Pages

Monday, November 30, 2009

Sunday, November 29, 2009

Kisah Kita

penggal pertama
runut kembali jejak sang waktu
kala mula, tika malam tak juga mimpi
bayu bisikan kata, canda dan salah duga
tiada lelah ia walau harus lintas benua
tak mengapa
sedikit malu kuatkan aroma rasa
pasang surut itu biasa bagi samudra
pantai tetap digarisnya kala damai pun kala badai



penggal kedua
aku tak memilih rindu ini menjadi raja dalam dada
hanya aku tak bisa tumbangkannya



penggal ketiga
inilah masa kini kataku
inilah kenangan katamu
aku tergugu


___________

Kawan, baru kutahu, betapa perkasanya luka

Monday, November 23, 2009

Akulah kontradiksi

akulah kelam di cerlang gemintangmu
agar terpancar jelas kilaumu
aku hitam

akulah sunyi di gemuruh tepuk tanganmu
pada puja puji di akhir resitamu
aku bisu

akulah hambat pada lajumu
tahan gerakmu pada setimbang
aku rintang

akulah cemeti pada lelahmu
di ujung hari tak kunjung sandar
aku batu

akulah kontradiksi
namun aku pulalah
cinta

Bagaimana sih cara buka postingan dari inbox, atau dari blog list menggunakan operamini. Tapi tampilannya seperti tampilan mp biasa?

Bagaimana sih cara buka postingan dari inbox, atau dari blog list menggunakan operamini. Tapi tampilannya seperti tampilan mp biasa?

Sunday, November 22, 2009

[Cerpen] Lobi 3 - Tamat

Klik kisah sebelumnya

Aku sungguh tak mengerti. Tapi aku juga segan untuk mengejarnya untuk mempertanyakan mengapa begitu. Apa aku harus tak bisa apa-apa agar bisa diterima dimana-mana? Mengapa tidak mengambil Lili atau karyawan lain yang aku juga tahu sangat trampil menyayat ayam dan tahu pasti kalau blanquette de veau itu harus dibaca blangke du vu? Ah, masa bodoh, mengapa pusing memikirkan alasan sebuah keberuntungan? Tuhan memberiku keberuntungan dan aku tidak perlu alasan.

Mendekati akhir minggu kedua aku menjadi ketar-ketir. Aku tahu sejak semula bahwa aku tidak akan bisa melakukan semuanya. Tapi untuk kehilangan pekerjaan ini pun rasanya aku tidak siap. Jeleknya, kekhawatiranku berimbas pada konsentrasi kerjaku. Benar-benar dodol, saat Heru memintaku membuat hiasan dari tomat, aku malah merajang tomat itu. Heru tidak marah, dia cuma memintaku menggunakan tomat yang lain. Tapi dia tahu aku tak konsentrasi.

Keterampilankupun tidak bertambah, bahkan sampai tinggal dua hari lagi masa percobaanku, aku belum sekalipun memasak. Semuanya Heru yang melakukan. Sepertinya sebuah isyarat kalau aku harus siap-siap angkat kaki. Ah, kembali harus mendatangi pabrik-pabrik untuk mencari lowongan. Atau..................... apa mungkin aku melamar sebagai juru masak di restoran lain? Setidaknya kalau ditanya masakan apa yang aku bisa, aku bisa menjawab dengan gagah, ciken kordong bla, dan saya bahkan bisa mengeja tulisannya c-h-i-c-k-e-n c-o-r-d-o-n b-l-e-u.

Mendapat pikiran seperti itu semangatku naik pesat. Aku sangat bergairah dan benar-benar merekam dalam ingatan semua yang dilakukan Heru. Bahkan di rumah aku berlatih memasak berbagai masakan aneh itu. Tentu saja aku harus mengganti daging dengan tempe. Bagaimanapun, aku harus berhemat bukan? Tapi rasanya sungguh tidak kalah enak, eh, sepertinya sih begitu, karena masakan-masakan Heru itu aku tidak pernah mencicipinya. Lihat saja, restoran tempatku jadi juru masak kelak, akan menyaingi restoran ini.

Dan akupun mulai menjadi cerewet. Mengapa harus pakai ini? Itu gunanya buat apa? Mengapa ini harus dimasukan lebih dulu? Mengapa ini, mengapa itu. Sejauh ini Heru selalu menjawab pertanyaanku. Tapi dia nampaknya tidak suka. Mungkin dia pikir aku sedang mencari muka. Terserah, mau dia sebel, mau dia punya anggapan apa, aku harus menyerap sebanyak mungkin apa yang bisa aku pelajari. Toh salah dia juga, kenapa calon penggantinya tidak diajarinya memasak? Maka biarkan aku mencuri ilmunya untuk modalku mencari kerja di tempat lain.

Dan inilah saat keputusan itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Di depan sepertinya masih banyak tamu yang makan, atau entah sedang ngapain. Heran juga aku akan tamu-tamu itu. Makan saja bisa menghabiskan waktu sampai tiga jam lebih. Sepertinya lebih banyak ngobrolnya daripada makannya. Heru pernah bilang, kalau mereka datang ke sini tidak hanya untuk makan, tapi untuk membicarakan keperluan bisnis. Untuk bertemu relasi. Dan untuk itu mereka bersedia membayar makanan yang perporsinya setara dengan gajiku sewaktu kerja di pabrik. Bagaimana ya rasanya menelan makanan yang harganya cukup untuk membayar kontrakanku selama empat buan?

Tapi untungnya restoran membuat kebijakan, tidak menerima pesanan makanan lewat dari jam 9 malam kecuali makanan penutup, makanan ringan ataupun minuman. Dan itu bukan tanggung awab Heru. Jadi biasanya jam sepuluh malam memang tugas dapur kami selesai. Beberapa kegiatan masih dilakukan didapur, terutama bersih-bersih, tapi itu bukan tugas Heru, yang berarti juga bukan tugas aku.

Heru bilang padaku kalau aku jangan pulang dengan mobil pengantar bersama karyawan yang lain. Aku akan pulang dengan mobil yang biasa dipakai mengantar jemput Heru. Yah, dapat fasilitas lebih saat vonis tiba, pikirku setengah geli, setengah sedih.

Heru mengajakku ke ruang tempat makan para karyawan. Cukup aneh juga sebetulnya, sebuah rumah makan yang besar dengan persediaan makanan berlemari-lemari, untuk makan karyawannya menggunakan catering dari tempat lain. Dan karyawan mempunyai tempat sendiri untuk makan, bahkan karyawan dapur sama sekali tidak boleh masuk ke area yang diperuntukkan bagi tamu. Juga karyawan yang bekerja dibagian depan, sama sekali tidak boleh masuk ke dapur.

Heru membuat teh untuk dirinya sendiri dan menyuruhku membuat minumanku sendiri. Aku menolak, sepertinya tenggorokanku tidak akan mengijinkan apapun masuk melewatinya pada saat seperti ini. Kami duduk berhadap-hadapan. Melihat wajah Heru yang nampak rileks aku agak geram juga. Kenapa tidak memperlihatkan sedikit rasa sedih? Huh.

“Kamu tahu,” katanya, “aku sudah pernah mengatakan padamu, bahwa aku menerimamu karena kamu tidak bisa memasak. Dulu, di awal-awal aku mengundurkan diri, restoran ini mencari juru masak yang punya ijazah memasak, lulusan sekolah kuliner. Tapi ternyata susah untuk mencari orang yang benar-benar paham soal rasa. Aku tidak menyalahkan improvisasi dalam memasak, tetapi harus tetap memegang teguh pakem-pakemnya. Beberapa orang yang aku uji, sangat terampil memasak, tetapi karena sudah pintar, mereka cenderung melanggar pakem-pakemnya. Kamu lihat, aku selalu konsisten, kapan menambahkan garam yang tepat pada sebuah masakkan.” Oh, itu pakemnya pikirku, yang dari tadi tidak mengerti apa yang dia bicarakan.

“Karena tidak ada satupun yang sesuai dengan keinginanku, aku menjanjikan pada pemilik restoran ini untuk mendidik sendiri calon koki di restoran ini. Kebetulan restoranku sendiri sepertinya tidak akan selesai pembangunannya dalam waktu dekat, itu sebabnya aku bersedia melakukannya.” Aku manggut-manggut, tidak tahu harus bicara apa.

“Jadi mulai besok, kamu yang akan memasak dan aku yang akan mengawasimu. Aku baru akan benar-benar meninggalkan restoran ini setelah yakin kamu melakukannya dengan benar.”

Apa?

“Ayo, mobil jemputanku sudah menunggu.”

(TAMAT)

______________

Sebuah catatan:

Ide awal membuat cerpen ini sebetulnya ingin berkisah tentang sebuah restoran high class, tempat dimana lobi-lobi bisnis bernilai ratusan milyar dilakukan. Lalu suatu hari, seorang yang tidak becus memasak diterima bekerja bekerja sebagai koki, padahal posisi itu diincar banyak karyawan dapur yang sudah lama bekerja. Karyawan lain menganggap karyawan baru itu diterima karena melakukan ‘lobi’ terhadap manager. Lalu terjadi persaingan, dan berbagai lobipun dilakukan.

Tetapi begitu ditulis, saya teringat sebuah serial korea yang menampilkan sebuah seni memasak yang luar biasa. Saya lupa judulnya, yang jelas peran utamanya seorang dayang bernama janggem. Lalu akhirnya suasana dapurnya sendiri mendapat porsi yang amat besar, sampai saya mendapat protes dari Lina, “Teteh, ini cerpen atau cerbung?”

Hehehe, karena kalau saya lanjut dengan ide awal saya maka bukan lagi cerpen namanya melainkan novelet, maka saya cukupkan sampai di sini. Maafkan untuk judul yang tidak nyambung akibat pergeseran ide. ^___^

Friday, November 20, 2009

[Cerpen] Lobi 2

Klik Kisah sebelumnya

Kulihat Heru mendengarkan sebentar, lalu meletakkan telepon itu dan keluar setelah sempat mengucapkan “tunggu di sini”. Aku bingung mau ngapain, dan bermaksud membersihkan bekas masakku tadi. Tapi rupanya Lili telah melakukannya dengan cepat, benar-benar sudah bersih kembali alat-alat yang kupakai tadi. Akhirnya aku berdiri bengong melihat segala kesibukan mereka. Kulayangkan pandanganku ke segala arah, nampak olehku dua buah kamera di pojok atas ruangan. Itu rupanya yang menyebabkan mereka begitu sibuk dan tidak saling mengobrol kecuali bertukar beberapa kalimat seperti; kuahnya sudah siap atau kecilkan apinya.

Heru masuk lagi, dan bilang kalau aku disuruh menghadap bagian personalia, ruangannya disebelah ruangan manager, lalu dia langsung meninggalkanku. Karena Heru berbicara seolah-olah aku sudah tahu ruangan manager, aku mengambil kesimpulan bahwa ruangan manager pastilah ruangan pertama kali aku diinterogasi, ruangan si pria tanpa senyum. Akupun segera mencari ruangan tersebut.

Pastilah ini ruangannya. Ruangan ini berisi dua orang. Seorang wanita dan seorang pria. Si wanita memandang saya sedemikian, sehingga saya tersadar kalau saya masih menggunakan celemek dan tutup kepala. Wanita itu tersenyum dan mempersilahkan saya duduk.

“Begini mbak...........siapa namanya?” katanya. Ah, akhirnya ada juga yang menanyakan namaku.

“Nama saya Rara bu,” sahut saya sesopan mungkin.

“Begini Rara, Restoran ini memang butuh seorang koki, karena Heru, koki utama kami sudah enam bulan yang lalu mangajukan pengunduran diri. Dia sedang membangun restorannya sendiri di Bali. Tetapi kami minta dia mencari pengganti, dan tidak meninggalkan restoran ini sebelum mendapatkan pengganti yang pas.”

Saya membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulut saya. Sebetulnya saya ingin mengatakan bahwa saya tidak mungkin menjadi pengganti yang pas karena saya tidak becus memasak, tapi mengatakan hal itu sama dengan melepaskan kesempatan emas yang sudah nyaris ditangan. Jadi saya mengatupkan kembali mulut saya tanpa mengatakan apapun.

“Bagi saya, sangat tidak masuk akal alasan yang disampaikan Heru untuk memberimu kesempatan, Tapi itu bukan urusan saya. Heru memang punya wewenang mutlak untuk menentukan penggantinya karena kami tahu kualitas dan loyalitas dia. Dia tidak akan mengecewakan kami.”

Kembali saya membuka mulut, tapi seketika itu juga saya mengatupkannya kembali. Saya ingin menanyakan, alasan tidak masuk akal apa yang disampaikan Heru untuk menerima saya? Karena nasi goreng saya tidak karuan? Kalau itu yang disampaikan Heru pastilah wanita ini menentang habis-habisan. Tapi saya tidak tahu apakah sopan untuk menanyakannya saat ini.

“Untuk itu, kami berniat memberimu masa percobaan selama dua minggu. Dalam dua minggu itu, kamu akan mendapat bimbingan dari Heru, sekaligus juga penilaian. Diakhir waktu dua minggu itu, Heru akan menentukan apakah kamu akan diterima menjadi karyawan di sini, atau terpaksa kami mencari orang lain lagi. Dalam masa dua minggu itu, kamu belum terhitung sebagai karyawan kami, jadi jika pada waktunya kami memutuskan untuk memintamu pergi, kami tidak akan memberimu pesangon atau apapun yang semacam itu. Tetapi kamipun tidak ingin merugikan waktumu. Dalam dua minggu itu kamu akan mendapat transport dan uang makan,” wanita itu menyebutkan sebuah nominal yang nyaris membuatku meloncat-loncat. Bisakah masa percobaannya diperpanjang sampai sebulan? Atau selama-lamanya? Tapi aku tidak mengatakan apapun. Hanya diam menyimak apa yang ia katakan.

“Asal kamu tahu, sudah lima orang yang kami coba, dan kelimanya gagal di mata Heru”

Waduh! Aku harus hati-hati.

Kemudian aku mengisi beberapa lembar formulir dan menandatangani surat perjanjian, entah apa maksudnya, terserah, yang jelas untuk dua minggu ini aku dapat bernafas lega. Hidupku terselamatkan, setidaknya untuk sementara.

Begitulah keesokan harinya aku mulai bekerja di restoran ini. Belajar tepatnya. Karena aku tidak diberi tanggung jawab apapun. Tugasku adalah melihat semua yang dikerjakan Heru. Mengagumkan memang melihat bagaimana trampilnya dia mengiris daging, menyayat ayam dengan sayatan yang sempurna dan kecepatan luar biasa. Agak ngeri juga melihatnya, ngeri karena tahu aku diharapkan untuk seterampil itu, dan aku yakin seyakin-yakinnya bahwa aku tidak mungkin melakukannya. Tapi aku tidak mau mundur. Ditempat mana orang digaji sebesar itu cuma untuk menonton orang lain bekerja. Sungguh beruntung diriku, meskipun cuma untuk dua minggu. Maka aku nikmati saja peranku sebagai pemantau ini. Sejauh ini kata-kata yang dilontarkan Heru padaku berkisar antara ambilkan pisau potong, pisau kupas, pisau sayat, pisau cincang, bukan yang itu, sebelahnya, paling kanan. Dan aku tidak mengeluh. Rupanya pelajaran hari pertama adalah pengenalan berbagai macam pisau.

Hari kedua Heru mulai banyak bicara. Kalau untuk memasak anu, entah apa telinga saya tidak menangkapnya, memotong tomatnya begini, kalau untuk anu memotongnya begitu. Busyet, memotong tomat saja ada aturannya. Kalau untuk anu bumbunya ditumis sampai wangi, kalau untuk anu cukup sampai bawangnya layu. Dan saya cukup memasang wajah ‘saya mengerti’ meskipun tidak yakin saya akan hapal wejangannya. Dan saya mulai tahu kalau tulisan di layar yang diatas jendela itu adalah nama masakan yang harus dibuat Heru. Dan lucunya, menu tersebut biasanya dipesan beberapa hari sebelumnya. Bagi saya aneh rasanya bila orang merencanakan akan diisi apa perut mereka beberapa hari yang akan datang.

Pada hari ketiga Heru memberikan daftar nama masakan yang harus saya hafal, untungnya dia juga menuliskan cara membacanya. Nama-nama yang hebat, yang untuk mengucapkannya perlu mengatur posisi kemonyongan mulut. Yah, kalau ujian kelulusanku dua minggu mendatang adalah menyangkut hapal tidaknya daftar ini, tentu saja aku akan menghapal daftar ini sebaik-baiknya. Dan ternyata hari-hari berikutnya, Heru tidak mau lagi menatap layar lebar itu. Aku yang harus membacakan nama masakan yang harus dibaca tersebut. Kalau aku salah mengucapkannya, Heru akan membetulkan ucapanku. Kalau Heru tidak dapat menangkap nama masakan yang kuucapkannya karena aku separo mengira-ngira dia akan menyuruhku mengeja huruf demi huruf, lalu menyebutkan ucapan yang benarnya. Lalu dia mengomel satu kalimat, kamu membuang waktuku dua menit.

Kalau ada suatu masakan yang sudah beberapa kali dipesan orang, Heru akan menyuruhku menyiapkan bahan-bahannya, tanpa memberitahu apa yang harus disiapkan. Untungnya aku lebih sering ingatnya dari pada lupanya, dan untungnya pula, kalaupun aku lupa aku cuma mendapat omelan satu kalimat khas Heru, kamu membuang waktuku dua menit.

Pada akhir minggu pertama, aku tidak dapat menahan diri lagi, pada saat kami sama-sama menaruh celemek dan topi masak di tempat cucian, aku bertanya padanya, dengan alasan apa aku direkomendasikan untuk mendapat masa percobaan disini.

“Karena kamu ngga bisa masak,” jawabnya singkat dan berlalu meninggalkanku.

Hah?!

(BERSAMBUNG)

Thursday, November 19, 2009

Tega

bersisian kita dalam penantian yang sama
kau mulai gigil dan aku menghitung tetesan hujan
sesaat kita bertatapan
dan engkau segera membuang pandang
meluruskan tatapmu kearah jalan yang luput menawarkan harapan
kemeja putihmu telah lekat menampilkan rona badanmu
sampai kau begitu kuyup
aku masih saja menghitung tetesan hujan
pada bibirmu yang kian membiru
terbersit harapan
secangkir kehangatan


______

Dalam hujan deras menanti angkot di pinggir jalan bersisian dengan seorang anak SMA yang tidak membawa payung. Agak rikuh juga mau menawarkan sepayung berdua karena dia laki-laki meskipun cuma seorang anak SMA. Yah, akhirnya cuma mendoakan, semoga ibunya di rumah menyediakan secangkir teh panas untuknya. Semoga dia tidak jatuh sakit. Hiks..............................
Mbak Wiwik, Lingling, kalau yang ini bener-bener curahan hati.............. ^___^

[Cerpen] Lobi

Rumah makan ini terletak sebuah jalan yang sepi. Pertama kali melamar di sini aku tidak yakin mereka mampu menggajiku cukup besar, setidaknya setara dengan teman-temanku yang kerja di pabrik. Aku juga datang sama sekali tidak membawa surat lamaran. Datang begitu saja lewat pintu pengunjung, dapat anggukan sopan dari dua orang berseragam batik yang berdiri di pintu. Mungkin mereka mengira aku mau makan di situ. Lalu aku bertanya pada orang itu apakah rumah makan ini butuh karyawan. Mas-mas yang berseragam batik itu tersenyum, kukira dia akan bilang tidak dan mempersilahkan aku datang dilain waktu sebagaimana aku biasa diperlakukan satpam perusahaan kalau aku datang menanyakan lowongan. Tapi, yang ini ternyata tidak begitu. Dia bertanya apa aku bisa masak. Masak? Bikin tempe goreng kegosongan, atau telur dadar keasinan, aku ahlinya, begitu kataku waktu itu. Tentu saja maksudku adalah, aku ingin jadi kasir saja, atau jadi pelayan yang menyajikan makanan, konon suka dapat tip yang lumayan. Mas-mas itu tersenyum lagi dan meminta saya ikut dengannya! Sungguh aku baru tahu begitu tekniknya ternyata kalau mau lolos dari penghalang pertama, jawablah dengan asal, maka kau akan sampai di penghalang berikutnya.

Sebuah ruangan, kantor aku kira, yang cukup luas dengan beberapa lemari filling cabinet di sisi temboknya. Satu set sofa lengkap dengan mejanya. Aku tak tahu kalau sebuah rumah makan ternyata punya kantor yang cukup luas seperti ini. Di pojok terdapat sebuah meja kerja, dan seseorang duduk di belakangnya sedang menatap diriku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Benar-benar penuh selidik membuatku bertanya-tanya apa aku lupa menyisir sebelum berangkat kemari? Si mas-mas yang mengantarku sedikit maju dan berkata;

“Mbak ini sedang mencari pekerjaan, dan dia katanya bisa masak,” katanya.

Dodol! Siapa yang bilang bisa masak? Apa kupingnya ngga dibersihkan selama setahun?

“Oh, silahkan duduk,” orang itu bicara tanpa senyum. Si mas yang mengantarku meninggalkan kami, dan aku jadi sedikit grogi. Ingin rasanya memanggil mas itu untuk menemaniku menghadapi interogasi ini.

“Bisa buat makanan luar? Itali, Perancis, jepang, atau Thailand?” dan dia menyebutkan beberapa kata dalam bahasa asing yang aku sama sekali tak tahu maksudnya. Aku melongo.

“Atau masakan daerah? Sop konro? gulai banak? Ayam rica-rica?”tanyanya lagi.

Dalam hatiku aku berkata, tuan, anda ingin apa? Indomie rebus atau Indomie goreng? Beri saya waktu sepuluh menit, dan saya akan menghidangkannya untuk anda. Tapi tentu saja aku tidak bisa bicara seperti itu. Maka akupun hanya menggeleng.

“Jadi masak apa yang kau bisa?”

Nah ini baru pertanyaan, mungkin aku bisa menjawabnya. Sebentar aku pikirkan dulu. Telur rebus? Telur dadar? Telur mata sapi? Telur orak-arik? Mana kira-kira yang akan membuat tuan di depanku ini terkesan? Sedikit nekat aku menjawab; Nasi goreng!

Giliran tuan di depanku ini yang melongo. Satu sama pikirku puas.

“Nasi goreng apa?” tanyanya belum mau kalah.

“Eh, eeeee..... apa saja. Nasi goreng tanpa kecap, dengan kecap, nasi goreng kambing, petai, ikan asin..............” cerocosku mengingat-ingat tulisan di tenda penjual nasi goreng di ujung gang kontrakanku.

“Baik,” katanya. Lalu dia mengangkat telepon yang terletak di samping meja. Telepon yang aneh menurutka karena hanya punya tiga tombol, sama sekali tidak ada tombol angkanya. Dia memencet tombol yang tengah, lalu berkata,”Heru, bisa kemari sebentar?”

Aku tidak mendengar jawabannya. Tapi tidak lama seorang laku-laki berbaju putih-putih, menggunakan celemek yang juga putih, bertopi koki berwarna putih juga masuk ke ruangan.

“Ya, pak?” katanya begitu memasuki ruangan.

“Mbak ini melamar untuk jadi juru masak. Dia Cuma bisa bikin nasi goreng. Suruh dia bikin nasi goreng seafood,”

“Baik, pak. Mari mbak,”

Aku mengikutinya. Rupanya orang-orang yang bekerja di rumah makan ini punya masalah dengan organ pendengaran mereka. Seingatku, aku tidak menyebutkan nasi goreng seafood tadi. Sepanjang perjalanan mengikuti orang yang dipanggil Heru itu, aku berpikir, dengan merasa sedikit sakit hati, orang itu bahkan tidak menanyakan siapa namaku. Mungkin keterampilanku mengiris bawang jauh lebih berharga bagi mereka dibandingkan dengan namaku. Dan ternyata, aku tidak perlu terampil mengiris bawang.

Aku sampai di ruangan bertuliskan kitchen di pintunya. Busyeeeet, gede sekali. Ukurannya mungkin lima kali besar kontrakanku. Dua buah paha sapi utuh nampak tergantung di lemari berpintu kaca di sudut. Disampingnya berderet-deret lemari pendingin penuh berisi ayam dan beberapa unggas lain. Meja putih beralas marmer nampak memanjang di tengah-tengah ruangan, beberapa orang nampak menghadapi meja tersebut melakukan berbagai aktifitas, mengiris, memukul-mukul, entah apa, memotong sayuran. Semuanya menggunakan celemek dan tutup kepala. Di dinding sebelah kanan nampak sebuah jendela besar, orang-orang itu meletakkan makanan yang nampaknya siap untuk disajikan dijendela tersebut. Diatas jendela tersebut nampak sebuah layar besar menampilkan tabel berisi angka, kemudian nama asing, sesuatu sepertinya ukuran ada medium, large dan regular, dan penjelasan seperti, tanpa bawang, double cheese dan kata-kata lain seperti itu, setidaknya kupikir begitu karena aku juga tidak tahu artinya.

Heru menyodorkan sebuah celemek dan sebuah topi berwarna putih untuk kupakai. Dengan sedikit risih aku memakainya. Heru menunjukkan alat-alat yang bisa kupakai, lalu memanggil seorang bernama Lili untuk membantuku. Lalu dia meninggalkanku dan sibuk melakukan ini itu dan menyuruh ini itu. Sepertinya dialah komandan di ruangan ini.

“Butuh apa mbak? Tanya Lili

“Bawang,” kataku

“Berapa butir? Diiris atau di tumbuk?” tanyanya.

Apa? Horeeee, berarti aku tidak perlu menumbuk sendiri. Lalu akupun jadi belagu. Menyuruh menumbuk ini itu, mengiris ini itu, dan aku hanya bermain-main dengan ketimun. Tapi aku bingung, kalau untuk nasi goreng, seafoodnya harus diapain dulu ya? Masa dimasukkan mentah-mentah? Akhirnya aku menyuruhnya mengupas udang dan mengiris cumi menjadi potongan-potongan kecil, lalu aku menumisnya, iseng aku ambil botol yang ada di rak yang ada disamping tempatku memasak. Aku bahkan tidak bisa mengeja tulisan pada botol tersebut, bodo amat, aku masukkan satu sendok ke dalam tumisanku. Aku ambil botol yang lain, tanpa membaca tulisannya aku masukkan pula satu sendok. Lalu aku masukan nasi yang sudah disiapkan oleh Lili, aku masukkan irisan daun bawang, sempat terlintas dipikiranku bahwa tukang nasi goreng tidak pernah memasukkan daun bawang pada nasi goreng yang dibuatnya. Setelah mateng, aku sempet ragu-ragu, apa aku perlu membuat juga telur dadarnya? Akhirnya kuputuskan tidak perlu. Dengan nasi goreng ancur, yang bahkan aku tidak mau mencicipinya. Pastilah aku tidak akan diterima. Jadi tidak perlu repot-repot.

Seolah tahu aku sudah selesai, Heru menghampiriku. Mengambil piring nasi gorengku, kemudian mengernyitkan keningnya. Mendekatkan nasi goreng itu ke hidungnya, dan dia tersenyum geli. Nah, nah, silahkan katakan, aku tidak apa-apa.

“Sebentar,” katanya, lalu dia menghampiri sebuah pesawat telepon
yang mirip dengan yang di meja laki-laki tadi. Lalu aku mendengar dia berkata,”Pak, saya merekomendasikan dia.”

Hah? Apa organ pendengaranku sekarang yang tidak beres? (BERSAMBUNG)

________

Juara, aku setor separo dulu ya, ada keperluan dulu nih, nanti siang atau besok diterusin lagi.

Saturday, November 14, 2009

Selisih Waktu

biar kubuka kamus tebal itu
agar kubaca kembali
arti kemarin, kini dan esok
dan mengurutkannya dengan benar
apa aku punya pilihan
untuk berada di kemarin, kini atau esok
jika kau selalu kemarin
dan aku selalu esok
dimana kita kan bersua
ataukah kita samakan almanak kita
untuk mulai langkah bersama
maju atau mundur
ke kanan atau ke kiri
siapa peduli?


________

Wednesday, November 11, 2009

[Buat Penggemar Matematika ^___^] Hayyyooo Siapa Bisa menjelaskan

Soal berikut adalah PR seorang murid privat saya kelas 2 SMP. Dia cuma butuh waktu satu detik setelah membaca soal, langsung memberikan jawabannya sambil tertawa-tawa. Jujur, saya sendiri tidak langsung terfikir seperti dia. Butuh waktu 5 detik memandang cengirannya sebelum saya dapat mengikuti jalan fikirannya. Silahkan dibaca dan jelaskan bagaimana cara anda menemukan jawabannya ^___^.

Titik (a, b) merupakan titik potong garis y = 3x - 8 dan x + y = 12.
Nilai a + b adalah ......

[Senyum] Seikhlasnya..........

Seorang sepupu saya mengantar suaminya ke pengobatan alternatif karena tulang pergelangan tangan suaminya menonjol (entah seperti apa saya juga tidak tahu). Tempat pengobatan alternatif tersebut lumayan terkenal, terbukti dari antrian pasien yang mencapai puluhan orang. Di sebuah meja terletak kotak untuk mengisi uang pembayaran pengobatan. Setelah tanya kiri kanan dan mendapat jawaban dari para pasien yang mengantri bahwa nominal bayarnya ‘seikhlasnya’ sepupuku memasukan uang tiga ribu rupiah (anda tidak salah baca T – I – G – A - R – I – B – U - R – U – P – I – A – H)

ke dalam amplop dan memasukkannya ke dalam kotak tersebut. Setelah antri menanti sekian puluh orang pasien, akhirnya tibalah giliran suami sepupuku ini mendapat pelayanan pengobatan. Begitu sampai di ruang pengobatan si tukang obat eh si tukang mengobati tersenyum, memegang pergelangan tangan si pasien dan berkata,”nanti ke sini lagi ya”, kemudian memanggil pasien berikutnya.

“ikhlas kok” kata sepupuku ^___^

***

Sepupuku yang lain mengurus SKCK di sebuah kantor (nah saya tidak katakan kantor apa dan dimana supaya tidak kena delik UU IT). Setelah SKCK selesai si petugas berkata bahwa biaya administrasinya ‘seikhlasnya’. Sepupuku mengeluarkan selembar uang Rp. 20.000. Eh, si petugas berkata,”memang segini wajar mbak?” merasa tidak enak, sepupuku mengeluarkan lagi selembar Rp. 10.000. Si petugas berkata,”tambah lima ribu lagi deh mbak”. Lho katanya seikhlasnya? ^___^

Sunday, November 8, 2009

Oh........oh..........oooooooooooohhhhhhhhh........

Ternyata budaya kerja dimana kita berada sangat mempengaruhi sikap dan cara pandang kita. Saya sungguh merasa bersyukur pernah menjadi guru untuk waktu yang lumayan lama di As-sa’adah. Saat pamitan pada ketua yayasan, saya sempat melontarkan bahwa menjadi guru di yayasan tersebut adalah hal terbaik yang terjadi dalam hidup saya, dan saya tidak main-main. Jam belajar As-sa’adah dari pukul 7 sampai pukul 2 siang, jam kerja guru sampai jam 3. Tetapi kecuali ada keperluan penting, jarang sekali guru yang pulang tepat di jam tiga. Biasanya mereka asyik membuat persiapan-persiapan untuk pembelajaran keesokan harinya dan baru pulang lewat dari jam 4, bahkan terkadang sampai maghrib. Pembelajarannya sedapat mungkin memang tidak konvensional (kecuali kelas 6), karenanya guru harus banyak melakukan persiapan. Padahal tidak ada yang namanya uang lembur, semua itu dilakukan dengan sukarela. Setidaknya hal itu yang saya rasakan waktu As-sa-adah belum pindah gedung.

Budaya pembelajarnya juga sangat baik. Guru biasanya antusias untuk dikirim pelatihan. Sepulang dari pelatihan guru diwajibkan mempresentasikan hasil pelatihannya kepada rekan-rekan sesama guru. Bagi saya, hal itu menjadi ajang saya berlatih berbicara di depan umum sehingga menjadi terbiasa saat dikirim presentasi ke sekolah lain atau saat menjadi pemandu di KKG kecamatan.

Saya jadi bernostalgia, karena tadi siang saya bertemu dengan seorang wakasek kurikulum sebuah sekolah swasta di daerah Depok. Seperti pernah saya ceritakan, saya menawarkan presntasi AMU (analisis materi ujian). Setelah mengobrol beberapa saat beliau meminta saya untuk memberikan pelatihan tidak hanya untuk guru kelas 6, tetapi seluruh guru dari kelas 1 sampai kelas 6, dengan titik tekan pada perubahan paradigma guru dan trik untuk pembelajaran Matematika dan IPS dalam bentuk workshop.

Saya meminta gambaran mengenai guru-guru di sekolah tersebut. Dan jawabannya sungguh membuat saya tercengang. Jam belajar di sekolah tersebut sampai jam 2, dan guru langsung bubar bersama murid-murid. Sewaktu aturannya dirubah, guru baru boleh pulang jam 14.30, begitu bel pulang, guru bukannya memantau muridnya pulang dengan siapa, sudah dijemput semua atau belum, melainkan duduk di ruang guru menunggu setengah tiga!

Saya minta informasi pelatihan apa saja yang telah mereka dapatkan. Si wakasek tersenyum miris, beliau menjawab: “Sebut saja pelatihan apa yang pernah diadakan untuk guru: Quantum learning, quantum teaching, student active learning, KBK, KTSP, mereka semua sudah pernah mendapatkan pelatihannya. Setiap guru mempunyai sertifikat pelatihan lebih dari 40 buah”

WADUH! Dengan jam dan jenis pelatihan sekian banyak seharusnya saya yang duduk menjadi peserta pelatihan dan mereka yang menjadi trainernya. Tapi, beliau melanjutkan,”Sepulang dari pelatihan, berkas pelatihan masuk map, dan kembali mereka mengajar secara konvensional”.

Lalu, LALU.................untuk apa mereka ikut pelatihan kalau begitu? “Mereka mengumpulkan sertifikat pelatihan untuk ikut sertifikasi guru” GUBRAKS!!!! Terus, bagaimana saya yang trainer kacangan ini diharapkan mampu mengubah paradigma mereka, sedangkan pelatihan dengan trainer yang benar-benar kompeten saja tidak membekas? “Jangan khawatir bu, saya akan mengadakan supervisi, kalau mereka tidak mengaplikasikan hasil pelatihan tersebut, akan berefek pemotongan gaji besar-besaran, seperti yang pernah dilakukan saat mereka tidak mengumpulkan rencana pembelajaran”

.................................................................................................

Tuesday, November 3, 2009

Kenangan

hilang sudah jejak ribuan langkah yang pernah kupijak
pudar pula gaung suara yang kusimak pun yang kukata
padamlah rasa yang penah membara
namun pada gurat memori
selalu dapat kuulang kembali

mengetuk dia di pintu waktu
memudar namun selalu dapat kueja
n – a – m - a – m – u


*****
hanya rangkaian kata, bukan curahan hati sekedar ikutan mas suga dan mas dedi ^___^

Sunday, November 1, 2009

........GAWAT.....................

Sebuah rumah di Kuningan
Sabtu, 31 - 10 - 2009 pukul 20.00

Merasa iseng, saya membuka lapie jadul saya dan memainkan permainan Burger Rush. Mamah saya menghampiri dan mengajak saya membahas beberapa hal. Sambil mengobrol saya tidak menghentikan permainan game tersebut. Kira-kira satu jam kami selesai bicara. Saya bermaksud menutup permainan tersebut untuk pergi tidur. Tiba-tiba mamah saya meminta untuk diajari permainan tersebut. Jadilah sebelum tidur saya mengajari mamah saya burger rush.

Masih di rumah yang sama
Minggu, 1 - 11 - 2009

Keluar dari kamar mandi saya 'mampir' di meja makan, ternyata belum ada apa-apa. Saya cari mamah saya ternyata sedang duduk manis di depan lapie jadul saya;
Saya : Mah................
Mamah : Neng, hari ini kamu yang masak, mamah mau main burger rush....

Ha....????...................................HUUWWWAAAAAAAAAAAAAAAAAA............................