku, karena mama tidak pernah menegurku. Dua hari kemudian, aku lihat teman-temanku itu sudah kembali masuk sekolah. Dan mereka tidak pernah mau menegurku lagi, seolah-olah karena kesalahankulah mereka harus berurusan dengan polisi.

Dan aku nyaris tak percaya, di kelas tiga ini aku sekelas dengan Tita. Sungguh beruntung pula kami berdua datang paling pagi sehingga dengan mudah aku memintanya mengijinkan aku duduk semeja dengannya. Aku bisa merasakan dia anak baik. Meskipun tidak menyembunyikan ketakjubannya melihat rumahku, dia tidak pernah bersikap sebagai parasit. Dia tidak mau aku membayari jajannya. Dia mengizinkan aku mentraktirnya dengan catatan gantian dilain waktu dia yang harus mentraktirku. Aku suka itu, meskipun itu berarti aku harus menahan diri kalau ingin tambah, karena tahu uang jajannya tidak banyak. Sayangnya kalau harus belajar bersama, Tita tidak pernah mau di rumahnya. Dia selalu meminta agar kami belajar di rumahku saja, nanti digerecokin adekku, begitu selalu alasannya. Tapi akhirnya terlaksana juga keinginanku untuk mengunjungi rumahnya.

Disinilah aku sekarang, rebahan di ranjang, disebuah rumah yang dipenuhi oleh kehangatan keluarga.



_______________


Ups, bangkit setelah terpuruk :)

terima kasih para pendorong semangat yang amat bersemangat.

Kiriman semangatnya mempan, apalagi pukulannya Uchi :D

Siap menerima kritikan dengan lapang dada

Ada yang punya semangat lebih? Bagi dong ...

Ada yang punya semangat lebih? Bagi dong ...

Sunday, October 11, 2009

biar saja

bukan aku tak paham pada siloka yang kau pahatkan di sana
bukankah dia berkata padamu bahwa aku menarikan tarian gila
dan kau percaya
sedang kau dan dia tidak mendengar hentakkan musiknya
tetabuhan yang hanya terdengar olehku sendiri
hingga tarian inipun milikku sendiri
semburkan saja sumpah serapahmu
dengan kasar dan terang-terangan
atau dengan siloka yang sama menikam
biar saja
biar saja
karena tetabuhan ini
masih menghentak di telinga
milikku..............sendiri........


gambar diambil di sini

Tuesday, October 6, 2009

Surat Kepada Ping


Apa kabarmu pagi ini ping? Apakah kau sedang menggigil kedinginan di pojokan kolam dan membiarkan darah mengalir dari lukamu menikmati sakitnya? Atau kau sedang melompat-lompat memperlihatkan pada dunia betapa kau kuat menyembunyikan rapuh hatimu? Aku bertanya-tanya pada diriku ping, apakah lebih baik kubiarkan kau sendirian atau memaksamu tengadah menjawab semua sapa, seperti aku tak pernah yakin saat menghadapi muridku yang menangis, apakah aku harus membiarkan tangisnya tuntas atau harus merengkuhnya dan berkata bahwa aku siap mendengarkan keluhnya.

Sebutir permen tak akan mampu menghiburmu ping, juga kata-kata, bahkan sebuah pelukan teramat erat seperti yang kau katakan, karena kita tahu pelukan siapa yang kau inginkan.

Lukamu berdarah dua kali ping, berdarah ditempat yang sama. Dan saat kau berteriak kesakitan, para sahabatmu berkata bahwa mereka juga terluka. Jangan salah sangka ping, mereka bukan hendak mengatakan bahwa mereka punya sakit mereka sendiri, juga tak hendak membandingkan luka siapa yang paling dalam dan paling banyak mengucurkan darah...............tidak ping, sesungguhnya mereka ingin berkata bahwa mereka ikut meresakan sakitmu dan tahu persis rasanya karena mereka telah pula mendapat luka oleh puncak yang kau kata mahameru itu.

Sungguh aku sangat lega ketika tahu kau menolak untuk terpuruk. Sebuah luka boleh saja menghantammu membuatmu lari ke pelukkan masa lalu sekedar menumpahkan tangismu. Berapa jam perjalanan yang kau tempuh agar kau dapat menangis dengan leluasa ping? Berapa jam air mata kau tumpahkan, tangis seorang ksatria itu ping? Dan sebagaimana luka pertama, luka kedua ini pun akan membuatmu berada di lembah duka terdalammu, untuk kemudian melontarkanmu ke tekad semangat tertinggi, lantas kau pun akan kembali berduka, lalu meraih kembali semangat itu. Kau akan terus terombang ambing di dua kondisi ekstrim itu ping, sampai kau menemukan kondisi stabilmu, dan dimanakah kondisi stabil itu? Itu adalah pilihan yang dapat kau tentukan ping.

Kau tahu persis ping, sephiamu tidak mencintai kamu. Mungkin dia memberikan sedikit penghiburan dan rasa kebas terhadap sakitmu. Tapi dia mengambil jauh lebih banyak darimu. Pertukarannya tidak sebanding ping. Dulu kau bisa melepas sephiamu demi dia, orang yang kau sayang. Mengapa sekarang kau tak lepas dia demi dirimu sendiri ping?

Selamat berjuang ping, batu-batu kecil membuatmu tersandung dan batu besar membuatmu harus mengambil jalan berputar, tapi tetaplah menuju arah yang kau tuju.

Teteh


Sunday, October 4, 2009

Biar Kueratkan

perjalanan kita jauh sudah
kukira langkah kita seirama
aku lurus kaupun lurus
aku berbelok kau juga
aku berhenti kau henti juga
tapi mengapa kurasa
ikatan kita semakin longgar tak seerat semula
adakah aku terlampau sibuk menatap ke muka
mengangankan arah tujuan kita
dan kau meronta
hendak melihat segala yang ada
merekam keindahan dunia dibenakmu
dan mematrinya sebagai memori
tak peduli keseimbangan ayunan kita
barangkali
kita hentikan sejenak putaran roda
agar kueratkan lagi ikatan kita


***
Hwaahahahaahaha...........
Boncengin ponakan berumur 2 tahun dibelakang dan demi keamanan pinggang kita diikat oleh kain gendongan, tapi alamaaaaaak............... gak bisa diem, kepalanya miring-miring terus pengen melihat kedepan, bikin yang boncengin jadi ketar-ketir

gambar diambil di sini

Friday, October 2, 2009

Halo yang pada ngempi di hp, punya saya kok sekarang ga bisa lihat komen postingan yg replynya lebih dari 25, ga ada tulisan page 2 nya, punya temen-temen sama ngga?

Halo yang pada ngempi di hp, punya saya kok sekarang ga bisa lihat komen postingan yg replynya lebih dari 25, ga ada tulisan page 2 nya, punya temen-temen sama ngga?