Pages

Saturday, March 14, 2009

Orang tua di Indonesia Pelit Pujian

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Dorothy Law

Sabtu kemarin sekolah kami mengadakan test masuk untuk calon siswa baru. Salah satu tahapan yang harus dilalui adalah PCTB (Parent-Child Team Building). Pada test tersebut kami minta anak dan orang tua bekerja sama membuat sebuah "proyek".
Seluruhnya ada sekitar 55 calon siswa dan orang tuanya yang kami observasi. Dari sekian banyak orang tua (ada yang datang pasangan, ada yang diwakili salah satunya ayah atau ibu), tercatat hanya 6 orang (sekitar 10%) yang memberikan pujian kepada anaknya selama kami obervasi. Hampir keseluruhan orang tua menggunakan bahasa yang santun. Pola kalimat terhadap anak rata-rata adalah informatif, meskipun beberapa menggunakan pola kalimat "mendorong", tapi tercatat pula beberapa orang tua yang menggunakan pola kalimat perintah, bahkan penggunaan kata jangan begini jangan begitu, jangan ini, jangan itu masih banyak ditemukan. Untuk observasi tahun ini beruntung kami tidak menemukan orang tua yang mengeluarkan celaan terhadap anaknya. Tahun-tahun sebelumnya kami masih menemukan orang tua yang mencela anaknya (masa begitu, jelek itu, gimana sih kamu dsb) dihadapan kami para observer.

Dalam test tersebut, kami memang merahasiakan item apa yang menjadi dasar penilaian. Kami membiarkan para orang tua berfikir bahwa produknyalah yang akan kami nilai dan bukan pola komunikasi orang tua terhadap anak. Sebagai informasi, nyaris seluruh orang tua adalah lulusan perguruan tinggi, yang notabene melek pendidikan. Sebetulnya kami berharap akan terjadi hujan pujian terhadap anak-anak mereka yang demikian kreatif dan bersemangat. Sayang sekali ....

Namun ada satu orang tua yang diam-diam kami puji (kalau terang-terangan nanti ketahuan item penilaiannya). Si ayah dengan sengaja mengerjakan "tugas"nya dengan salah-salah. Dia memancing penilaian anaknya. Dari reaksi yang diberikan anaknya terlihat bahwa pola seperti itu sudah biasa mereka lakukan. Ketika anaknya tidak memperhatikan, dia memancing anaknya dengan pertanyaan, begini betul ngga? (dan dia sengaja melakukannya salah).
Selamat pak, anda satu-satunya orang tua yang menjadi bahan pujian dalam evaluasi yang kami lakukan.

Jadi, pujilah anak anda, dan dia kami terima di sekolah kami ^__^

16 comments:

  1. roebyarto said: Apa yang Bu Metty sampaikan .. sepakat banget ...ini yang saya sebut pemetaan tetapi pada kalimat bu Metty yang berbunyi "Sabtu kemarin sekolah kami mengadakan test untuk masuk untuk calon siswa baru. Salah satu tahapan yang harus dilalui adalah PCTB (Parent-Child Team Building)".. bertentangan dengan jawaban Bu Metty... maaf bu jika saya salah mengintepretasikan kalimat tersebut...
    Kami memang memakai istilah test, karena kami melakukan penilaian, dan berdasarkan hasil penilaian tersebut kami memutuskan apakah siswa tersebut diterima atau tidak. Untuk pola asuh yang sangat berbeda misalnya, kami akan menganjurkan agar siswa tersebut mencari sekolah lain saja.Contoh kasus, ada orang tua yang menjentulkan kepala anaknya didepan observer, karena menganggap respon anaknya lambat. Kami putuskan untuk tidak menerima siswa tersebut. Kami juga mempunyai batas-batas tertentu untuk siswa-siswa yang "terlalu istimewa" karena sekolah kami tidak mempunyai tenaga yang memiliki kapasitas untuk itu. Tapi toleransinya kami buat seluas mungkin. Misalkan selama calon siswa tersebut masih dapat berkomunikasi, meskipun matanya tidak dapat fokus, atau siswa yang ketika diminta diam malah naik-naik meja selagi siswa tersebut masih memberikan respon normal, dan orang tua dapat diajak kerjasama, biasanya siswa-siswa seperti itu masih kami terima.

    ReplyDelete
  2. bukansuperman said: Menginspirasi.Terima kasih ya Bu Guru atas sharingnya.
    Sama-sama ^__^

    ReplyDelete
  3. nengmetty said: Tidak tepat juga sih kalau dikatakan test. Kami mengobservasi kemampuan siswa beradaptasi, berkomunikasi dan bekerjasama dengan teman-teman barunya, termasuk juga observasi terhadap pola komunikasi orang tua terhadap siswa.Apa yang kami lakukan ini menjadi gambaran bagi guru kelas 1 nantinya,
    Apa yang Bu Metty sampaikan .. sepakat banget ...ini yang saya sebut pemetaan tetapi pada kalimat bu Metty yang berbunyi "Sabtu kemarin sekolah kami mengadakan test untuk masuk untuk calon siswa baru. Salah satu tahapan yang harus dilalui adalah PCTB (Parent-Child Team Building)".. bertentangan dengan jawaban Bu Metty... maaf bu jika saya salah mengintepretasikan kalimat tersebut...

    ReplyDelete
  4. Menginspirasi.Terima kasih ya Bu Guru atas sharingnya.

    ReplyDelete
  5. roebyarto said: Mungkin pertanyaannya sebenarnya apa sih tujuannya tes anak masuk SD?
    Saya sepakat dengan seluruh pernyataan Pak RubiSaya undang Pak Rubi untuk menyaksikan "test" yang kami lakukan disekolah kami.Tidak tepat juga sih kalau dikatakan test. Kami mengobservasi kemampuan siswa beradaptasi, berkomunikasi dan bekerjasama dengan teman-teman barunya, termasuk juga observasi terhadap pola komunikasi orang tua terhadap siswa.Apa yang kami lakukan ini menjadi gambaran bagi guru kelas 1 nantinya, bagaimana mereka harus menghadapi murid-muridnya.Terima kasih sharingnya ^__^

    ReplyDelete
  6. cunyayusya said: Sayang ya bu .... saya gak punya anak yg hrs masuk SD...... Kalo punya... saya puji2 aja biar lulus testnya ya .... hehehehehe....
    ssssst jangan bocor ya Mama Yunda ..........:D

    ReplyDelete
  7. rabiyatuladawiah said: saya suka quotanyaa ^___^
    Mau puisi lengkapnya?

    ReplyDelete
  8. Tes masuk sekolah ternyata sekarang ini bukan hanya bagi anak-anak yang akan melanjutkan belajar ke sekolah menengah atau perguruan tinggi. Masuk SD pun juga perlu mengikuti tes. Tes itupun bisa meliputi mengenal angka, hingga tes psikologi…. Mungkin pertanyaannya sebenarnya apa sih tujuannya tes anak masuk SD? Kesan yang muncul malah mempersulit anak yang sebenarnya mau sekolah Bahkan image yg berkembang semakin bonafide sebuah sekolah, semakin banyak dan sulit tes yang diberikan kepada calon siswaMenurut saya, maaf.. yg kurang paham pendidikan, Sekolah tidak seharusnya memberikan persyaratan anak yang akan masuk SD memiliki kemampuan tertentu. Sesungguhnya yang terpenting anak memiliki kematangan dan kesiapan dari segi emosional. Dan satu hal Dinas pendidikan tidak pernah memerintahkan sekolah melakukan tes untuk anak SDBila tes itu di buat untuk pemetaan yang berkaitan dengan penyamaan kemampuan atau melihat sejauh mana seorang anak perlu dibantu itu sih boleh2 saja, asal sebuah tes diadakan bukan sebagai uji kompetisi atau untuk menaikkan gengsi dari sekolah

    ReplyDelete
  9. Sayang ya bu .... saya gak punya anak yg hrs masuk SD...... Kalo punya... saya puji2 aja biar lulus testnya ya .... hehehehehe....

    ReplyDelete
  10. nengmetty said: Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diriJika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diriJika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
    saya suka quotanyaa ^___^

    ReplyDelete
  11. nisanajma said: entah nyambung entah enggak nih bu Metty, satu pertanyaan saya, siapa ya yang mau mendidik anak anak dengan latar belakang yang kacau, pola asuh yang kacau dan segenap kekacauan lainnya, saya sering miris aja, jika kita tahu pola asuh yang seharusnya, lalu melihat anak dengan pola asuh yang salah, sehingga nantinya pasti akan menimbulkan rentetan kekacauan lainnya, bisakah kita tega melepasnya? melepaskannya ke tangan orang lain yang mungkin saja tidak mengerti..saya hanya membayangkan, jika itu anak saya, alangkah sedihnya say..
    Pertanyaan yang cukup menohok ulu hati.Pada hakekatnya pendidikan anak itu tanggung jawab orang tua kan mbak?Kami juga prihatin dengan pola asuh yang kacau tersebut, tapi kami juga tidak dapat mengambil tanggung jawab itu, karena berdasarkan pengalaman, merubah orang tua itu sesuatu yang sulit. Sekolah kami rutin mengadakan pelatihan untuk orang tua, tapi amat disayangkan sepertinya tidak terlalu signifikan perubahan yang terjadi. Mungkin kita coba menyadarkan lewat jalan lain saja ....

    ReplyDelete
  12. entah nyambung entah enggak nih bu Metty, satu pertanyaan saya, siapa ya yang mau mendidik anak anak dengan latar belakang yang kacau, pola asuh yang kacau dan segenap kekacauan lainnya, saya sering miris aja, jika kita tahu pola asuh yang seharusnya, lalu melihat anak dengan pola asuh yang salah, sehingga nantinya pasti akan menimbulkan rentetan kekacauan lainnya, bisakah kita tega melepasnya? melepaskannya ke tangan orang lain yang mungkin saja tidak mengerti..saya hanya membayangkan, jika itu anak saya, alangkah sedihnya say..

    ReplyDelete
  13. nisanajma said: he he, ini pertanyaan buat saya sendiri...jawabannya juga sama seperti ini..tapi trus balik mikir lagi, kalo itu anak kita, sedih juga ya...he he..kacau ya Met..
    mudah-mudahan, dengan semakin berpendidikannya para orang tua, hal tersebut semakin berkurang ya mbak..

    ReplyDelete
  14. nengmetty said: Pertanyaan yang cukup menohok ulu hati.
    he he, ini pertanyaan buat saya sendiri...jawabannya juga sama seperti ini..tapi trus balik mikir lagi, kalo itu anak kita, sedih juga ya...he he..kacau ya Met..

    ReplyDelete
  15. marcelsmm said: Gmn dengan anak-anak yang nasibnya gak seberuntung itu: yang selalu dicela, dihukum, disakiti, yang bawaannya kurang PD, pemalu, minder, penakut, tertutup? akan didik dimana?
    waduh, sebetulnya maksud kalimat saya adalah: mari kita samakan pola asuh disekolah dan dirumah. Ketika pola asuhnya berbeda akan ada ketimpangan. Terus dimana anak-anak yang pola asuhnya salah harus bersekolah. Menurut saya bukan hal itu dulu yang harus dipertanyakan, tapi bagaimana agar pola asuh orang tua terhadap anak tidak salah. Tanggung jawab siapa untuk mendidik orang tua agar menerapkan pola asuh yang benar? Tentunya tanggung jawab kita semua sebagai insan yang peduli pendidikan.Anak yang dididik dengan pola asuh salah juga berhak mendapat pendidikan. Sebagai seorang manusia saya sangat peduli dengan itu. Tapi sebagai anggota sebuah lembaga dengan pola kebijakan yang telah ditetapkan, saya tidak mempunyai wewenang untuk merubah kebijakan tersebut.Jadi, mari kita pikirkan bersama, barangkali ada solusi, barangkali ada sesuatu yang dapat kita lakukan.Terima kasih bang marcel

    ReplyDelete
  16. Jadi, pujilah anak anda, dan dia kami terima di sekolah kami hanya anak yang biasa dipuji ma orang tua neh yang diterima di sekolah? klo gitu sih pasti bakalan mudah dididik dan diarahkan karena dasar pendidikan di keluarga dah bagus. Gmn dengan anak-anak yang nasibnya gak seberuntung itu: yang selalu dicela, dihukum, disakiti, yang bawaannya kurang PD, pemalu, minder, penakut, tertutup? akan didik dimana? hhaha...sory sekedar ingin tahu aja....trims atas sharenya

    ReplyDelete